Rabu, 07 Juli 2010

Damai yang Dirindukan


Merasa familiar dengan judulnya? Ya, menurut saya, sangat mirip dengan judul sebuah lagu, "Damai yang Hilang". Apa perlu saya kutipkan liriknya?
Tercalar Pelangi Di Hiris Gerimis
Senjapun Merangkak Menutup Mentari
Terbias Warnanya Ke Wajah

Lagu Kedamaian Tiada Kedengaran
Bumi Yang Merekah Di Sirami Darah
Kemelut Melanda Tiada Kesudahan
Kemusnahan Bermaharajalela
Yang Lemah Menjadi Mangsa

Anak-anak Kecil Mengoncangkan Ibunya
Yang Lemah Longlai Tak Lagi Bernyawa
Jeritan Suara Batinnya
Tak Siapa Mendengarnya

Tergadaikah Maruah Oleh Janji-janji
Terbayarkah Dengan Nyawa Dan Darah
Soalan Yang Tiada Jawapan


Siapapun akan miris hatinya bila mendengar serta menyaksikan klip lagu ini. Penggambaran tentang matinya nilai manusia.

Lantas, mengapa judul catatan saya kali ini begitu dekat dengan lirik lagu itu? Hhh. Izinkan saya berkisah sejenak. Tentang damai yang sangat dirindukan.

Sore tidak lagi menjadi penghalang gadis kecil itu untuk berkutat dengan ponselnya. Perempuan berjilbab yang biasanya menunaikan tugas kerumahtanggan itu kini tidak fokus pada rutinitasnya: menyapu. Jemari coklatnya asik menekan tuts ponsel miliknya, mencoba mengirim pesan pada sebuah lembaga. Ia hendak menemukan apa yang sedang dicarinya dari lembaga tersebut.

"Iya, Pak. Saya dari Jakarta." perempuan itu menghentikan penyapuan lantai demi berkonsentrasi pada ponsel dan 'klien'nya di seberang telepon.

Matahari tanpa meminta izin segera beristirahat dari langit rumahnya, menuju langit rumah yang lain, di kota lain, di tanah lain, di benua lain. Perempuan itu mengakhiri pembicaraannya, melanjutkan rutinitasnya.
damai yang dirindukan...

Jika dilihat, maka dahi penuh kerut dapat terpampang di wajah perempuan itu. Seolah menggambarkan kerumitan dalam pikirnya. Hanya sesekali ia tersenyum dan menyahuti tegur sapa tetangga yang lewat di depan rumahnya. mungkin ini amalku...semoga.

Perempuan itu mengembalikan sapunya, mengajak otaknya tak lepas dari ponsel. Tepatnya, apa yang ada di dalam ponsel itu: pesan singkat. Dirinya terus memikirkan berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan amanah, melakukan berbagai kemungkinan.

Saat melewati sebuah ruangan, disempatkannya menoleh pada benda besar. Ya, bantal empuk tak lagi membuatnya lelap saat tidur. Boneka-boneka lucu tak lagi menghiburnya kini. Ia terlalu tenggelam pada amanahnya, sebuah hal yang belum pernah diterimanya. Termasuk melakukan peneleponan tadi terhadap sebuah lembaga.

Mendadak ia terduduk di dekat bantal dan boneka-boneka itu. Menatap sprei bergambar yang dipasangkan melalui ide keponakannya. Sebuah upaya penghiburan dari sang keponakan yang mengerti bahwa dirinya sedang tidak nyaman.

Bersamaan, bulir bening berloncatan turun dari gua matanya. Kedua tangannya meraih boneka-boneka itu. Bahunya berguncang keras dan sedikit teriakan terdengar dari tenggorokannya.

sudah lama sejak amanah itu... Ah, pantaskah itu disebut amanah? Perempuan itu membatin di tengah proses sembap matanya.

Sepertinya perempuan itu menangis. Ada apakah? Bukankah amanah adalah hal yang biasa ia terima dan laksanakan? Lantas kenapa kali ini ia menangis seolah tidak kuat lagi?
Kemanusiaan Telah Lama Hilang
Kini Yang Tinggal Hanya Ketakutan
Musnah Kasih Sayang Dan Persaudaraan
Tandus Akhlak Dan Keimanan
Menyemai Persengketaan



*lirik "Damai yang Hilang" dari Saujana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar