Rabu, 14 Oktober 2009

Dua Sisi

Fahim. Akhwat jurusan sastra yang terus merepotiku dengan berbagai pertanyaan dan permintaan. Aku sering ribut dengannya. Tak peduli masalah kami, sepele ataupun tidak. Akhir-akhir ini aku cuek, begitupun dengannya. Ketus padaku. Hanya organisasi saja yang membuat kami berkomunikasi. Tapi...aku rindu dengan candanya kadangkala. Canda yang sering bukan untukku, meski aku terkadang ingin.

“San! Antum kenapa!?”tanya Ruslan di sampingku. Baru saja aku hampir menyalip sebuah truk. Tepat saat aku melamun. Aneh, kenapa pikiranku melayang pada Fahim?

“Afwan, Rus,”ujarku. Kucoba tenangkan hatiku yang tiba-tiba gundah ini. Gundah? Kenapa pula harus gundah?

“San, semoga Fahim mau terima ane ya,”lanjut Ruslan sambil menunduk. Aku melihatnya sekilas di kaca spion. Ikhwan pemalu. Kau buatku kagum, Rus...dan buatku kalah...batinku. “Meski ane pernah gagal, meski fisiknya nggak cantik, ane mau coba lagi, San. Kemarin...ane udah bilang sama dia dan hari ini, nanti sore, MR kami mau ngajak ta’arufan,”rincinya. Lembut suaranya, selembut sikapnya pada setiap orang yang ditemuinya. Ruslan.. dan aku? Rabb, kenapa seolah ada yang sakit di tubuhku?

“Do’ain, ya, San...antum, kan, sahabat ane...”ucap Ruslan, menggantung. Kutunggu lanjutannya, lanjutan berita menyenangkan sekaligus menggundahkan ini. Ternyata hanya hening yang melanjutkan. DEG!! Aliran darahku kurasai cepat. Aku tak tahu apa ini, yang pasti aku merasa kurang nyaman dengan ucapan Ruslan. Diam kujadikan pilihan saat ini hingga akhirnya kuucap kalimat, “semoga hal terbaik yang terjadi nantinya, Rus,” seraya tersenyum. Senyum yang kuusahakan tak tampak aneh baginya. Kulanjutkan mengisi waktu di mobil kesayanganku dengan fokus pada jalanan.

Tak begitu lama, kami sampai di depan rumah sederhana orangtua Ruslan. Sebuah rumah tanpa tipe. Yang kutahu, di depan rumahnya ada halaman kecil namun asri untuk ditanami pepohonan kecil. Manis kulihat. Ruslan turun dan mengucap salam serta terima kasih padaku. Kujawab salamnya, kututup jendela mobil. Segera kulajukan mobil ke arah rumah mewah ayahku.

Aku merenungi ucapan Ruslan yang tadi. Ta’aruf. Lalu, mereka berproses....dan.....ah!! Aku heran dengan diriku. Buat apa kupikirkan mereka? Tapi... Ya, dari status sosial saja sudah berbeda. Yang kukhawatirkan adalah keluarga Fahim. Memang lebih layak Fahim bersanding dengan Ruslan, tak begitu merepotkan keluarganya. Kegemaran? Beda. Ia lebih mirip dengan Ruslan dibanding denganku. Apalagi? Pekerjaan? Aku seorang freelancer, sama seperti Fahim. Yah, gaji seorang freelancer apa iya cukup untuk sepasang keluarga muda? Sudahlah, memang ia lebih layak dengan Ruslan yang seorang pekerja tetap di provider internet itu. Aku dan Fahim juga masih kuliah. Kini, aku hanya bisa mendoa untuk kami bertiga....
.............................
“San! Antum kenapa!?”pekikku setengah kaget dengan manuver rekanku di belakang setir. Ihsan, seorang mahasiswa teknik sipil. Sepertinya ia sedang dirundung gelisah.

“Afwan, Rus,”ujarnya. Ya, kulihat wajah lusuhnya. Apakah terlalu berat beban kuliahnya sehingga wajah cerianya itu tertutupi lusuh sehabis UAS? Sudahlah. Lebih baik kuhibur dia dengan kabar gembiraku.

“San, semoga Fahim mau terima ane ya,”ucapku malu. Aku menunduk...tak kuasa kutatap jalanan atau wajah Ihsan. Aku malu untuk menyatakan ini. Tapi demi menghibur Ihsan kukatakan juga berita gembira ini. “Meski ane pernah gagal, meski fisiknya nggak cantik, ane mau coba lagi, San. Kemarin...ane udah bilang sama dia dan hari ini, nanti sore, MR kami mau ngajak ta’arufan,”rinciku. Kutunggu Ihsan menjawab, tapi ia hanya diam. Masih lusuhkah?

“Do’ain, ya, San...antum, kan, sahabat ane...”akhirnya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Aku masih tak berani menatap wajahnya.

“semoga hal terbaik yang terjadi nantinya, Rus,”ujarnya kemudian. Sahabat yang temaniku dalam suka dan duka. Kudapati senyumnya. Alhamdulillah, Ihsan sudah mulai tenang, sepertinya. Tak lama kemudian pintu rumahku sudah terlihat. Segera kuucap terima kasih dan salam padanya. Kulangkahkan kakiku dengan bismillah...

Sampai di rumah, kudapati telepon untukku. Saat itulah kutahu sebab lusuhnya wajah Ihsan. Sikapnya yang agak aneh, juga senyum getir yang kuterima tadi. Saat seorang ikhwan menanyakan pendapatku kalau Ihsan dijodohkan dengan Fahim. Ketika kutanya alasan perjodohan itu, karena Ihsan menyukai Fahim sejak rihlah dan dia akan mengkhitbah Fahim secepatnya.

Saat itulah kurasakan pisau yang menusuk hati. Bukan, bukan hatiku, tapi hati Ihsan...dan aku yang menusukkan pisau itu tanpa kusadari. San, afwan...tapi kita harus mengikuti aturanNya...
....................................................

1 komentar: