Senin, 19 Juli 2010

Torehan untuk Lelaki: Siap atau Ingin Nikah?

"Aku ingin nikah, May." ujar seorang teman lelaki suatu hari.

"Kak, kayaknya nikah itu asik," ucap seorang lelaki lain yang usianya lebih mudah dari saya.

Masih banyak ungkapan ingin nikah dari rekan-rekan lelaki saya. Saya jadi tertarik untuk menulis terkait hal ini.

Nikah, sebuah kata yang sangat indah, sakral, bila didengar siapapun, terutama kaum muslim. Kok kaum muslim? Ya, karena dalam Islam paduan kasih sayang dua manusia berbeda jenis kelamin bukan dalam bentuk pacaran, tapi nikah.

Sejak mendalami Islam, tentu seorang muslim akan menyadari bahwa nikah adalah sebuah jalan terbaik, solusi yang ditawarkan Islam. Begitupun dengan saya dan rekan-rekan saya. Biasanya, di awal pendalaman itu muncul keinginan menggebu untuk nikah. Tapi, meski banyak membaca buku-buku nikah, adakah yang benar-benar mempersiapkan pernikahan itu sendiri? Saya tak bisa menjawabnya karena tulisan ini saya buat untuk kaum lelaki.

Tidak bermaksud menggurui atau sok lebih mengerti, tapi dari beberapa kasus yang saya temui, kaum lelaki yang mengatakan ingin nikah, siap nikah, dan sudah khatam buku-buku nikah, nyatanya belum mempersiapkan pernikahan itu sendiri. Ini sekadar pandangan saya, lho. Kok? Apa alasan saya?

Pertama, persiapan menghadapi psikologi calon pendampingnya. Perempuan memiliki karakter psikologis yang beda dengan lelaki. Tentu semua hapal hal itu. Malah ada yang sudah khatam buku terkait psikologi suami istri. Namun, kenyataannya itu tak menjamin bahwa lelaki tersebut sudah mempersiapkan diri. Bung, untuk khatam buku, siapapun bisa. Tapi, membaca kenyataan, menghadapi kenyataan, apakah sudah bisa? Belum. saya berani berkata begini karena saya melihat sikap rekan-rekan lelaki saya yang tidak atau kurang menghargai pertemanan mereka dengan kaum perempuan.

Contoh kecil, dalam sebuah organisasi yang pernah saya ikuti. Selalu ada jam malam untuk kaum perempuan. Tapi, sering juga perempuan melanggar jam itu karena: teman lelaki tidak membantu penyelesaian tugas mereka. Padahal, seharusnya hal tersebut bisa dilakukan berjamaah kan? Kaum lelaki hanya mampu berkata, "mbak, ini jam berapa?"

Di satu pihak berkata siap nikah, tapi di pihak lain masih belum mampu memahami psikologi perempuan. Nah, saran saya, pahamilah dulu psikologi perempuan melalui praktek itu.

Kedua, persiapan menghadapi orangtua. Saya temukan tidak hanya satu, tapi beberapa rekan lelaki saya bermasalah dengan orangtuanya terkait pernikahan.

"Harus orang jawa, May," ujar seorang teman.

"Aku harus kerja dulu, May," ujar teman yang lain.

Sepertinya kaum lelaki harus belajar dari perempuan terkait hal ini. Apa susahnya memahami maksud orangtua? Alasan orangtua? Yang kemudian kita komparasikan dengan keinginan kita, sang anak. Sekadar sharing, saya mendiskusikan pernikahan sejak tingkat pertama saya kuliah! Awalnya saya sangat tidak menerima keinginan orangtua. Ya, saat itu saya berpikir, saya sudah bukan anak kecil lagi. Saya juga punya prinsip Islam, dan prinsip itu tidak bisa ditukar dengan apapun. Namun, lambat laun, seiring seringnya diskusi, juga meminta masukan dari ibu-ibu lainnya, kemudian mengkomparasikan dengan inginnya saya, ternyata apa yang diminta orangtua bukan hal yang bertentangan dengan agama. Malah, hal itu adalah bukti sayangnya orangtua pada saya. Hanya, cara penyampaiannya saja yang berbeda. Ya, ternyata saya tidak boleh menelan bulat-bulat kalimat orangtua saya.

Bagaimana dengan Anda, rekan lelaki saya?

Hmm, saya tidak ingin menekan kalian, kaum lelaki. Maaf bila tulisan saya banyak yang nyelekit, tidak nyambung, atau apalah itu yang menyakitkan. Ini semua saya lakukan juga karena saya berharap kita semua bisa membangun rumah tangga dengan persiapan yang matang. Bukan sekadar Ingin

2 komentar: