Selasa, 20 Juli 2010

Ingin atau Yakin?

Sharing lagi nih. Kali ini saya akan share tentang pengalaman saya terkait proses nikah. Waaah, berarti saya akan membeberkan proses saya dunk? Ehehe, simak saja.

Saya ingat dengan dialog saya bersama seorang teman perempuan saya.

"May, aku sih pengennya dia. Ngerasa klop sama dia," ujar teman saya yang sedang dalam pemilahan proposal nikah. Beberapa comblang mengajukan nama padanya, termasuk saya. Haha, saya ditolak!

"Maksudmu?"

"Ya, aku kan keras, ngeyel, dan cuma dia yang bisa bikin aku lebih lunak lagi," jawabnya. Ahem! Saya rasa kita tidak membicarakan duri ikan dan sejenisnya *ups! udah ah bercandanya, May.

Di situ, saya teringat dengan proses perdana dan ke sekian yang saya lakukan. Kisah ini bermula di tahun 2005 akhir, saat seorang ikhwan datang pada saya. Melihat biodatanya, saya langsung menelepon murobbi saya, guru ngaji saya. Saat itu saya terkejut, di antara rekan pengajian, kenapa saya yang dipilih? Padahal jelas sudah saya paling anti membicarakan pernikahan dalam bingkai yang indah. Tapi mungkin Allah ingin memberi saya pembelajaran tentang nikah melalui cara tersebut.

Murobbi memberikan saya masukan tentang pernikahan, di antaranya:
1. tanyakan pada diri saya, siapa saya?
2. tanyakan pada diri saya, apa tujuan dan cita-cita saya dalam hidup? kalau bisa konkret
3. tanyakan pada diri saya, seperti apa kriteria suami yang saya idamkan?
4. tanyakan pada diri saya, apa keinginan orangtua saya, sudahkah saya memenuhi keinginan mereka?

melihat daftar pertanyaan itu, saya kembali berpikir tentang ikhwan tersebut dan diri saya sendiri. Apa saya sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Akhirnya Allah menunjukkan jalan terbaik. Ikhwan tersebut memilih untuk menghentikan proses karena banyaknya pertanyaan yang saya ajukan. Kini, beliau sudah menyekolahkan anaknya di TK. Gudlak bro ^.^

Proses berikutnya, saat saya merasa saya membutuhkan teman untuk menjalani kehidupan ini. Ya, mendadak saya ingin mengajukan proposal pada siapapun yang berminat. Haaah, bukan saya ingin mengacak populasi untuk pengambilan sampel, tapi saat itu saya merasa siapapun orangnya asal sesuai dengan kriteria saya, silakan mengajukan diri. Tahu kriteria saya?
1. Pembelajar sejati, artinya tarbiyah dia rutin dan dia terus belajar untuk layak disebut muslim yang sholeh.
2. Berminat terhadap sastra yang membuat dirinya jadi pemberani sekaligus memperhalus jiwanya *ngikut atsar umar ibn khaththab
3. Tidak menjauhi politik. Bagi saya itu adalah syarat mutlak seorang muslim yang hidup dalam lingkup kenegaraan *sok tahu sekali, bukan?
4. Menguasai atau menyukai IT dengan segala kerumitannya. Kalau yang ini, karena dalam pandangan saya, ikhwan yang bekerja di bidang itu keren otaknya :D
nb: kriteria juga ada hasil nyontek lho :D dan akhirnya dicontek juga -___-'

Dalam proses kedua *kata mama* saya bisa mendapat apa yang saya maksud dalam kriteria. Tapi, kali ini saya benar-benar mengikuti keinginan saya. Saya tidak begitu mengindahkan pendapat orangtua saya. Yeah, saat itu saya bisa sebut diri saya sok idealis.

Saya putuskan suatu hal pada suatu pagi: menghentikan proses yang sudah berjalan. Ya, meski saya ingin ikhwan itu yang kelak menjadi suami saya, ternyata selama ini saya hanya mengedepankan keinginan tanpa memikirkan kebutuhan. Saya ingin ikhwan seperti kriteria saya, tapi saya malu mengakui apa yang sebenarnya saya butuhkan. Saya dibutakan oleh ego. Sebuah hal yang saya kira keyakinan ternyata keinginan semata.

Sakit? Pastinya. Hati perempuan yang mana nggak sakit kalau harus menghentikan apa yang dia impikan? Tapi, saya sadar bahwa saya harus realistis kini. Saya harus memandang semua hal tidak hanya dari sisi kekanakan saya: mau ini mau itu.




Kini, saya di sini, disadarkan lagi oleh seorang bijak. Kunci dari semua hal terkait pernikahan: keridhoan orangtua.

Kini, saya di sini, menunggu kata 'ya' dari orangtua saya. Saya tidak ingin menjalani proses apapun tanpa izin kedua orangtua saya. Saya percaya bahwa keduanya memikirkan banyak hal terkait kehidupan anaknya. Mereka lebih paham kehidupan dibanding saya. Mereka lebih paham dunia rumahtangga dibanding saya.

Kini, saya di sini, hanya ingin mengajak teman-teman perempuan untuk memandang lagi diri kita, kebutuhan kita, dan keinginan orangtua terkait kehidupan berumah tangga.

Ah, saya ini nulis apa, sih? Jadi curhat begini...ah, tapi tak apa. Semoga share ini bermanfaat ^.^

2 komentar:

  1. kadang (mau) nikah itu mudah --- kadang (mau) nikah itu sulit :)


    mencari yg sempurna sesuai kriteria kita sulit, jadi kadang kompromi merupakan jalan terbaik :)

    BalasHapus
  2. waw, dewasanya ucapan mas rio ^_^

    BalasHapus