Kamis, 26 November 2009

Menelusuri Ahlussunnah Wal Jamaah

"What is a name?" kata sastrawan Inggris William Shakespeare. Tapi, bagi masyarakat Indonesia, nama sangatlah berarti. Buktinya, soal istilah ahlussunnah wal jamaah yang dipakai kaum Salafi di Indonesia. Selama ini, istilah itu seolah-olah telah menjadi milik dan simbol standar bagi kalangan warga jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Karena itu, begitu ada ahlussunah wal jamaah "yang lain", masyarakat awam pun bertanya-tanya, termasuk dari kalangan NU. Bahkan, Menteri Agama Tolchah Hassan yang berasal dari lingkungan nahdliyin itu mengaku mendapat banyak pertanyaan dari warganya. "Mereka itu ahlussunah wal jamaah yang mana?" ujarnya menirukan berbagai pertanyaan tadi.

Ahlussunnah wal jamaah pada dasarnya adalah kelompok mayoritas kaum muslim yang tetap bergabung dalam kekhalifahan (negara) Islam setelah huru-hara besar pada 40 Hijriah. Huru-hara akibat perbedaan ijtihad antara Khalifah Keempat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan soal tampuk kepemimpinan itu berujung pada terbunuhnya Ali. Setelah itu, jamaah muslim terpecah menjadi tiga faksi.

Faksi pertama adalah kelompok yang frustrasi melihat perpecahan umat. Tapi, sikap mereka justru menjadi ekstrem. Keluar dari jamaah muslim, bahkan mengafirkan Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung keduanya. Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij.

Pendukung Ali yang tidak mau mengakui keabsahan Muawiyah sebagai kalifah (kepala negara) pun bergabung dalam faksi tersendiri. Mereka menganggap Ali dan keluarganya lebih layak menjadi pemimpin kaum muslim. Mereka akhirnya mengkristal dengan sebutan Syiah.

Dan, faksi ketiga adalah mereka yang mengakui kekalifahan Muawiyah, meskipun ada pula yang tidak sepenuhnya setuju kepadanya, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud. Merekalah yang dikenal sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah atau sering disebut Sunni. Ahlussunnah wal jamaah bermakna, mereka yang memegang dan menjaga sunah Nabi sebagai sumber hukum setelah Alquran dan tetap berada dalam jamaah muslim.

Di kalangan ahlussunnah wal jamaah, berkembang pula berbagai mazhab fikih. Itu karena perbedaan pemahaman para fuqaha (ahli fikih) dan mujtahidin (ahli ijtihad) terhadap teks Alquran dan Hadis. Misalnya, Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri. Mazhab fikih itulah yang membedakan acuan hukum dan pelaksanaan ibadah bagi individu umat Islam.

Pada abad ke-2 Hijriah, pengaruh pemikiran filsafat Yunani dan Persia mulai masuk dalam wacana kaum muslim. Terutama, dalam menjelaskan akidah dan kekuasaan Allah. Akhirnya, itu mengakibatkan kaum muslim terpecah menjadi beberapa kelompok.
Kelompok pertama menitikberatkan pembahasan dengan akal dan pemikiran filsafat. Bahkan, menomorduakan dalil Alquran dan Hadis. Karena itu, mereka disebut ahlur ra’yi (kelompok yang mengutamakan akal). Yang terkenal dari kelompok itu adalah golongan Mu’tazilah yang tak segan-segan menyerang paham lainnya. "Apalagi didukung Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah," kata Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya, Tarikhul Mazhahib Al Islamiyah.

Berseberangan dengan ahlur ra’yi adalah ahlul hadits. Mereka lebih mengutamakan dalil Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum. Bahkan, mengharamkan pemakaian filsafat dalam membahas masalah keagamaan. Kelompok itu dipimpin para fuqaha dan muhaditsin (ahli hadis), seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Merekalah yang disebut salafi (klasik), yang bermakna orang-orang yang mengikuti paham para ulama terdahulu (salafus salihin).

Ada pula kelompok yang mengambil jalan tengah. Mereka tidak setuju dengan cara berpikir kaum Mu’tazilah, tapi mengadopsi filsafat dan logika Yunani serta Persia untuk menjelaskan teologi Islam. Abul Hassan Al Asy’ariy dan Abu Manshur Al Maturidy merupakan tokoh yang menonjol dan menjadi nama paham teologi mereka: Asy’ariyah dan Maturidiyah. Ciri paling masyhur dari paham Asy’ariyah adalah pembahasan 20 sifat Allah. Di Indonesia, paham itu biasa dipakai kalangan Nahdliyin dan Persatuan Islam.

Memang, dari berbagai organisasi Islam di Indonesia, ada perbedaan mazhab fikih dan kajian teologi. Misalnya, bila NU cenderung bermazhab Syafi’iyah dan berteologi Asy’ariyah, Salafi bermazhab ahlul hadis. Tapi, baik NU maupun Salafi sebenarnya berada dalam satu gerbong: golongan ahlussunnah. Begitu pula Persatuan Islam, Matla’ul Anwar, Muhammadiyah, Al Irsyad, Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir.

Jadi, sudah selayaknya bila setiap kelompok tidak mengklaim dirinya paling berhak memakai istilah ahlussunah wal jamaah.

HWYW dan QT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar