Jumat, 17 September 2010

Ri?


I will love you more than that
I won’t say the words then take them back

Alunan lagu penyanyi lawas terdengar di tepian stasiun Kalibata ini. Aku duduk diam, mengingat apa yang baru aja terjadi di depan ruang LDK STEKPI. Dan aku tak menyangka dengan diriku saat itu.


“Ken,” panggil seseorang. Suaranya bass. Pasti laki-laki. Ya, aku, Keniati, baru saja lulus dari pendidikan Manajemen Ekonomi di Sekolah Tinggi Ekonomi ini, STEKPI. Baru saja kuucapkan perpisahan terhadap teman-teman Lembaga Dakwah Kampus STEKPI yang kecil ini.

Dan kini, di depan ruang bernama sekretariat LDK ini, aku berdiri. Berbalik arah karena panggilan seseorang.

“Ada apa, Ri?” tanyaku kemudian. Lelaki berkaos biru itu diam tak menjawab. Matanya lurus menatapku. Hei! Jangan menatapku begitu, aku bisa salah tingkah. Aku perempuan yang lemah melihat sosok shaleh sepertimu, Ri.

Alhamdulillah, dia mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Fiuh, bersyukur aku. Ya, kau memang tidak putih, tampan, dan bening, Ri. Tapi wajahmu yang sering berbasuh air wudhu itu sangat bersih, indah, dan teduh.

“Masih ada waktu senggang?” tanyamu. Spontan aku mengangguk.

“Ah, ada Yog. Yoga, sini. Temani kami,” lnjutmu. Dan sosok kurus adik kelas kita yang dikenal sebagai penjual buku sampai seantero kampus itu menoleh, menghampiri kita. Kedua tangannya penuh bungkusan yang kuyakin adalah buku pesanan.

“Aku mau bicara serius, Ken.”

Ah, panggilan itu. Orang-orang memanggilku Nia, tidak sepertimu. Kau tahu, itu panggilan yang sangat Japanese kurasa. Dan aku tahu kau begitu suka dengan anime. Panggilan Ken mengingatkanku pada Kentaro, teman main Sentaro, sang kelinci di salah satu komik yang kautunjukkan dulu.

“Iya,” jawabku. Sebenarnya debaran di hatiku sudah tak dapat kutahan. Ya, tidak biasanya kau begini formil, Ri. Aku teringat bahwa kau berkali-kali melakukan hal yang tak selalu kaulakukan pada oranglain. Hanya untukku. Bolehkah aku GR?

”Kau sudah siap? Aku ingin kau menemaniku kelak,” ujarmu. Tuh, kan. Benar kan. Susunan kalimatmu yang begitu tertata. Sederhana kedengarannya. Tapi aku mendengar beberapa tarikan nafas sebelum kau bicara.

“Maksudmu?” tanyaku.

“Kak, maaf. Bukannya proses itu baiknya lewat guru ngaji atau perantara?” Yoga memotong keheningan dan degupan kami. Yah, dia semakin meyakinkanku.

“Tak perlu, Ga,” ujarmu, Ri. Aku bersegera menunduk dalam demi mendengar kalimat-kalimatmu.

“Melihat sikapmu selama ini dan laporan teman-teman selama kau kuliah, di kelas, di tengah masyarakat, aku yakin kau orang yang tepat, Ken. Kau bisa menjadi pendampingku. Aku diberi wewenang untuk hal ini. Ayahku percaya dengan semua keputusanku.”

Aku semakin tertegun. Ada apa ini, Ri? Kau begitu tiba-tiba.

“Tapi…” aku berusaha mengelak. Ini bukan mauku, Ri. Aku belum terpikir tentang nikah meski teman-teman sudah mendesakku. Apalagi denganmu, Ri. Orang yang terlalu bagus untukku.

“Besok bawa biodatamu, ya, ke rumah. Karena Ayah ingin bertemu dulu,” ujarmu. Aku semakin merasakan tangga aula STEKPI runtuh menimpaku. Tak kurasakan lagi semilir angin. Rasanya angin begitu panas.

“Barakallah, Kak Nia,” ujar Yoga berseri.

“Oh, iya, kau belum diterima di perusahaan manapun, kan, Ken?” tanyamu lagi. Eh? Apakah kau akan mencegah istrimu kelak bekerja? Sepertinya kau bukan tipe begitu, Ri. Aku hanya menggeleng. Aku tak bisa berkata apapun.

“Kak, kayaknya Kakak bukan tipe yang mau istrinya di rumah aja deh,” ujar Yoga. Sepemikiran denganku rupanya ia.

“Kok kamu mikir gitu?”

“Lha, tadi. Kakak mau nikah sama Kak Nia tapi nanya soal kerjaan.”

“Siapa yang mau nikahin dia?” tanyamu, Ri. Kulihat raut heran. Alismu bertaut, berusaha menyatu. Sepertinya kau berpikir, ya?

“Hahahaha. Jadi, kau kira aku ini melamar Ken untuk nikah? Yoga, bukan itu. Aku ini nanti butuh manajer keuangan di anak perusahaan ayahku. Kebetulan aku yang akan memimpin anak perusahaan itu. Ngerti?”

“Biodata tadi? Berarti CV untuk kerja?” Yoga masih bertanya polos. Dan kau mengangguk masih sambil tertawa, Ri.

DUAKK!!!! Tawa kalian berdua pun meledak. Aku? Benar-benar merah saat ini. Udara terasa panas.

2 komentar:

  1. plok2..
    ngalir banget ceritanya
    suka chika^^

    chika gx bisa buat cerita kayak gini >.<

    eh harusnya Ri itu jadi Rei aja mba ikikii

    kasian banget euy si Ken nya itu, salah sangka wkekeee

    BalasHapus
  2. bukan ga bisa, tapi belum. karena nulis tuh kegiatan yang bisa diasah, chik ^.^

    hehehe, biar deh tuh Ken saya korbanin sekarang

    BalasHapus