Rabu, 11 November 2009

Afwan?

“Mi-ku. Berat,”rengek sesosok lelaki tinggi itu padaku. Di tangannya tersampir sebuah tali tas travel. Aku yang baru saja menghampirinya hanya bisa tersenyum. Panggilan mi-ku adalah panggilan sayangnya padaku, kakak perempuannya. Mau bagaimana lagi, kedua orangtua kami sudah tiada sedangkan kami diasuh oleh dua keluarga berbeda. Aku di Jakarta dengan paman dari ayah, dia dengan paman dari ibu di Yogya. Kami tak bisa bersama atau bertemu tiap tahun karena keterbatasan dana dan waktu.

“Sini, tak bantu. Bas, kok bisa putus, sih, talinya?”tanyaku. Tadi di telepon dia sempat bilang tali tasnya putus.

“Mi, sih, nggak jemput di stasiun,”jawabnya tak nyambung. Aku sadar anak ini akan mulai mengajakku ‘perang’ mulut.

“Ntar di rumah pakdhe kujahit,”sahutku.

Adikku yang sudah belasan tahun terpisah, kini bisa bertemu lagi denganku. Ya, Rabb, doaku selama ini Kaukabulkan. Terima kasih, Rabb. Kami beriringan sambil sesekali menyapa tetangga. Sampai di rumah, pakdhe dan budhe langsung menyambut adikku itu. Budhe bahkan menyiapkan jus alpukat serta sirup untuk Basuki, adikku. Kubiarkan pakdhe dan budhe berbincang sebentar dengan Basuki sementara kusiapkan ruang tidurnya.

“Mi, lagi beresin kamar buat orang keren, ya?”goda Basuki saat aku asyik sendiri di kamarnya. Sambil merapikan sprei, aku hanya menggerutu. Selesai membereskan tempat tidur, aku duduk di tepi tempat tidur.

“Mi, nggak nyangka, ya, kita bisa ketemu lagi. Tau, nggak, Mi? Aku dulu ngira aku sendirian, nggak punya kakak atau adik. Kalo bapak sama ibu masih ada dan ngeliat kita...gimana ya?”lanjutnya. Aku hanya bisa tersenyum mendengar kalimatnya. Hanya bulir air saja yang menjadi tanggapanku atas ocehannya yang polos itu. “Idih, nangis. Jelek, ah. Ntar bilangin budhe, lho. Miiii...”ledeknya dengan kemanjaan yang wajar menurutku.

Kulihat tangannya merogoh saku celana jeans sebetis yang ia pakai.

“Nih, buat hapus air mata Mi,”lanjutnya, “Mi, udah dong. Tau begini aku nggak usah penuhin interview di Jakarta,”nada sesal kutangkap dari kalimat terakhirnya. Segera kuseka sebisaku bulir bening itu. Tapi kulihat wajah adikku itu... ugh! Dia nyengir ternyata. Kucubit lengannya gemas.

“Aduh aduh, Mi. Udah...ampun, Mi...afwan...”ujarnya. Terkesiap kudengar itu. Afwan? Segera kulepas cubitanku. Kuperhatikan adikku dari atas sampai bawah terus ke atas lagi. Celana jeans model skiters, kaos hitam lengan pendek. Sandalnya...jepit hitam. Tak ada yang menunjukkan dia adalah pembelajar ilmu agama sepertiku. Kubandingkan dengan diriku yang berjilbab lebar, baju lengan panjang, rok, kaos kaki. Tapi, afwan? Dia ucap kata itu?

“Bas, tadi...afwan?”tanyaku.

“iya. Maaf, biasa dipakai aktivis kayak Mi dan teman-teman, kan?”

“Tapi...darimana kamu tahu?”

“Aku kan ngaji, Mi. Makanya, dont judge the book by the cover. Jangan salahin buku karena beli serbet, hahaha,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar