Rabu, 11 November 2009

Kerja Kita Harus Dilihat Orang Lain?

Hari sudah memanjat malam kala rombongan kami merangkaki pegunungan puncak dengan kaki-kaki letih kami. Kulirik jam, pukul 10.15 WIB. Tronton(kendaraan khusus tentara) yang kami sewa tak sanggup mencapai villa kami. Hmm, baiklah. Sya dan teman-teman panitia bergegas mengkoordinir peserta acara. Ya, kali ini acara Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (BEM JBSI) Universitas Negeri Jakarta adalah pelatihan kepemimpinan. Sebagai tim kesehatan&keamanan, sya berjaga, bersiap menerima panggilan. 4 km. Suatu jarak yang tak bisa dibilang dekat, apalagi menjelang tengah malam. Puncak Bogor, dikitari sawah, tanah lapang, dan....kompleks pekuburan (hiii....) menjadi teman perjalanan kami malam ini. Berkali sya menjaga kerapian, keamanan, dan berjaga bila ada yang sakit. Karena tunggal, sya bergerak kesana kemari, memberi sedikit petunjuk pada teman-teman yang membantu menjaga keamanan serta kenyamanan perjalanan peserta. Subhanallah, tak dapat dihitung lagi berapa kilo sesungguhnya perjalanan ini, dengan bolak-baliknya kaki karena ada saja peserta yang mengeluh ini-itu. Tak apa, batin sya, mereka masih anak-anak.

Akhirnya, setelah perjalanan yang entah apakah jauh atau tidak, kami sampai di sebuah vila. Yap, itu dia vilanya. Sebuah bangunan bersayap di kanannya yang akhirnya jadi tempat beristirahat peserta lelaki. Bangunan utama di kiri kami jadikan aula dan tempat istirahat peserta perempuan.

Usai membagi dan beres-beres, panitia menuju satu titik. Sebuah teras depan bangunan utama, di sana kami evaluasi semua hal hari ini.

“Tumben lo May, bener kerjanya,”ujar seorang panitia. PLAKK!!! Sebuah tangan melayang ke pipi panitia tersebut.

“Lo pikir orang bener kerjanya kalo udah kecapean gini? Kalo gue mati lo baru ngehargain kerja gue? Apa kerja gue harus lo liat, terus lo cibir kalo lo nggak liat!?”hardik sya.

Ternyata itu hanya bayangan akan tamparan saja. Sya hanya diam mendengar ucapan sinisnya. Ya, apakah kerja harus di depannya? Apakah kerja-kerja da’wah harus dilaporkan padanya? Kapitalis, materialistis! Cih! Kalau tak kuingat akan aturan Nabi Muhammad, mungkin kata-kata kasar benar-benar kulontarkan. Hanya kalimat pendek saja yang menjadi jawaban sya, “Ya, makasih.”

Selama ini ia terus yang mencibir setiap tingkah sya. Ah, peduli amat.

Hal itu terjadi tiga tahun lalu, ketika sya masih di BEM JBSI UNJ. Satu perenungan sya yang masih terbesit kini. Apakah kerja-kerja kita harus terlihat oleh orang lain? Kalaupun iya, untuk apa? Kalaupun nggak, kenapa?Sampai saat ini tak dapat sya jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar