Rabu, 11 November 2009

Sekura: Tinjauan Sosiokultural

Sosiokultural terbentuk dari dua kata, sosial dan kultural. Sosial berasal dari kata Latin Socius yang berarti kawan atau masyarakat, sedangkan kultural berasal dari Colere yang berarti mengolah. Colere berasal dari bahasa Inggris yaitu Cultur yang diartikan sebagai segala daya upaya dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengolah alam (Soerjono Soekanto:1990).

Salah satu cara untuk mendalami dan memahami karya sastra adalah dengan melihat bagaimana penggambaran sosiokultural (sosiologi sastra) dalam karya sastra tersebut. Sapardi Djoko Damono berpendapat: Istilah sosiokultural adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.

Dick Hartoko dan B. Rahmanto juga mengatakan: Sosiologi sastra adalah cabang ilmu yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang, proses penulisan maupun pembaca serta teks sastra itu sendiri.

Masyarakat, pengarang, dan karya sastra memiliki suatu hubungan yang tak dapat dipisahkan. Untuk memahami hubungan tersebut, dibutuhkan tinjauan mengenai hubungan karya sastra dengan masyarakat pembentuknya. Grebstein menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap bila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendii.
Karya sastra bukanlah gejala tersendiri, … Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama sebagai suatu kekuatan yang istimewa, kedua sebagai tradisi.

Dengan demikian, karya sastra mencerminkan pergerakan/ perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat.


Kultur, atau yang biasa disebut kebudayaan, memiliki tujuh unsur, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumahtangga, senjata, alat produksi, transportasi, dan sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan sistem tata ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan lain-lain).
3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4. Bahasa (lisan dan tulisan).
5. Kesenian
6. Sistem pengetahuan
7. Religi.

Setiap kebudayaan memiliki unsur-unsur di atas. Tujuh unsur di atas adalah hasil pemikiran sekelompok manusia sebagai usaha untuk mengatasi berbagai kebutuhan dalam kelompok tersebut.

Cerpen “SEKURA” yang menjadi pokok bahasan kali ini kental unsur budaya, tepatnya budaya Lampung Barat. Hal ini ditunjukkan pada paragraf berikut:
Ia menatap pada etalase ruangan, seperti mengingat,”Kayu yang diukir, disesuaikan dengan sifat manusia.” Tiba-tiba ia mengalihkan pandang pada wajah Synong, “Hai! Kau mengetahui banyak tentang pesta sekura. Berarti kau berasal dari Lampung Barat?” Perlahan Synong mengangguk

Dalam cerpen ini, dikisahkan secara tidak langsung mengenai perusakan citra pesta sekura yang dimaksud, dari pesta rakyat menjadi sebuah kesempatan untuk berbuat amoral, seperti pada kisah dalam paragraf berikut:
Sebuah pesta yang selalu jadi cermin perilaku orang kampungku. Tapi, disini, sebuah dimana orang bersekura untuk menutupi perilaku mereka.”
“Telah tak ingat lagi kapan tepatnya peristiwa itu. Yang jelas, aku diperkosa saat pesta itu diselenggarakan. Dan pada akhirnya, pesta itu melekatkan sebuah nama, pelacur.”

Sekura sendiri adalah sebuah pesta rakyat yang sangat disukai masyarakat Pekon Balak, Lampung Barat. Cerpen “Sekura” secara tidak langsung mengenalkan pembaca pada suatu tradisi nusantara yang belum sempat terekspos oleh media manapun, hal ini terlihat dari rincinya penjelasan penulis mengenai pesta sekura, sekaligus sebagai perumpamaan akan suatu hal, yaitu razia pelacuran.













SEKURA
Zarman RZ

Mendadak, suara deritan pintu menyentakkan. Seorang lelaki muncul dan duduk di sudut ruangan, lalu berkata,
“Hai, pelacur, siapa namamu?” Mata lelaki itu menatap lurus,”Jawab!”
Tangan lelaki itu berpindah ke dalam tas, begitu keluar selembar KTP telah berada di tangan. Mendekati cahaya, lalu ia baca
“Nama: Synong. Kelahiran: Pekon Balak.”
Sepi!
“Kenalkan! Namaku Sebambang; kepala Satpol PP di sini,”
Ia mengalihkan pandangan. Kepala Satpol PP?
“sekarang juga kau bisa kubebaskan, tapi ada syaratnya,” Lelaki itu mendekatkan wajah,” Kau harus melayanoiku malam ini.”
Ia dorongkan tangannya pada lelaki itu. Praaakk! Lelaki itu terjatuh. Menatap, perlahan ia berdiri, tangannya menyentuh kancing baju, ikat pinggang. Ia mendekat...
“Bouhu. Bouhu


Perkampungan dan sekelompok orang sedang menuju arah lapangan. Terus berjalan, di antara mereka ada yang berpakaian serba hitam. Baju yang dipakai dalam keadaan sobek, kotor, dan tubuh ditempeli sampah, dedaunan kering. Memakai topi dan wajah ditutup topeng. Topeng itu, agaknya terbuat dari kayu yang diukir dan dipadukan dengan dedaunan hijau.
Dalam arak-arakan lain berbagai keunikan lagi ia saksikan. Seorang lelaki, topeng itu bila lebih diperhatikan akan nampak seperti wajah tikus. Kumis, motif yang dipadukan dengan corak bulu tikus. Dan berjalan serta tingkah lakunya seperti seekor tikus. Sesekali akan terdengar ucapan dari salah seorang,
“Tabik-tabik si daun kacang
Batang kuning sampiran kain
Tabik-tabik yang punya kampung
Sikam datang numpang bermain.”
Pada bagian lain, ucapan itu dibalas seseorang,
“Hu dia datang ratong munih cina dengan kupiah
Sai nyadang ko ngenalah.”
Berjalan dengan tingkah yang sesuai dengan karakter tokoh topeng yang dipakai. Hingga tiba di arena pesta, sebuah batang pinang berada di tengah lapangan.
Pada bagian lain, sebuah tarup telah dipenuhi para undangan. Kepala adat, tokoh masyarakat, sesepuh keturunan leluhur pendiri tilyun. Dan kelompok orang yang memakai topeng berjalan ke batang pinang.
Dengan suara yang khas diiringi musik dan siulan, mereka mulai memanjat, satu-satu. Berebut mengambil sesuatu yang tergantung di puncak batang pinang, serupa lomba tujuh belas Agustus (ini bukan semacam perlombaan, tetapi lebih merupakan sebuah pesta rakyat). Sesuatu itu—setelah segalanya selesai—ditukar dengan sebuah benda; ada kain sarung yang berukiran mattok, ada kopiah, ada sandal jepit, ada...


Seperti sebuah hari yang tak bisa membedakan, apakah telah menjelang sore, apakah malam, ataukah telah menjelang pagi. Sungguh, segalanya terasa samar. Seperti hari itu, merasakan kelelahan terus menyerbu, hari dimana ia merasa berada di suatu tempat yang amat dikenal, tapi bagai tak tertempuh.
“Masuk!”tiba-tiba suara itu mnyentakkan benaknya.
Perempuan itu terjatuh.
Mendekat,”Mereka tak mengerti arti sebuah malam.” Tiba-tiba perempuan itu mengeluarkan suara seraya berdiri,”Tidakkah kita bisa hidup bebas tanpa digerogoti?” Perempuan itu mendekati Synong,” Pengecut! Razia pelacur hanya ada pada bulan puasa.”
“Mereka hanya ber-sekura.”
Sesaat, keheningan meresap.
“Hai! Bagaimana kau tahu nama pesta itu?”
Sebuah pesta yang selalu jadi cermin perilaku orang kampungku. Tapi, disini, sebuah dimana orang bersekura untuk menutupi perilaku mereka.”
“Kejadian penting itukah maksudmu?”
“Tepat sekali. Kau ingat sekarang kita berada pada bulan apa?” Perempuan itu hanya diam,”Razia pelacur hanya bagian dari acara ritus. Mereka menunjukkan kesungguhan memberantas prostitusi.”
Ia menatap pada etalase ruangan, seperti mengingat,”Kayu yang diukir, disesuaikan dengan sifat manusia.” Tiba-tiba ia mengalihkan pandang pada wajah Synong, “Hai! Kau mengetahui banyak tentang pesta sekura. Berarti kau berasal dari Lampung Barat?” Perlahan Synong mengangguk, “Dan sudah berapa lama kau berada di sini?”
“Hampir satu minggu.”
Mata perempuan itu membulat, heran, “Mengadakan razia, kemudian mempublikasikan bahwa mereka telah menjalankan tugas sebagai aparat.”
“Bukan hanya itu, mereka juga memperkosaku.”
Perempuan itu tertawa.
“Bangsat! Mengapa kau tertawa!?”
“Baru kali ini kudengar pelacur diperkosa.”
“Aku memang pelacur, tapi tidakkah boleh ada istilah perkosaan?”
Perempuan itu perlahan mendekati Synong.
“Layani saja mereka satu malam, nanti kau juga akan dibebaskan.”
“Terlambat. Mana mungkin membebaskanku. Mereka takut aku membeberkan perilaku mereka. Paling-paling aku akan dikirim ke tempat rehabilitasi.”
“Ya, razia itu hanya memperebutkan hadiah.”
“Maksudmu, ritus nyakak buah?”
“Persis. Mereka memberikan laporan dengan istilah asal bapak senang.”
Synong menatap cahaya yang jatuh berbentuk garis-garis melayah. Hening. Untuk beberapa saat kesunyian tadi menjelma jadi pemberontakan, berontak pada nasib dan protes yang tertahan di tenggorokan. Sepi, untuk kemudian menjalar ke segala penjuru tempat yang bernama dendam.
Pintu kembali berderit.
Tiga lelaki berbadan tegap masuk. Mendekat, dan salah seorang dari mereka berkata,”Kau yang bernama Waiheni?”
Perempuan itu menatap, senyum, lantas mengangguk.
“Kau terjaring razia PSK. Menurut catatan kami kau telah dua kali tertangkap.” Lelaki itu mendekatkan wajahnya,”Seperti biasa, kau akan bebas setelah melayaniku.”
Perempuan itu kembali tersenyum.
Pada bagian lain, dua lelaki tadi berkata pada Synong,”Kau akan dikirim ke tempat rehabilitasi.”
Mata lelaki itu menatap tajam. Perlahan, wajahnya makin mendekati Synong dan dalam ruangan yang gelap itu sesuara meronta, menjerit, dan tak seorangpun yang datang. Suara itu perlahan pula menjalar ke segala penjuru ruangan.

Perlahan, ia gerakkan badan. Barangkali ia telah tak peduli tentang arti sebuah hari. Barangkali juga, keheranan telah memenuhi benaknya. Tentang arti seorang pelacur. Daalm keadaan demikian, tanpa sadar ia telah menanam sebuah prinsip:bahwa melacur adalah melacur, itu benar. Tapi bahwa melacur adalah topeng, sungguh hal itu tak dapat ia terima.
Perempuan itu memasangkan pakaiannya,”Aku hanya menjual tubuhku, dan jika dibiarkan bukankah akan mengurangi pengangguran?”
Synong duduk, menyandarkan punggung pada dinding, lalu berkata,”Percuma. Mereka tak mengerti tentang hukum sebab-akibat. Pelacur adalah perusak moral, tanpa tahu apa sebab.”
“Kau jangan bercerita tentang moral.”
“Bukankah kau yang mulai?”
Dalam gelap, perempuan itu menunjuk ke arah Synong. “Kau!”
“Kau yang pertama mulai.”
“Kau jangan mengelak!”
Praaakk!
“Diam pelacur!” mendadak kedua pasang mata serentak mengarah ke pintu, “Ini bukan jalanan. Kalian jangan beteriak.” Lelaki itu mengangkat tangan, menunjuk pada Synong,” Ayo, kau akan kami kirim ke tempat rehabilitasi.”
Hening.
“Telah bertahun-tahun aku tak lagi pernah menyaksikan pesta itu, pesta yang konon bernama pesta sekura. Dan tahukah kau, semalam aku bermimpi tentang pesta itu.”
Perempuan itu tak bergeming, ia pandangi Synong yang sedang berbicara. Synong tertawa, perempuan itu mengamati, hingga perlahan tawa Synong berhenti., “Telah tak ingat lagi kapan tepatnya peristiwa itu. Yang jelas, aku diperkosa saat pesta itu diselenggarakan. Dan pada akhirnya, pesta itu melekatkan sebuah nama, pelacur.”
“Hai, cepat. Waktunya berangkat.” Lelaki itu dengan nada meninggi.
Synong melangkah, berjalan menuju pintu.
Bahwa melacur adalah melacur, pada sunyi dan ruang gelap, pada kerlap-kerlip lampu jalanan, entahlah! Telah tak peduli lagi ia akan sebuah prinsip. Malam, selalu tak pernah ia miliki tanpa berjuta pertanyaan, seperti saat ini, saat dikirim ke tempat rehabilitasi, melewati kelokan, melewati jalan utama, dan sekilas ia sempat menyaksikan razia PSK.
Tapi aneh, ketika sorot matanya singgah pada beberapa aparat, ia bagai tak percaya. Tak ada wajah, tak ada hidung, tak ada...aneh, mereka memakai topeng. Ukiran, motif, amat serupa dengan topeng pesta itu. Perlahan, ia mengucek-ngucek mata, kembali ia ulangi lagi. Benarkah?
Perlahan pula, ia alihkan pandang ke samping, ke belakang, ke depan. Tetapi, keanehan itu masih terus mengepung benaknya. Sesaat, ia seperti berada di tempat yang amat dikenal tapi tak tertempuh. Pelacur, sekura, topeng, topeng...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar