Senin, 19 Oktober 2009

Suatu masa Jelang lembayung Senja

Lantai bertatahkan marmer putih telah kuinjak kini. Dijejaki kaki-kaki kukuhku yang terlatih berjalan berkilo-kilo meter. Sepatu khas mahasiswi mengiringi langkah tenangku. Sebuah sepatu perempuan dengan ujungnya yang membulat, tapi tanpa hak tinggi di bagian bawah tumitnya. Warna hitam dengan bulatan besi di bagian kepalanya, menambah manis sepatu ini. Di depan mataku terbentang jalan yang cukup untuk 3 orang lalu lalang. Sepi, sunyi, tak ada suara gaduh khas mahasiswa meski di ujung jalan, di balik pintu jati coklat itu berlangsung sebuah diskusi.

Aku semakin dekat pada pintu itu. Di depan pintu duduklah dua mahasiswi berjilbab yang menurutku polos, lugu. Ah, hobi analisisku ternyata masih ada meski dua tahun tak kugunakan dalam perjuangan organisasi. Karena dulunya aku analisator dalam organisasi.

“Kak May!” teriak salah seorang mahasiswi yang duduk itu. Astrid? Hm, kurasakan pekik senangnya, diiringi jabat salam dan ritual cium pipi kiri kanan.

“Assalamu’alaikum, dek,”ucapku. Dijawabnya segera salamku. Gadis berjilbab yang satunya masih agak terbengong melihatku.

“May,”ucapku sambil menjabat tangannya seraya memeluk, seperti biasa.

“Ri...Rina. Ini...Kak May?”tanya Rina.

“Yap,”

“Sang Le...”segera Rina terdiam setelah kulihat tubuhnya bergeming sedikit. Rupanya gadis yang kukenali menyikutnya. Ada apa? Sudahlah, kubiarkan saja.

“Berapa kali tanda tangannya?”tanyaku. ternyata saat kulihat lembar presensi, lembar kehadiran acara, jumlah tanda tangan tiap peserta masih belum berubah. Tiga kali. Aku tersenyum sendiri mengenang bagaimana ributnya dulu hanya untuk menyatukan 3 lembar fotokopi presensi suatu kegiatan. Masih kuingat peraturan, harus pakai tinta hitam atau pernah pakai tinta biru. Yup, selesai sudah kucoretkan lembaran itu.

“Maya Syahidah,”Rina mengeja namaku.

“Yap, anda benar. Udah, ya, saya ke dalam dulu. Acara sudah mulai?”tanyaku usai mencandai adik kelas itu.

Kubuka sang pintu kokoh. Tak berharap ada yang menyadari kehadiranku. Aku kemari hanya untuk melihat mantan pendampingku berjibaku dalam seminar. Ya, kubuka kembali lembar undangan itu.
SEMINAR PENDIDIKAN
AULA UNIVERSITAS ANGKASA
Hari, tanggal: Rabu, 3 Juni 2009
Pukul: 13.00 s.d. Selesai
Pembicara:
Ari Susanto
Fahri Fatahillah

Fahri, ketua BEM saat aku menjadi sekretaris BEM di jurusan kami. Kulangkahkan kaki menuju kursi terdepan dalam ruang besar berpanggung itu. Ah, sayang, kursi di ruang depan terisi dosen-dosen. Kucari tempat di belakang dosen-dosen itu. Pandanganku merambati kursi-kursi berisi. Hmm, ada sebuah tempat, dekat dinding. Kucoba duduk di sana. Lumayan, Suara Fahri dan Pak Ari Susanto sang anggota DPR komisi IX dapat kudengar jelas.

Tatapan kami bertemu sejenak di tengah acara. Pasang mata kami beradu pandang. Segera kutundukkan kepalaku, berharap dia tak melihat ke arahku. Rasa ini masih seperti dulu kala aku mendampinginya di BEM. Sebuah rasa yang terjalin karena ingin menjaga sahabat dari kesullitan. Sebuah rasa yang sering disangka sebagai rasa antar lawan jenis. Kurasai wajahku mulai menghangat, memanas, dan mungkin kini putih pipiku berubah warna menjadi sewarna kulit tomat matang. Namun, selain tatapannya, aku merasakan tatapan lain. Tatapan aneh dari orang-orang sekitarku yang notabene tak kukenal. Mereka mahasiswa-mahasiswa baru sepertinya. Ah, aku harus fokus pada acara.
!@#$%^&*()
Aku berlari ketika mendapati kabar Fahri terjebak di dalam BEM Universitas Angkasa sementara terjadi bentrokan antarwarga di belakang gedung sekretariat BEM. Kerusuhan itu terjadi di balik tembok setinggi dua meter yang berjarak 100 meter dari gedung sekretariat, dan pintu sekretariat menghadap gang bertembok itu.

Ri, tunggu disana. May panggil rektor. Begitu bunyi smsku pada Fahri.

Jangan. Disini sudah ada banyak orang rektorat dan polisi. Doakan saja.

“RI...”

“Kita masih bisa menatap amanah dan adik-adik kita di BEM Jurusan besok. Tenang, ya. Doakan kami...Argh! Allah!”ucap Fahri di telepon. Masya Allah, ada apa? Telepon kami mati. Allah, selamatkan saudara-saudaraku di sana, terutama fahri. Batinku.

“Kita ke mesjid, yuk,”ujar Nani sambil memegang pundakku. Eh? Ke mesjid?
Terdengar panggilan cinta dari speaker mesjid besar universitas Angkasa, seolah tak peduli akan kerusuhan yang terjadi di dalam kampus. Kuikuti Nani menuju koridor mesjid.

“Fahri...”ujarku. Nani merapatkan genggamannya. Kami berdiam di dalam mesjid. Berharap Allah membukakan pintu ijabahnya. Ah, entah, bagaimana kususun kalimat.

Hingga malam kutunggu Fahri di gerbang kampus. Khawatir akan keselamatannya. Aku duduk di halte bus tempatku biasa menunggu bus.

“Belum pulang?”tanya seseorang. Frekuensi suaranya sangat kukenal. Fahri! Hampir aku memeluknya kalau tak kuingat hijab antara kami. Kulihat sesuatu yang aneh di tangan kanannya. Darah merembes meski sudah ia balut sekedarnya dengan kain. Seperti sobekan spanduk. Segera kukeluarkan saputanganku. Segera kubalut, setelah kulepas kain yang membalut lengannya.

“May...”

“Kamu tuh sok kuat, sok tahu. Padahal nggak negrti kalau luka harus...”

TES! Saputanganku teraliri air bening dari pipiku.

“Makasih udah khawatir. Kita emang pasangan ketua dan sekretaris paling keren di universitas ya. Hahaha,”ujarnya sambil bercanda. Aku hanya tersenyum, lalu ikut tertawa dengannya. Menguapkan perih yang sempat hinggap dalam gumpalan daging di tubuhku.
!@#$%^&*()
Bayangan itu hadir di tengah diskusi ini. Di depan sana, seorang Fahri sedang menjelaskan materinya. Kau mulai mencapai citamu, Ri. Batinku. Aku diam hingga acara itu selesai. Kuamati ruangan ini hingga hampir kosong karena sebagian peserta sudah pergi. Kubereskan perlengkapanku agar aku juga bisa pulang.

“May...Assalamu’alaikum,”ujar seseorang. Tanpa menolehpun aku tahu itu suara Fahri. Tapi aku menoleh juga. Seorang lelaki berkemeja biru dengan jas almamater menggelayuti lengannya berdiri di hadapanku. Kurasakan getaran dalam panggilannya. Getaran yang lama tak kudengar. Getaran yang bercampur dengan ketegaran. Tepatnya, ia coba buat tegar. Ia tak mampu menyembunyikan sebagian besar hal dariku, sejak dulu.

“Wa’alaikumussalam, Ri,”jawabku. Kami terdiam satu sama lain, membiarkan angin mengisi ruang antara kami. Tak mempedulikan kerusuhan kecil panitia dan beberapa peserta di sekitar kami. Ya, ini kali pertama kutemui dirinya sejak dua tahun lalu, sejak aku hanya menjadi mahasiswa kuliah-pulang, sementara ia menjadi aktivis-mahasiswa. Ini kali pertama kami bertegur sapa. Entah, sepertinya ini saat yang kami sediakan.

Getaran itu kurasai dalam gerak bibirku. Getar yang sama karena lama tak memanggilnya begitu. Mungkin getar yang sama ia rasa. Atau mungkin getar yang lebih hebat lagi karena aku perempuan?

Kurasai angin di ruangan berAC ini mulai menghangat. Entah karena kami bersua atau memang panitia mengecilkan pendingin ruangan? Kurasakan gerakan kami saling diawasi. Hff, begini sulitnya. Kaku. Tak sesantai dulu.

“Hai, Legenda,”panggilnya. Legenda, kata yang aneh kudengar untukku. Sempat kudiam dan mengolah data tentangnya dalam sel-sel otakku untuk menemukan panggilan yang tepat.

“Halo, Pembelajar,”sahutku. Kami terdiam dengan luncuran kata tadi. Kaku tak seperti dulu.

“Apa kabar? Lama tak bertemu,”

“Alhamdulillah, masih skripsi. Sekarang kau hebat, ya? Seperti cita-citamu dulu,”

“Aku begini karenamu,”

“Hei, kau seterus terang itu, Ri? Belajar darimana?”tanyaku heran. Hal sesensitif itu dia ucap dengan mudah. Alih-alih menjawab, Fahri terdiam. Kumainkan tali tas ranselku. Menyesal kutanyakan itu, mestinya aku diam.

“Adik-adik kita rindu padamu. Mereka rindu sang Legenda,”ucap fahri akhirnya. Eh? Maksudnya apa? Dari tadi memanggil legenda-legenda. Aku tak mengerti apa yang dibicarakannya. Lagipula, kenapa aku yang dirindukan?

“Maaf, aku...”

“Pikirkan untuk menemui adik-adik kita sejenak,”ucap Fahri memotong. Hmm, sikap tak mau ditolaknya masih seperti dulu. “Aku tunggu di sekretariat kita dulu,” lanjutnya seraya melangkahkan kaki menjauh. Hmm, sekarang kudapati diriku dipandang beberapa orang dengan tatapan yang tak kumengerti.

“Mbak May,”panggil seorang lelaki, seorang penerus yang paling kusayangi sebagai adik.

“Eh, Andri. Apa kabar?”tanyaku.

“Mbak...Mbak barusan ngobrol sama Kak Fahri?”

“Iya. Kenapa?”

“Keren! Legenda ngobrol sama Pak Ketua!!”
Anak aneh, selalu saja histeris atas suatu hal yang kuanggap biasa. Eh, tunggu. Tadi dia juga mengucap legenda. Mengapa ia juga mengatakan legenda

“Maaf, legenda itu maksudnya...”

“Mbak tuh legenda. Keren, ngajarin yang namanya ikatan hati dalam organisasi. Mbak sama Kak Fahri kan pemimpin paling keren seuniversitas. Masa Mbak nggak tahu?”

Aku hanya menggeleng.. hal biasa begitu? Entah apa yang mereka lihat.

“Teori-teori mbak, tulisan Mbak, malah jadi panduan berorganisasi di universitas.”lanjut Andri riang. Eh? Begitu dahsyatkah?

“Ndri, kita ke BEM Jurusan,”


ditulis juga di www.maisya.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar