Rabu, 07 April 2010

Sastra dan Pendidikan

Suatu siang kami bertiga (Anis Tassyifa, Dahlia, dan Maesaroh) menyepakati bahwa Helvy Tiana Rosa adalah narasumber yang akan kami wawancarai. Sebelumnya, kami sepakat mewawancarai Asma Nadia. Namun, karena tema besar yang kami ambil adalah keterkaitan antara sastra dan dunia pendidikan, maka kami ganti narasumber kami. Alhamdulillah, tak begitu sulit untuk membuat perjanjian dengan Bu Helvy meskipun beliau sedang menjelang cuti karena kondisi kehamilannya yang sudah berjalan 8 bulan beberapa hari. Menurut perjanjian kami dengan beliau, wawancara akan dilakukan pada 24 November 2006. Segera kami matangkan beberapa persiapan yang sebelumnya sudah kami lakukan.

Sayang sekali, pada hari itu Bu Helvy begitu sibuk. Akhirnya beliau membatalkan rencana awal. Istilah ‘digantung’ telah kami rasakan, berkali-kali kami gagal karena kondisi beliau. Waktu yang benar-benar kami sepakati pun tidak berhasil karena rapat yang beliau lakukan bersama anggota majelis sastra se-asia tenggara (Senin, 11 Desember 2006).

Akhirnya, pada hari Selasa, 12 Desember 2006 di sebuah rumah makan kami berhasil mewawancarai beliau. Siang itu beliau baru selesai makan, tetapi ternyata beliau masih ingin makan lagi menemani kami.

berikut petikan wawancara bersama narasumber


1. Semua orang mengetahui bahwa ibu adalah seorang pendidik sekaligus sastrawan. Kalau boleh kami tahu, apakah tujuan awal ibu berkarya? Adakah hubungannya dengan dunia pendidikan?
Saya berkeyakinan sastra itu memperhalus budi. Saat saya kecil, saat menulis karya sastra, saya tidak berpikiran seperti itu, tetapi sekarang saya berpikiran seperti itu, menulis dengan tujuan karena tidak munggkin menulis sesuatu tidak ada tujuannya. Menulis buat saya banyak sekali manfaatnya untuk diri saya dan menulis juga bermanfaat bagi orang lain. Jadi hasil karya kita bisa dinikmati oang lain. Ada orang tergugah setelah membaca tulisan kita atau ada orang yang mungkin bergerak setelah membaca tulisan kita. Buku yang bagus adalah buku yang membuat orang bergerak dari arah kebaikan ke arah kebaikan yang lebih lagi, atau dari kegelapan menuju pencerahan ke kebaikan. Untuk itulah saya menulis. Ketika saya berkesempatan menjadi dosen maka saya rasa ini bagian dari pengabdian, apalagi jarang ada sastrawan yang menjadi dosen dan saya pikir kelihatannya asyik. Akhirnya saya putuskan untuk menulis dan tetap menjadi dosen.

2. Sejak kapan Ibu merasa tujuan Ibu terlaksana?
Itu pasti jangka panjang, tapi saya merasakannya sejak awal, manfaat menulis itu saya rasakan untuk diri saya secara cepat; bagaimana saya menjadi lebih punya kepercayaan diri, kemudian lebih ringan menghadapi hidup. Ada pula efek sampingnya seperti menjadi dikenal orang dan banyak orang berkata “buku-buku kamu membuat saya tergugah”. Lagipula kita menulis bukan untuk menjadi terkenal tetapi lebih untuk mengungkapkan diri kita, untuk memberi informasi atau memberi apresiasi terhadap sesuatu, memberi penyadaran terhadap sesuatu juga bisa.

3. Apakah ibu tahu pasti kapan tujuan itu terwujud?
Ukuran keberhasilannya apakah apresiasi tingkat internasional atau apresiasi tingkat nasional? Ukuran apa yang digunakan untuk keberhasilan kita, karena biasanya ukuran yang dipakai diri kita sendiri berbeda dengan orang lain. Jika dalam skala kecil, buku saya terbit, itu sudah berhasil. Jika dalam skala besar, saya diundang tiap tahun ke luar negeri untuk membahas karya saya, itu juga sudah saya lalui.

4. Bagaimanakah pandangan ibu terhadap novel teenlit, chicklit yang sekarang sedang digandrungi, jika ibu melihatnya dari pandangan seorang sastrawan dan seorang pendidik?
Karya teenlit, chicklit dapat disikapi dengan berbagai penyikapan misalnya melihat bahwa mereka (penulis) masih muda, jadi itu latihan menulis untuk menjadi penulis yang lebih serius. Anak muda yang tidak menulis dalam bentuknya (chicklit, teenlit) harus diapresiasi dari tidak menulis. Yang tadinya tidak membaca jadi membaca karena teenlit dekat dengan dunia mereka. Akhirnya, teenlit menjadi jembatan bagi mereka mengenal sastra yang lebih serius. Saya menanggapi dengan positif, tapi tentu saja penulis muda ini harus naik kelas, jangan terus menulis yang seperti itu. Harus ada peningkatan, begitupun pembacanya.

5. Bagaimana kaitannya dengan dunia pendidikan?

Menurut saya tidak ada masalah jika teenlit diapresiasi di SMP, SMA dengan memosisikannya sebagai jembatan menuju sastra serius dan dijadikan tahapan bagi mereka.

6. Menurut ibu, apakah sastra memiliki andil besar atau tidak dalam dunia pendidikan?
Iya, karena sastra memperhalus budi pekerti. Ada perbedaan orang yang suka membaca sastra dengan orang yang tidak membaca sastra. bahkan ketika ia menjadi pemimpin. Mungkin pemimpin besar kita seperti Hatta, Soekarno, Syahrir, itulah pembaca sastra, baik sastra dalam negeri maupun luar negeri, yang sangat luar biasa tekun membaca sastra. Kita mempunyai pemimpin dengan tradisi membaca yang luar biasa termasuk membaca karya sastra sehingga jadilah pemimpin-pemimpin yang hebat. Sastra, kan, memanusiakan manusia, jadi, menurut saya sastra mempunyai andil yang sangat besar. Hanya sekarang bagaimana penerapannya di dalam dunia pendidikan, misalnya Bahasa Indonesia dari SD kita hanya mengulang-ulang fonem sementara sastra kurang diapresiasi. Jadi lebih ke linguistik atau teori-teori linguistik yang kita juga tidak memakainya dalam kehidupan sehari-hari, sementara karya sastra dampaknya luar biasa tapi karena murid-murid dan mahasiswa tidak akrab dengan karya sastra pada akhirnya—menurut saya—mereka tumbuh menjadi orang-orang yang spiritnya kurang. Ada satu spirit dalam karya sastra yang dapat ditransfer ke tubuh kita, semacam ruh. Tidak hanya pemimpin Indonesia, tetapi pemimpin-pemimpin dunia juga seperti itu. Jika kita lihat di rumah Bung Hatta memang banyak banyak buku ekonomi, buku agama, tetapi juga banyak buku karya sastra.

7. Ibu sempat mengucapkan sastra memanusiakan manusia, tetapi bagaimanakah dengan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, banyak karya sastra yang dinilai vulgar terpajang di toko-toko buku?
Sastra secara sastra itu sendiri memang memanusiakan manusia, tapi sastra itu juga sebagai alat. Kalau orang-orang Cina dulu dari zaman dinasti yang lampau sekali, mereka menjadikan sastra sebagai alat perjuangan mereka. Misalnya petani-petani di Cina disuruh membuat puisi karena sastra dianggap salah satu alat perlawanan. Dulu orang-orang komunis di Cina sampai seperti itu. Petani-petani yang biasa bertani disuruh membuat puisi untuk menyalakan semangat-semangat mereka dalam berperang. Sampai sekarang juga seperti itu, sastra itu tergantung kita menggunakannya. Ada orang-orang yang menggunakan sastra sebagai penyebaran ideologi mereka yang memang juga tidak bertanggung jawab. Misalnya ideologi kapitalis atau komunisme bisa juga, tapi sastra yang baik seharusnya dia merangkum nilai-nilai yang universal. Jadi, setiap penulis punya ideologi dan dia menyebarkan ideologinya melalui karya sastra, hanya sastra, ‘kan, tidak verbal atau tidak gamblang. Sastra itu dipenuhi oleh simbol dilapisi oleh lapis-lapis makna. Nah, itu yang membuat satu karya tulis itu bernama sastra.

8. Menurut ibu, siapa yang paling bertanggung jawab atas permasalahan pendidikan yang berkaitan dengan sastra?

Yang paling bertanggung jawab... soalnya agak komplek karena berkaitan dengan departemen tertentu. Misalnya dengan guru, kemudian dengan kurikulum, dan sebagainya. Banyak sekali kaitannya, tapi kalau menurut Ibu, yang paling bertanggung jawab sebenarnya, sepertinya sistem pendidikan kita yang belum mendukung ke arah sana jadi agak susah menyalahkan orang. Tapi mungkin orang-orang yang membuat sistem menjadi sekarang ini yang turut bersalah itu sudah pasti. Apresiasi yang kering terhadap karya sastra menjadi seperti ini karena sistem. Sistem pendidikan kita yang kurang memberi tempat pada sastra. Dari dulu mereka yang dihargai adalah selalu eksak. Untuk ilmu-ilmu sosial termasuk sastra, nomor sekianlah. Nah, sekarang harus dibangun kesadaran. Tidak pernah ada kata terlambat, jadi harus dibangun kesadaran itu; guru-guru mulai meningkatkan mutu mereka dengan mengajarkan sastra, Depdiknas atau lembaga yang berwenang yang mengurusi kurikulum juga melihat bagaimana sih, kemajuan dari kurikulum ini? Bagaimana controlling ke bawahnya untuk bidang pengajaran sastra karena kan, kadang-kadang pengajaran sastra yang baik ibu lihat justru karena guru atau dosennya banyak yang berimprovisasi. Kalau mengikuti kurikulum malah parah. Ada kejadian yang seperti itu. Jadi memang harus duduk bersama untuk mengubah sistem ini. Tapi ada juga lembaga-lembaga atau katakanlah pribadi-pribadi juga LSM-LSM yang konsentrasi terhadap sastra, konsentrasi terhadap pendidikan sastra walaupun dia tidak berada di lingkungan pendidikan. Jadi pelatihan-pelatihan penulisan informal yang seperti itu, LSM seperti Forum Lingkar Pena yang seperti itu, kantong-kantong sastra baik kalau ada koordinasi, koordinasi antara semua pihak tadi sehingga kita bisa bekerja sama untuk memajukan sastra dan pendidikan sastra kita, karena memang rumit persoalannya, misalnya guru sastra mengajarkan sastra, dosen sastra mengajarkan sastra, tapi mereka tidak bisa menulis apresiasi sastra, tidak bisa menulis karya sastra misalnya. Itu,’kan, juga membuat murid merasa itdak terpacu punya guru yang berkata,”Anak-anak, ayo menulis cerpen,” tapi tidak bisa menulis cerpen.

9. Jika ada imbas nantinya, tentunya akan berimbas pada siapa?
Kalau menurut saya guru sastra harus menguasai sastra, dosen sastra harus menguasai sastra sehingga anak didik menjadi bergairah untuk belajar karena dia tahu kualitas dosennya.

10. Di lingkup Universitas, pemisahan sastra dan bahasa sudah terlihat, tetapi di sekolah belum ada pemisahan itu dan lebih condong ke bahasa, bagaimana pendapat ibu?
Nah, itu sistem dan harus diubah. Harus duduk bersama dan mungkin perlu banyak penataran untuk guru-guru bahasa dan sastra supaya mereka lebih tahu proporsi; linguistik segini, pengajaran sastranya segini.

11. Apakah ibu pernah mengamati apresiasi siswa SD terhadap sastra?
Kalau dari anak saya sendiri, menemukan sastra bukan di sekolah. Selama sekolah dia tidak tertarik terhadap sastra, dia tertarik terhadap sastra karena di lingkungan rumah karena itulah memang sebagai orang tua tidak bisa menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah. Jadi, orang tua bertanggung jawab untuk menggali bakat minat anak, jadi saya tahu lebih dulu minat bakat anak saya daripada sekolahnya sehingga ada komunikasi dengan sekolah, kemudian sekolah memperhatikan, kalau Faiz begitu kasusnya.

12. Jadi, Faiz itu kira-kira bisa mewakili beberapa siswa di sekolahnya—dalam hal sastra?

Dia sangat apresiatif terhadap karya sastra dan dia menganggap sastra itu menyenangkan (fun), sastra itu asyik. Jika matematika asyik, sastra juga asyik dan hal ini juga karena dia biasa melihat saya membaca, dan biasa melihat saya menulis, jadi dia tergerak untuk ikut membaca dan ikut menulis karya sastra.

13. Tentunya ibu pernah mengisi seminar bagi SMA dan SMP, saat itu karya sastra yang sering dikeluhkan adalah karya seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan. Dalam hal ini peserta seminar terkadang bosan dengan hal tersebut. Namun, apresiasi mereka pada sastra bagaimana?

Boleh saja memperkenalkan karya-karya sastra lama dan karya sastra yang terkenal. Namun, jangan mengabaikan yang baru karena ada lompatan-lompatan besar dalam perkembangan sastra Indonesia yang harus terakomodir, harus bisa diturunkan kepada mereka. Memang harus dimanage waktunya supaya siswa-siswa ini; misalnya kelas I belajar apa, Kelas II, Kelas III, dan karya-karya sastra termasuk memperkenalkan teenlit dan chicklit kepada mereka juga bisa menjadi bahan pengajaran karena mereka akan bosan jika dipinta membaca karya sastra lama. Untuk pembelajaran sastra yang menyenangkan, mengajak mereka nonton teater, membaca cerpen di depan kelas, meresensi apa yang mereka baca dan apa pendapatnya, dan banyak lagi.

14. Bagaimana pandangan Ibu terhadap karya sastra yang mendapat penghargaan tapi di dalamnya terkandung unsur-unsur pornografi?
Yang memberi penghargaan adalah manusia. Ibu pernah membuat makalah tentang sebuah karya sastra yang sangat buruk karena isinya dari awal sampai akhir pornografi, tetapi menurut kritikus sastra yang lain karya terbaik yang dinobatkan tahun 2002 itu bagus karena ada kebebasan berekspresi di dalamnya masalah gender, dan sbagainya. Semua orang dapat berpendapat tetapi kita harus berpendapat dengan ilmu. Persoalannya jangankan karya sastra yang tergantung selera, si penilai nobel juga tegantung kepada penilai dan negara. Karena nobel itu sangat politis, likes and dislike, karena karya sastra itu multitafsir. Lembaga yang memberi penghargaan juga tergantung terhadap interest merek, karena susah sekali mencari lembaga independen yang memberi penghargaan terhadap karya sastra tanpa pretensi apapun.

15. Adakah lembaga independen seperti itu di Indonesia?
Saya rasa ada, seperti Pusat Bahasa. Tetapi tetap saja susah mencari lembaga-lembaga yang benar-benar kompeten memberi penghargaan tanpa dipengaruhi kepentingan-kepentingan lembaga itu sendiri.

16. Jika guru-guru ingin memperkenalkan karya sastra yang mendapat penghargaan—seperti yang tadi ibu katakan--sedangkan karya tersebut mengandung unsur pornografi, bagaimana pendapat ibu?

Guru juga memiliki hati nurani saat memilih mana karya sastra yang pantas dibaca dengan yang tidak. Mereka sudah menjadi filter. Misalnya, Saman/ Larung tidak mungkin dibaca anak SMP, tetapi mahasiswa.

17. Apakah karya-karya sastra tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan sastra di Indonesia?

Tidak juga karena perkembangan sastra Indonesia ke depan tidak akan terpengaruh hanya dengan 1-2 buku. Ketika orang-orang berteriak, sampai-sampai luar negeri bilang bahwa hanya Pram yang (anak emas betul) seolah-olah Indonesia hanya memiliiki seorang sastrawan saja, tetapi seebenarnya masih banyak karya yang lebih tinggi dan lebih bagus dari Pram.

18. Apakah masalah penting yang berkaitan dengan pendidikan dan sastra itu sendiri?
Bagaimana pendidikan sastra itu sendiri di Indonesia karena kelihatannya hal itu dikesampingkan dan itu masalah.

19. Apa solusi yang sebaiknya ditawarkan?
Kita masing-masing bisa dari sekarang mulai berbuat; kalangan akademisi,kalanagan birokrat, kalangan sastrawannya, kantong-kantong sastra/ komunitas-komunitas sastra sebenarnya sudah mulai bergerak tetapi bagaimana caranya mereka semua bersinergi sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap pendidikan sastra.

20. Pihak mana yang sebaiknya melakukannya terlebih dahulu?

Semua pihak dapat memulai, karena susah jika saling menunggu. Misalnya kemarin ada pertemuan federasi nasional dan kita dapat berbicara. Ada acara-acara yang dapaat menaungi pertemuan-pertemuan tersebut.



saat ini beberapa komunitas sastra mulai dibentuk dalam lingkungan tempat beliau mengajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar