Rabu, 11 November 2009

Sisi Lain Aksi TUGU Rakyat

Rabu, 10 Juni 2009. Hari dimana aku dibangunkan dengan sebuah telepon mengejutkan
AKSI BEM SI HARI INI

Artinya, akan ada aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia pada hari ini. Subhanallah, aku dapat kabar indah itu dari seorang teman mahasiswa UNDIP (Universitas Pangeran Diponegoro lho, bukan Universitas di Padang). Sudah lebih dari setahun aku tidak dapat sms maupun telepon berisi ajakan aksi dari mahasiswa. Yap, hampir dua tahun tepatnya. Hmm, apa kalau mahasiswa biasa tidak boleh mendapat kesempatan diajak aksi?
Sore kudatangi tempat rekan-rekan mahasiswa dari Universitas Negeri Semarang (UNS), UNJ, UNDIP, Institut Teknik Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (UNPAD—bukan Universitas Pangeran Diponegoro yaa), Politeknik UI (itu yang kutahu) di depan gedung Bidakara. Sempat heran kenapa mereka aksi di tempat yang bukan biasa menjadi tempat aksi? Seperti bundaran HI (oh, siangnya di HI), KPU (siang juga ternyata di KPU), istana presiden (sudah disatroni juga), atau tempat lain yang menjadi referensi aksi mahasiswa.

Oh, aku baru tahu, ketiga calon presiden dan calon wakil presiden mengadakan deklarasi kampanye pemilu damai di dalam gedung Bidakara ini. Oke, oke. Aku mengerti. Kududukkan diriku di sebuah bangku kayu panjang di barat Gedung Bidakara, bertiga teman UNDIP serta mahasiswa ITB. Setelah berkenalan, aku jadi tahu mahasiswa ITB itu merupakan anggota legislatif dewan mahasiswa, mereka menyebut kongres. Sedangkan temanku yang dari UNDIP itu menjadi peliput aksi hari ini. Kamera khusus tergantung dalam tas kamera di lehernya. Sementara baru kusadari di belakang kami duduk ada sepasukan tentara dengan seragam hijau loreng-loreng disertai baret khasnya. Sebagian menggantungkan dan mengokang senapan di tangannya. Laras panjang, apakah itu AK 47? Entah. Aku hanya tersenyum pada bapak-bapak tentara itu.

Firasat...
Temanku di UNDIP segera didatangi beberapa tentara serta seorang yang dari pakaiannya seperti komandan kesatuan itu.

“Mas, nggak ikut aksi?” tanya polisi itu.

“Nggak Pak. Saya Cuma nemenin adik-adik aja,” jawab rekanku itu. Uff, firasat ini muncul lagi. Meski kami berusaha tenang, santai, dan penuh canda, tapi kusadari kami berada dalam posisi tersangka yang diinterogasi. Firasat yang sempat hilang dua tahun belakangan. Bismillah, Ya Allah, lindungi kami.

Sementara di seberang kami, di samping gedung Bidakara, sekelompok mahasiswa BEM SI masih meneriakkan yel-yel
Hati-hati...
Hati-hati...
Hati-hati provokasi

Ada pula yang berorasi di atas sebuah mobil bak terbuka dengan bantuan pengeras suara. Disertai pekik “Hidup mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!” dari peserta aksi lainnya. Baliho bertuliskan tujuh gugatan rakyat menjadi hiasan angkasa perempatan Pancoran saat itu. Dari stiker yang kuterima dari rekanku, terbaca tujuh gugatan sebagai berikut:
1. Nasionalisasi aset bangsa
2. Pendidikan dan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan merata
3. Tuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto beserta kroni-kroninya
4. Kedaulatan pangan, ekonomi, dan energi
5. Ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhn bahan pokok
6. Reformasi birokrasi dan berantas mafia peradilan
7. Selamatkan lingkungan Indonesia dan tuntut Lapindo Brantas

“Mas, kalau kayak begini ada yang koordinator ya mas? Kalau sekarang siapa mas?”tanya Pak polisi. Hampir saja kami terpancing. Aku memilih diam sambil tersenyum, mengamati obrolan kami. Ya, dia berusaha netral di tengah suasana yang tidak dingin dan tidak panas ini.

Usai pembicaraan bernada interogasi itu, kami berbincang dengan tentara asli Magelang. Lumayanlah, bersahabat dengan polisi. Eits, tentara.

Kesyahduan itu...
Jelang maghrib, seorang rekan dari ITB menghampiri kami, memmberi informasi penting.

“Kita mulai terdesak. Sudah melampaui batas waktu. Lihat, polisi sudah berjaga” ujar Fikri, sang pembawa informasi.

“Kita udah mengulur beberapa kali. Selangkah lagi maju, gas airmata siap ditembakkan. Polisi sudah siap”

Segera temanku dari UNDIP melonjak menuju tempat rekan-rekan aksi.
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban
...
Sayup terdengar lagu totalitas perjuangan, sementara aku sedikit tidak tenang mendengar kabar dari Fikri.

Azan terdengar begitu dekat di telingaku. Subhanallah, sang orator mengumandangkan panggilan cinta itu. DEG! Rasa itu hadir. Sebuah rasa yang begitu terkesan dengan kesyahduan suasana ini. Tercipta di tengah kepungan, di tengah pekik, di tengah kemacetan kota besar Jakarta. Dan menggemalah ia dalam pengagungan Sang Pencipta, penyeruan menyembah, seruan perjuangan, dan kecintaan terhadap Rabb. Subhanallah, Allahu Akbar!

Usai azan, kami melihat rekan-rekan mahasiswa peserta aksi sholat di tempat itu. Shalat dalam keadaan terkepug. Subhanallah, Ya Allah, entah bagaimana kuucap pujian untukMu yang mampu menunjukkan peristiwa ini. Sungguh, indah nian pemandangan ini, kontras dengan wajah keras polisi yang mengepung.

Usai shalat, rekan-rekan mahasiswa mundur terratur, membubarkan diri dari aksi dengan damai, tenang, tunduk pada perintah sang korlap (koordinator lapangan). Kami sang pengamat berpisah.

Caatatan: terima kasih, teman, sudah memberiku kisah indah sebuah perjuangan. Nostalgia akan masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar