Rabu, 11 November 2009

Mempelajari aksus Monang dalam Cerpen "Monang"

Cerpen “Monang” mengisahkan seorang pemuda Batak yang selalu dinomorsatukan dan dibanggakan tetapi tidak merasa nomor satu dan bangga. Keberadaannya yang seperti itu menekan nuraninya yang tidak setuju dengan penomorsatuan dan pembanggaan seorang pria sementara kehormatan dan harga diri perempuan diinjak-injak. Monang begitu menyayangi semua kakaknya yang perempuan serta ingin membahagiakan ibunya sehingga mengurungkan niatnya untuk membakar sang ayah.

Karya berbentuk prosa ini sebagian besar menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Batak. Hanya saja, ada satu keanehan yang, kalau boleh dibilang, fatal melalui suatu logika. Telepon genggam adalah kunci dari khayalan yang kelewatan. Sebuah telepon genggam yang baterainya habis, harus segera dicharge, tetapi ketika dinyalakan akan terputus dan tidak segera menyambung pembicaraan dalam telepon seperti yang dilakukan sebelum baterainya habis.

Pengintegrasian budaya ke dalam cerpen “Monang” terjadi pada beberapa hal. Tradisi bahwa laki-laki lebih berpengaruh dalam kerumahtanggaan dituliskan dengan menggunakan tokoh ayah Monang. Watak keras, tidak mau mengalah, dan arogan menjadi sifat yang menempel pada sang ayah. Keberanian Monang hanya pada saat ia akan membakar rumah bersama ayahnya. Namun, hal itu juga dihentikan dengan ingatan dan ketakutan Monang pada kutukan ibu-ibu dalam kisah Malin Kundang serta Sampuraga. Meskipun yang ia sakiti nantinya adalah sang ayah, tetapi hal tersebut akan berimbas pada sang ibu yang sangat disayangi dan dihormatinya. Ia yakin ibunya bukan akan berterima kasih, melainkan sebaliknya.

Mengenai Malin Kundang, kisah anak durhaka ini sudah tersohor di seluruh Indonesia sebagai dasar kisah-kisah kedurhakan seorang anak yang berbuah kutukan. Tidak jauh berbeda dengan kisah Sampuraga yang malu mengakui keberadaan sang ibu karena kondisi fisiknya berbeda dengan Sampuraga.

Agak, bahkan jauh, berbeda dengan kisah Monang. Mengingat kisah Sampuraga dan Malin Kundang membuat Monang tidak melaksanakan niatnya untuk membakar rumah yang berisi keluarganya. Pemicu niatnya adalah kekasaran sang ayah terhadap[ sang ibu suatu malam yang menurutnya sudah keterlaluan dan pada titik puncak.

Alur kisah ini adalah maju-mundur-maju, atau sering disebut alur camnpuran. Diawali dengan kisah Monang yang menerima telepon, lalu pikirannya melayang ke masa lalu yang merupakan isi cerita, kemudian kesadarannya akan keberadaan dirinya di masa sekarang, masa ia harus menjalani hidupnya bersama keluarga baru bersama istri dan anak-anaknya.

Kisah dalam cerpen “Monang” mengajak pembaca memahami dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Kehebatan seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga bukan pada kehebatannya menyakiti atau menjadi nomorsatu di dalam rumah, tetapi kehebatan seorang laki-laki ada pada kemampuannya untuk terus membawa bahtera rumah tangga yang dinaunginya ke dalam kedamaian sejati.



Cerpen “Monang’ ditulis oleh Palti R. Tamba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar