Kamis, 22 Juli 2010

Suatu Sisi Sore

“Kang. Tadi teman Nia datang, silaturrahim. Ini, kado dari mereka. Akang yang buka, ya,” ujarku pada suamiku yang baru selesai menyantap makan malamnya.

Segera diambilnya benda berbungkus kado biru tua itu.

“Bareng yuk bukanya. Eh, tumben ada yang kasih kado. Kita kan nggak ada perayaan apa-apa,” celetuk Kang Ridwan seraya memangku kado itu dan duduk membelakangi laptop putih kami.

“Jadi gini, teman-teman Nia yang tadi dateng tuh nggak sempet hadir waktu pernikahan kita.”

“ooo”

^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*

Aku sudah membereskan bangunan mungil ini. Bagian dalam tentunya. Sebuah rumah sederhana, dua kamar tidur dengan sebuah ruang tamu serta dapur dan kamar mandi. Cukup untuk keluarga baru sepertiku dan kang Ridwan, suamiku. Alhamdulillah kami bisa membeli rumah mungil ini di pinggiran Jakarta. Asri, tapi tak terlalu di kampung.

Baru sepekan kutinggali rumah ini, tepat 2 pekan setelah pernikahanku. Dan hari ini, dua orang teman semasa kuliah hendak silaturrahim denganku. Di rumah ini. Dua orang teman yang tak kutahu kabarnya setelah skripsiku. Dua orang yang sebelumnya menjadi penerusku di da’wah kampus.

Jingga belum menampakkan warnanya kala kulihat dua sosok perempuan berjilbab lebar semakin mendekat ke arahku. Tak salah lagi, itu mereka. Sudah kuberikan alamatku ini saat mereka menghubungiku.

“Assalamu’alaikum,” ujar keduanya menguluk salam padaku. Kujawab salam mereka, berpeluk satu sama lain, saling menempelkan pipi kami. Kupersilakan mereka masuk ke dalam rumahku. Ada gurat gembira yang kurasa. Sama seperti dulu.

“Nyasar?” tanyaku Riang.

“Nggak, dong. Ani kan tanya-tanya orang, Mba,” jawabb gadis jawa berwajah manis, Ani. Adik tingkatku yang kukenali enerjik, riang. Dialah perempuan satu-satunya yang berjilbab lebar di awal perkuliahan dulu.

“Alhamdulillah, ya. Pakai feeling,” sahut Rita, satu lagi adik tingkatku yang mendapat hidayah berjilbab lebar. Dia sekelas dengan Ani.

“hehe, iya, ya. Perempuan asik pakai feeling. Eh, diminum nih. Kan pada haus kan? Iya kan? Iya kan?”

“iya, Mba. Minum, ya...”

“betewe betewe, kenapa pada nggak dateng di nikahnya Nia? Hayo, padahal udah diundang khusus.”

“Hehe, nggak berani sendirian jauh dari rumah, Teh,” jawab Rita sekenanya.

“Kan bisa kontak-kontakan sama yang lain?” tanyaku lagi. Masih bernada riang. Ya, rasa rindu yang menyelusup ini tak bisa dibohongi. Apalagi dengan Ani yang dekat denganku.

“Mba...” jawab Ani terputus. Sontak kugenggam tangannya. Aku merasakan ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan, terdengar dari penggilannya tadi yang getir. Raut wajahnya kini tak menampakkan senyum manis lagi. ia terlihat sebagai senyum tipis yang perlahan berubah. berubah menjadi getaran seakan mau menumpahkan apa yang tak kuat ditanggungnya.

“Cerita, Ni,”

“Nggak ada teman kampus yang memberitahu kami. Satupun. Cuma Mba yang mengirim sms undangan pada kami. Ini nggak cuma sekali, Mba. Maaf nggak datang ke akad maupun walimah Mba,”

DEG! Kulingkarkan tanganku pada bahunya. Dulu, iapun begini kalau kuceritakan sedihku. Kini, aku lakukan hal ini padanya. Memeluknya, coba merasai rasanya. Kurasakan bening hangat air di pipiku. Ya, air matanya menempel di pipiku.

“Maaf, Mba. Maaf,” ujar Ani di tengah tangisnya. Akupun tak bisa membendung lagi bulir air tanda sedihku.

“Maafin Mba. Maafin Mba juga, Ni, Rita.”

Rita menggenggam tangan kami berdua. Sebuah pertemuan yang tak kuduga suasananya. Bukan haru tapi sedih. Sedih atas ukhuwah yang tidak terjalin lagi sepeninggal kami bertiga dari medan juang kampus. Bahkan, sampai mereka berdua jadi korban. Ukhti, maaf.

Rumah mungil menjadi saksi atas pertemuan kami. Bahkan alampun tak mengirimi angin segar, seolah ikut hening mengetahui apa yang baru disampaikan Ani.

^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*

“Eh, malah bengong. Katanya mau buka kado,” tegur Kang Ridwan. Menyadarkanku atas apa yang terjadi sore tadi.

*terinspirasi dari acara pernikahan teman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar