Jumat, 07 Oktober 2011

Isti'jal

Isti’jal merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh para da’i, sehingga seringkali hal ini meskipun diiringi dengan niat yang ikhlas dan semangat yang tinggi membuat potensi dakwah dan harakah terhambat, bahkan tidak jarang mundur ke belakang. Bahkan yang lebih parah lagi lahirnya sikap antipati dan ‘rasa ngeri’ yang dialamatkan kepada dunia dakwah dan harakah secara keseluruhan. Untuk itu perlu sekali masalah ini dipahami baik-baik, penyebab dan cara penanggulangannya.

Sebetulnya Islam memandang sifat tergesa-gesa adalah bagian dari watak dasar manusia, seperti yang telah Allah nyatakan :

“Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (QS. 17:11).

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa” (QS. 21:37)

Oleh karena itu Islam tidak “saklek” memandang isti’jal sebagai suatu hal yang dibuang jauh-jauh. Sebab ada kalanya sifat ini dibolehkan manakala persiapannya telah matang dan telah menguasai medan serta mempertimbangkan masak-masak akibat-akibat yang akan terjadi, sebagaimana kisah nabi Musa as.

“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa. Berkata Musa : Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu ya Rabb-ku supaya Engkau ridha (padaku)” (QS. 20: 83-84)
Sebaliknya, jika hanya bermodalkan semangat dan dorongan jiwa yang belum
memungkinkan , maka di sinilah isti’jal merupakan sebuah ‘penyakit’.

Sebab-Sebab Isti’jal
1. Dorongan jiwa.
Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa isti’jal adalah bagian dari watak dasar  manusia, maka jika seorang da’i tidak bisa mengendalikan dirinya dan berfikir realistis, kemungkinan besar dia akan terperangkap dalam isti’jal.

2. Semangat dan gejolak Keimanan.
Seseorang yang imannya telah menancap kuat dalam dirinya maka dia akan melahirkan kekuatan yang amat besar. Jika tidak diarahkan dengan tepat maka dia akan meledak tanpa menghiraukan dampak yang akan terjadi. Dalam kerangka inilah dakwah Rasul pada marhalah (fase) Makkiyah lebih dikonsentrasikan pada kesabaran dan ketabahan.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik’(QS. 73:10)

3. Era Globalisasi.
Zaman dimana kita hidup kini adalah zaman dimana segala sesuatu bergerak dengan cepat. Seseorang yang pagi harinya berada di Jakarta beberapa saat kemudian sudah bisa berada di Cairo, berita yang terjadi di belahan dunia bisa kita saksikan pada saat yang bersamaan. Gejala seperti inilah yang menjalar ke arah dunia harakah dimana segala sesuatu harus dirampungkan secepatnya.

4. Keberhasilan yang dicapai oleh musuh dan kurangnya pemahaman tentang metode-metode yang mereka gunakan.Tak dapat disangkal lagi bahwa dunia sekarang ini lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang kafir, sehingga banyak sekali program-program mereka yang terlaksana.

Berdirinya negara Israel adalah salah satu (dari sekian banyak) bukti keberhasilan mereka seiring dengan keruntuhan khilafah Usmaniyah. Padahal sebelum itu negara Israel tak lebih dari angan-angan semata, tetapi setelah merampas sebagian dari bumi Islam-Palestina- mereka sudah dapat mewujudkan keinginannya, bahkan sesudah mulai menjalar ke Lebanon dan bukan tidak mungkin seluruh negeri Arab lainnya, sesuai dengan impian mereka (orang-orang Yahudi):Israel Raya dari sungai Nil sampai sungai Eufrat. Belum lagi penderitaan  dan penindasan yang banyak dialami oleh umat Islam di banyak belahan dunia , kerugian moral ataupun fisik dan hukum-hukum Allah yang dimulai disingkirkan sedikit demi sedikit, adalah bagian yang tak terpisahkan dari makar yang terus  menerus mereka lakukan di samping tentu saja kondisi kaum muslim yang semakin jauh dari Dinnnya

Sangat disayangkan kalau kondisi di atas ditanggapi oleh sebagian kaum muslim sebagai kejadian yang terjadi begitu saja, tanpa mau memahami bahwa untuk semua itu mereka melalui jalan yang panjang dan berliku-liku dengan strategi dan tahap-tahap tertentu dan disertai pengorbanan yang tidak sedikit. Dari sinilah banyak yang ‘nggak sabaran’ ingin mewujudkan keinginan mereka secepatnya sebagai mana orang-orang kafir telah mewujudkan keinginan mereka.

5. Meluasnya kemungkaran , tetapi tak paham, cara penanggulangannya yang paling tepat. Di zaman sekarang ini kemungkaran memang sangat merajalela apalagi sarana dan suasana untuk itu sangat tersedia (atau justru disediakan?). bagi orang-orang tertentu yang ingin hidup jauh dari dosa dan penuh dengan nilai –nilai keimanan, suasana seperti itu sudah barang tentu sangat menyiksa. Sikap seperti itu tentu akan melahirkan keinginan yang besar untuk menghapus kemungkaran, apalagi ketika diketahuinya banyak ayat-ayat atau hadits nabi yang menunjukkan betapa pentingnya kemungkaran dihilangkan. Bahwa menghilangkan kemungkaran wajib bagi  setiap muslim adalah hal yang tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak setiap kemungkaran dapat dihilangkan harus tidak berakibat kepada lahirnya kemungkaran harus tidak berakibat kepada lahirnya kemungkaran yang lebih besar.

Jika berakibat kepada kemungkaran yang lebih besar maka seorang da’i harus menahan diri serta menjauh dari nya disertai dengan kebencian dalam hati,  sementara di lain pihak dia harus mencari metode yang paling tepat untuk  menghilangkan sampai terbuka baginya peluang untuk itu.

Cukup bagi kita contoh yang dilakukan Rasulullah SAW. Bagaimana ketika beliau masih berdakwah dalam marhalah Makkiyah tidak mengusik-ngusik berhala-berhala yang ada di dalam Ka’bah, karena kalau itu sampai dilakukan bukan tidak mungkin orang kafir Quraisy akan menggantikan dengan berhala yang lebih  besar dan lebih banyak atau bahkan dakwahnya di Makkah menjadi terhalang sama sekali. Akan tetapi beliau tidak tinggal diam, pada saat yang bersamaan berusaha mencari dan mentarbiyah orang-orang yang bisa diajaknya untuk memperjuangkan dakwahnya bersama-sama.

6. Kerja dengan mengabaikan pengalaman sebelumnya.
Pengalaman adalah guru yang terbaik, orang yang tidak mau belajar dari  pengalaman akan terjebak dua kali di tempat yang sama. Dalam sejarah seringkali isti’jal yang tidak didahului oleh pembinaan yang mantap hanya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi musuh-musuh Allah untuk segera menumpas lajunya dakwah dan harakah.

7. Tak kuat menanggung cobaan dan jalan dakwah yang panjang.
Cobaan dan waktu yang terpisahkan dari dakwah itu sendiri, seseorang yang tidak siap menghadapi hal ini akan sulit bertahan dan akhirnya akan mengambil jalan pintas. Padahal di zaman Rasul sahabat Kahabbab bi Arit pernah mengadu dan mohon agar dia berdoa kepada Allah SWT agar cepat-cepat menurunkan bantuannya setelah beratnya derita dan siksaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir kepadanya dan sahabat-sahabatnya. Tetapi untuk pengaduannya itu Rasul masih menganggapnya  ‘tergesa-gesa’ sambil membandingkannya dengan umat terdahulu yang tabah dan tsabat (eksis) di atas jalan Allah meskipun ada yang harus menggali kuburan untuk dirinya sendiri, di gergaji kepalanya dan tubuhnya dibelah dua atau ada juga yang disisir dengan sisir besi hingga terkelupas dagingnya sampai ke tulang-tulangnya.

8. Melupakan ghayah (tujuan) seorang muslim.
Banyak da’i yang keliru menjadikan natijah (hasil) sebagai ghayah dari setiap
usahanya dalam dakwah , sehingga tatkala natijah tak kunjung datang, hatinya menjadi tak tenteram dan akhirnya mengarah pada sikap isti’jal. Padahal ghayah seorang muslim adalah mardhotillah dan itu akan terwujud manakala seorang da’i selalu I’tizam dalam manhaj-Nya serta tsabat hingga akhir hayat, terlepas apakah dia berhasil atau tidak, karena yang Allah tuntut adalah usaha seseorang bukan natijahnya.

“Maka siapa yang berharap berjumpa dengan Rabbnya, hendaklah beramal shalih dan tidak menyekutukannya dalam beribadah kepada Rabb-nya.”(Q.S. 18: 110)

9. Melupakan sunnatullah terhadap orang-orang kafir.
Salah satu sunnatullah terhadap mereka adalah menangguhkan azabnya dan
mengulur-ulur keruntuhannya.

“Dan Aku memberi tangguh kepada mereka, sesungguhnya rencana-Ku amat teguh’(Q.S. 68:45)

10. Keberhasilan yang diraih pada tahap-tahap permulaan.
Adakalanya seseorang terpedaya oleh keberhasilannya sendiri, seperti jumlah pengikut yang cepat bertambah atau berhasilnya beberapa program yang dia canangkan, dengan itu dia kira segalanya terbuka lebar untuk mencapai keberhasilan-keberhasilan berikutnya selekas-lekasnya. Padahal musuh setiap saat selalu mengintai dan mencari kesempatan yang paling tepat untuk menghancurkan gerakan dakwah.

11. Berteman dengan seorang yang memiliki sifat isti’jal.
Pengaruh seorang teman sangat besar sekali dalam membentuk pribadi seseorang, apalagi jika teman tersebut memiliki pribadi yang kuat. Kemungkinan isti’jal akibat pengaruh teman adalah bukan hal yang mustahil.

Penanggulangan Isti’jal
1. Memperhatikan kembali dengan cermat dampak negatif yang ditimbulkan oleh sikap isti’jal yang tanpa perhitungan (tanpa harus menuding siapa-siapa)

2. Mengambil ibrah dari proses penciptaan alam ini, dimana Allah SWT dengan segala kekuasaanya mampu menciptakan segala sesuatu dalam sekejap, tetapi menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari (Q.S. 7:54)

3. Memperhatikan kembali sirah nabawiyah dan para sahabatnya, bagaimana sabar dan konsistennya mereka dalam jalan Allah walau menghadapi cobaan yang berat dan jalan yang amat panjang. Begitu pula sejarahnya pada ulama dan para da’i yang iltizam. Dengan manhaj Allah dan Rasul-Nya serta sabar di atasnya.

4. Berdakwah atas dasar manhaj yang jelas, memiliki sasaran jangka pendek dan jangka panjang lengkap dengan marhalah-marhalah yang harus dilalui. Dengan hal semacam ini potensi yang besar jadi terserap dalam kerja yang efektif dan efisien tidak diarahkan kepada hal yang malam memperlemah potensi itu sendiri.

5. Memahami strategi dan metode musuh-musuh Allah dalam menjalankan usaha mereka.

6. Tidak takut dan gentar dengan kondisi musuh-musuh Allah yang telah mapan dan telah menancapkan kukunya kuat-kuat di dunia Islam, berdasarkan keyakinan bahwa Allah SWT dapat dengan mudah menghilangkan semua itu.

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat mereka adalah jahanam; dan jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”. (Q.S. 3: 196-197)

“Sesungguhnya orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian mereka menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannamlah mereka orang-orang kafir dikumpulkan” (Q.S.8:36)

7. Melatih diri sendiri untuk selalu bersikap hati-hati dalam melakukan tindakan dan punya pandangan jauh ke depan.

8. Mempelajari baik-baik cara menghilangkan kemungkaran supaya tidak melahirkan kemungkaran baru yang lebih besar dan tentu saja dapat menghindari sikap isti’jal memperhatikan kembali ghayah yang harus diraih oleh seorang muslim supaya tidak terburu-buru ingin melihat hasil yang belum waktunya dan memaksakan kedatangannya.

Seorang Da’i Antara Futur Dan Isti’jal
Futur (patah semangat) dan isti’jal adalah dua hal yang sepatutnya dihindari oleh seorang da’i , karena kedua-duanya menunjukkan adanya ketidakseimbangan dakwah di mana salbiyahnya (negatifnya) lebih besar daripada ijabiyahnya (positifnya). Apalagi dinul Islam adalah din yang tawazun dalam segala aspeknya begitupun dalam dakwah dan harakah. Seorang da’i dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan antara futur dan isti’jal, dalam artian dia harus selalu berusaha meningkatkan dakwahnya (kuantitas ataupun kualitas) atau paling tidak mempertahankan kondisi yang sudah ada jangan sampai mundur, serta menggunakan kesempatan dan potensial yang tersedia juga tidak menyia-nyiakan waktu terbuang percuma, tetapi juga tidak ‘over dosis’ memaksakan natijah yang belum waktunya tercapai, sabar terhadap segala cobaan dan optimis terhadap masa depan Islam.

sumber: http://www.oasetarbiyah.com/?p=218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar