Rabu, 11 November 2009

Logika Perantara*

Jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad saw, sebelum kejahiliahan merajalela di bumi arab, masyarakat arab masih memgang teguh ajaran Nabi Ibrahim as. Hingga akhirnya jahiliah menjadi pilihan bangsa arab, bukan tanpa sebab. Hal tersebut karena adanya logika perantara.

Selama ini masyarakat Islam Indonesia khususnya mengetahui bahwa penyembahan berhala, pengundian nasib dengan panah, judi, serta bentuk-bentuk kejahiliahan lain yang terdapat pada masyarakat arab adalah karena mereka tidak mengakui Allah swt sebagai Tuhan (yang pernah berpikir begitu, ngacung..!!! sya ngacung duluan). Yang terjadi adalah sebaliknya. Lah? Mereka menyembah berhala, bukan karena tak mengakui Allah swt sebagai Tuhan, tapi justru karena mengakui Ketuhanan Allah swt.


‘Amr ibn Luhay

Di tengah kehambaran nilai keimanan terhadap Allah swt pada kaum arab, datanglah seorang alim bernama ‘Amr ibn Luhay. Seorang dermawan, penuh kebajikan, dan apresiatif terhadap agama. Karena semua kebaikannya maka kaum Khuza’ah (Bani Khuza’ah) dan penghuni bumi arab mendengar kata-katanya.
Dalam persinggahannya ke negeri Syam, ‘Amr ibn Luhay menemukan bahwa masyarakat Syam menyembah berhala. Segera saja ia berpikir, “ini jalan kebenaran. Syam merupakan tempat diutusnya para Rasul, dan disini juga diturunkan kitab suci,”. Segeralah ia bawa pulang Hubal, sebuah berhala. Maka penduduk Mekkah yang menganggapnya kiyai segera mengikuti apa yang dikatakannya.


Logika Perantara


Kenapa begitu mudahnya kaum arab mengubah keimanannya? Sehebat apa teori yang disampaikan ‘Amr ibn Luhay?

“...Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3)

Akan sya kutip lengkap tulisan mas Salim A. Fillah
Allah, Dzat yang menciptakan kita. Dia Maha Tinggi, Maha Mulia, Maha Segala Maha. Kita hanya makhluk rendah, hina, penuh noda. Sungguh tak pantas, makhluk rendah menengadah langsung pada Maha Tinggi. Sungguh tak pantas, makhluk hina bersimpuh di dekatNya Yang Maha Mulia.”
“Jadi?”
“Kita butuh perantara”

Yap. Perantara. Sebut saja Lataa, nama populer ‘berhala’ kaum paganisme bentukan ‘Amr ibn Luhay. Dahulu, saat musim haji, sebagian besar jamaah haji datang menemui Lataa, menikmati jamuan makan dan akomodasi.
Tapi itu jauh sebelum kedatangan ‘Amr ibn Luhay dengan software ‘perantara’. “Amr ibn Luhay melihat ‘kedekatan’ Lataa dengan Allah sebagai pengisi paling tepat posisi ‘perantara’. Jadi, kalau minta hal remeh-temeh, nggak usah langsung ke Allah, minta aja ke Lataa. Twew!

Sedihnya, logika itu masih ada hingga sekarang di mana dukun-dukun, paranormal, menjadikan diri mereka ‘perantara’ terhadap kebutuhan-kebutuhan terkait keduniaan. Lebih sedih lagi, dalam shalawat yang ditujukan terhadap Rasulullah saw juga sering terselip kalimat berbau ‘perantara’ yang tak wajar. Misalnya saja, ketika asik melafal aneka permohonan, kita harus menutupnya dengan kalimat biahlil badri Ya Allah, dengan hak dan kedudukan para pahlawan Badar, ya Allah.

Coba kembali kita teliti, demi Allah itulah logika jahiliah meski nama Rasulullah yang disebut. Jikalau kita banyak mengucap shalawat, itulah kecintaan kita pada Rasulullah, bukan ‘menyuap’ Rasulullah agar memberi syafa’atnya

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan.” (An Najm: 40)

Sungguh, islam mengajarkan kedekatan hamba dengan RabbNya. Kedekatan langsung yang indah, tanpa perantara.


Sumber: Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim karya Salim A. Fillah (hlm 17-23)

*Judul juga digunakan Salim A.Fillah dalam bukunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar