Minggu, 11 Maret 2012

Negeri 5 Menara, eh?



Sore itu saya diajak seorang sahabat untuk menonton film. Yeah, sebenarnya saya tak begitu tertarik dengan buku berjudul seperti film yang akan kami tonton. Tapi, tak salah kan mencoba nonton? Dan saya berhasil untuk kedua kalinya nonton film yang tak saya baca dulu bukunya. Tepatnya, film lokal.

Sebelum nonton, jauh hari saya sudah disuguhi berita tentang penulis dan film ini. Setidaknya saya sudah mendapat bayangan seperti apa wajah sang penulis sekaligus pengalam asli. Kak Fuadi. Dalam film disebut sebagai Alif. Excited? Tidak. Saya biasa saja. Dan saya mencoba siapkan diri merekam apa-apa di dalam film ini, untuk saya ambil pelajaran dan saya kritisi sesuai kapasitas dan bidang ilmu saya. Gaya banget sih, heuheueheu.

"Eh! Kok mirip!?" tanya saya ke sahabat di sebelah. 

"Ya, dicari yang mirip, lah," jawabnya santai. Oke, oke, saya mulai merasa tertantang. Meski gemas karena sahabat saya menanggapi biasa saja. Yuk, kembali ke film. Khususnya ke adegan-adegan yang akan kita bahas. Oh iya maaf ya kalau belum sempurna, saya bukan jurusan perfilman, hanya mempelajari drama saja ^_^.

Kali ini saya terkagum dengan sang ayah Alif. Ketika transaksi jual-beli kerbau terjadi. Tangan sang ayah dimasukkan ke sarung yang melingkari leher sang pembeli, kemudian mereka berjabat tangan. Jabat tangan itu tak sembarangan karena diselingi penawaran. Ah saya bingung bagaimana membahasakannya secara tulisan. Intinya mereka tawar menawar dengan hitungan jari saat berjabat.

Setelah itu sang ayah mengajak Alif (yang ngambek) diskusi. Intinya, sang ayah cuma memberi petuah bahwa hidup itu dijalani dulu, kenali dulu, baru kita akan tahu apa yang harus dijalankan dalam hidup. Ya, saya terkesan dengan cara beliau yang demokratis. Cara bijak beliau, membuat saya merindukan ayah (lho?), maksud saya membuat saya bersyukur karena ayah saya juga begitu, demokratis dalam keluarga. Pantas saja ini jadi film keluarga, di dalamnya berisi ajaran juga bagaimana seharusnya seorang ibu dan seorang ayah bersikap atas kondisi: anak yang puber dan keputusan mereka sebagai orangtua. Tak memaksa atau sekadar membiarkan. Lebih mengarah pada saran, menjadi teman sang anak ketika ada masalah di depan.

Oke, akhirnya kita harus beralih ke adegan berikutnya yang membuat saya terkesan. terkesan? Mungkin tepatnya histeris, hehe. Saat itu adegannya adalah hari pertama santri belajar dengan seorang ustadz. Siapa? Ustadz Salman Ali namanya. Ustadz ini menjadi salah satu tokoh penting dalam film karena melalui beliaulah 'mantra' man jadda wajada muncul. Begini kisahnya.

Seorang ustadz berpeci dan kemeja biru serta celana panjang hitam masuk ke dalam kelas membawa pedang tumpul dan sepotong kayu. Setelah mengucap salam dan mengenalkan nama, beliau meotong kayu dengan pedang tumpul itu.

"Thomas! Thomas!" teriak saya ke sahabat di sebelah.

"Apaan sih berisik," sahutnya meski teriakan saya tidak seheboh anak labil yang melihat lelaki cantik negeri ginseng.

"itu Thomaaas..." saya heboh lagi. Yap, pemeran ustadz Salman itulah yang mengejutkan saya. Pemeran Thomas di Film Merah Putih itu kini berpeci dan berkemeja biru, berperan sebagai pemotong kayu dengan pedang tumpul. Dan sejak di Film Merah Putih (juga Merantau) saya memang suka dengan karakter dan aktingnya. 

"siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil. man jadda wajada" ucap Thomas, eh, Ustadz Salman, sambil menenangkan diri yang kelelahan usai mencoba memotong kayu. 

hanya dua scene itu yang saya rasa sangat perlu saya bahas kali ini. Saya jadi ingin anak saya kelak sekolah di Gontor dan melanjutkan di Oxford (aamiin) semoga Allah mengabulkan harapan ini. amiin... Ada lagi dari teman-teman?

*catatan: saya sampai sekarang masih belum minat membaca bukunya dan tak begitu tertarik dengan 'mantra' nya. kenapa ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar