Selasa, 09 Februari 2010

Kisah Singkat

“Iya, aku hanya ingin segera menggenapkan setengah dien ini,” ujar Rara, sahabatku. Taman kota yang baru dibangun ini menjadi latar kami berkisah. Tepatnya, Rara berkisah. Aku hanya tersenyum dan sedikit menimpali diskusi pra-nikah kami. Ya, mungkin wajar bagi perempuan yang masih sendiri seperti kami membahas tentang nikah.

Rara, gadis manis dengan prestasi akademik yang tidak bisa dianggap remeh. Jilbab merah marunnya melambai, mengisyaratkan ada angin yang datang pada kami. Hei, jilbab, tanpa kauberitahu pun aku sudah tahu, batinku. Kembali kucerna untaian kisah dan kesah Rara.

“Ada, nggak, teman kampusmu?” tanya Rara mengakhiri kisahnya. Rara mencari seorang ikhwan? Rara yang selama ini banyak diincar? Batinku asik saja bertanya.

Ponselku bergetar, hanya sebentar. Menandakan ada pesan baru yang masuk.

Besok bimbingan skripsi kan? Bareng yuk. Begitu isi pesan singkat temanku, Rini. Skripsi? Hmm, siapa lelaki baik yang bisa kuajukan?

“May..” panggil Rara lagi. Aku yang sebentar menjawab pesan singkat itu segera menyahut dengan kata “sebentar”

Senja kuning menjadi saksi pembicaraan serius ini. Dan aku terpikir tentang seseorang. Rekan kampus yang juga sedang skripsi.

Fahri. Ya, lelaki itu, mantan ketua di organisasi jurusanku. Sejak tingkat tiga, kami tak bertemu. Hm, tepatnya jarang. Dia sibuk dengan organisasi kampus, sedang aku sibuk dengan kerja paruh waktuku. Fahri, lelaki baik yang mungkin cocok dengan Raraku ini.

Kubuka layar ponselku, mencari, menelusuri nama seseorang. Fahri. Tidak lama kemudian, nama itu terbaca. Kutekan tombol memanggil pada ponselku.

“May..” panggil rara yang raut wajahnya berubah ketika melihatku memasang badan ponselku di telinga. Mungkin ia kesal merasa tidak diperhatikan, atau mungkin dia terkesiap dengan tindakanku yang mendadak ini. Sudahlah, kucoba fokus pada nada panggil.

@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$


Kulihat langit-langit ruang kos di Pemuda tiga ini. Ingin rasanya tidur, tapi kan Rasulullah menganjurkan untuk berjaga sebelum maghrib. Ah, yang penting aku berbaring.

Ponselku berdering saat aku asik beristirahat setelah Ashar tadi. Ruang kos yang kecil, hanya 2 x 2,5 meter. Kuraih ponsel merah hitam itu, membaca nama pemanggilnya. May?

May? Gadis berjilbab lebar yang meluluhkan idealisme sosialisku? Hah, mendadak ingatanku melayang pada masa itu. Saat ia dengan gigih menemaniku ketika yang lain menjauh. Dia yang tulus mendengarkanku dan idealismeku. Meski sebenarnya ia bisa membantah dan berkata ketus padaku. Ah! Tidak boleh diingat lagi. Segera kuambil tindakan.

“Assalamu’alaikum,” sapaku setelah menekan tombol penjawab telepon itu. Suara renyah yang dulu sering kudengar, kini tertangkap lagi oleh penginderaku.

“Alaikumussalam, Ri. Lagi proses nggak?” tanyanya. Seperti biasa, mendadak, to the point. Gayanya sekali.

“Proses apaan?” tanyaku tak mengerti. Setengah berdegup. Ya, mungkin definisi terkejut itu tepat untukku. Saking terkejutnya, posisiku langsung berubah. Aku langsung duduk bersila demi keterkejutanku mendengar pertanyaan tadi. Sebenarnya bila diizinkan, jantungku ingin melompat-lompat keluar dari tempatnya karena hatiku girang. Tapi, rasanya tidak lazim bila itu terjadi. Aku manusia biasa. Inikah saatnya? Saat aku harus mengungkapkan keinginanku padanya? Tapi kenapa dia yang mengajukan? Seharusnya aku yang memintanya. Aku tidak mau perempuanku itu... hei! Kenapa aku ini? Sudah, sudah, mungkin dia menanyakan hal terkait skripsi. Bukan proses ‘itu’.

“Proses nikah. Siap nggak?” tanyanya. May? Eh benar? Kau mengajakku? Kali ini hatiku benar-benar memompa semangatku. Adrenalin sudah semakin meningkat sepertinya. Aku ingin meloncat rasanya!

“Anu...itu..Eh...Lagi nggak proses sih, May. Kenapa? Kok nelpon tiba-tiba nanya gitu?” sahutku. Allahu Rabbi, aku tak menyangka saat ini tiba. Kurasakan warna wajahku mungkin merah, karena aku merasakan panas ini.

“Mau ngajuin temen kalo siap. Gimana?” sahut May. Ap...APA!!!?? Rasa di hatiku berubah jadi dongkol, bukan riang lagi seperti tadi. Rasanya seperti ditabrakkan ke dinding. Kalian tahu, bukan, bagaimana rasanya diterbangkan kemudian dihempas dengan keras ke tanah? Kalau tidak tahu, kusarankan kalian nonton film-film laga. Sekarang aku sedang merasakannya. Tadinya kuharap itu kau, May, yang mengajukan diri padaku.

“Fahri lagi fokus ke skripsi,”jawabku akhirnya, agak ketus. Aku tahu, may pasti akan mengerti nada bicaraku yang berubah. Ya, kami saling mengenal seperti saudara kandung. Begitu katanya. Dia anggap aku saudara. Padahal...

Kugenggam ponselku. Masih duduk di tepi tempat tidur kecilku. Dinding ruangan yang sedari tadi mendengarkan perbincangan singkatku mungkin sedang menatapku prihatin. Atau malah menertawakanku?

Ya! Bukankah dia bilang tadi mencari ikhwan untuk temannya? Berarti, bukan untuknya, kan? Berarti dia belum ada yang...

Seringai...ah, bukan, tapi senyum sedikit lega mulai tampak. Begitu mudahnya suasana hatiku berubah-ubah. Semua hanya jika terkait May.

@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$@#$

Kututup ponselku, tepatnya pembicaraanku dengan Fahri. Kenapa dia seketus itu? Padahal menolak kan bukan keburukan. Aku juga tidak melakukan keburukan, kan, dengan bertanya? Fahri aneh. Selaluu aneh. Sejak dulu membingungkanku dengan berbagai sikapnya. Kualihkan pandanganku pada Rara. Gadis itu tampak sabar menungguku, terlihat dari raut mukanya. Beda dengan tadi saat aku akan menelepon.

Tanpa dia keluarkan suara, aku mengerti ia menanyakan jawaban Fahri.

“Ra, kita coba yang lain, ya...tapi...sebelumnya,....” aku mencoba hibur Rara dengan berbagai diskusi terkait nikah.

“Nggak usah mengalihkan. Aku ngerti, kok,” sahut rara kala kucoba cerita hal lain.

2 komentar: