Kamis, 22 Juli 2010

Maaf, Dik

“Dik, lihat deh..uhuk,” ujar Mas Ari, suamiku. Kualihkan pandanganku dari tas kerjanya ke arah sosoknya, kemudian menelusur ke lengan,, jari, dan berakhir pada suatu benda di atas sana. Langit.

“Kenapa, mas?” tanyaku sambil ikut membiarkan ruang pandangku terpenuhi objek bernama langit, sebuah layar hitam di atas bumi. Ya, hari sudah dapat dikatakan malam saat layar dunia itu menghitam. Dan malam pula yang mengiringi suamiku dengan supra-X-nya ke rumah kecil kami sepulang kerja.

Di akhir ucapannya kudapati suamiku terbatuk. Ah, aku tak membiarkan lama-lama menatap langit, sementara kekasih hatiku perdengarkan batuknya. Segera aku menatap wajah tegas lelaki tinggi di sampingku.

“mas..sakit?” tanyaku lagi.

“Nggak. Cuma haus aja kok, dik,”ujarnya tenang. Atau lebih tepatnya suara datar dengan nada yang ditenang-tenangkannya. Entah benar entah tidak.

Mendengar jawabannya, kulangkahhkan kedua kakiku ke dapur, memindahkan isi teko ke salah satu dari sekian gelas kaca bening. Entah energi apa yang membuatku lelah seharian ini bisa tersenyum dan bersemangat membawakan minum, meski hanya segelas teh.

+=+=+=+=+=+=++=+=+=+=+=+=++=+=+=+=+=+=++=+=+=+=+=+=+

“Dik, lihat deh..uhuk,” ujarku tiba-tiba tanpa mengindahkan istriku sedang apa. Angin malam yang dengan senang hati menerpaku telah membuatku semakin lelah.

Tadi melihatnya di depan pintu membukakan ambang rumah ini membuatku berpikir. Iseng, bisa dibilang. Ingin kucandai istriku itu. Gadis manis berjilbab lebar yang kupinang 3 bulan lalu. Semoga ia tidak marah ketika tahu aku bercanda.

Seperti biasa, ia menyambutku dengan senyum dan jawaban salamnya.  Kuulurkan tanganku, berniat memluknya. Tapi, dia salah sangka, malah menyambut tanganku dan mencium punggung tangan yg diraihnya. Gubraks!

Diambil alihnya tas kerjaku untuk ditaruh di kamar, ruang khusus paling pribadi di setiap rumah seorang yang berkeluarga. Cekatan ia melakukannya. Makanya kuhentikan ia dengan batuk buatanku tadi. Benar, segera ia menoleh ke arahku saat kutunjuk langit. Sungguh, tak ada apapun di langit itu selain warna hitam dan sedikit bintang. Mestinya banyak, tapi karena kalah dengan gemerlap lampu kota besar, maka bintang-bintang itu tak nampak dalam ruang pandang kami yang terbatas. Aku hanya menunjuk untuk menghentikan langkahnya saja.

“Kenapa, mas?” akhirnya ia bertanya. Alhamdulillah, dia mau berhenti. Sungguh, aku tak mau terlihat lemah, manja atau apapun di hadapannya. Tapi boleh kan aku ingin romantis sedikit?

Kupilih diam sebagai jawaban, membiarkan mata indah istriku menelusuri langit hitam yang kutunjuk. Duh, mau jawab apa kalau dia tanya ada pa? batinku menyesali perbuatan bodohku barusan.

“mas..sakit?” tanyanya lagi setelah ia menatap wajahku. Subhanallah, wajah cantiknya makin manis saat mengkhawatirkanku. Ah, aku merasa sangat beruntung. Tapi kutahan senyumku, aku harus berwajah tegar, tegas.

“Nggak. Cuma haus aja,”jawabku akhirnya. Eh? Jawaban apa barusan? Kenapa aku menjawab seenaknya? Kemana susunan kata yang sudah kurangkai dalam hati tadi?

Jadilah kupandangi sosok istriku menuju dapur kecil kami. Kubuntuti ia perlahan, mengamatinya menuangkan air ke dalam gelas.

Maaf, cinta, aku berbuat begini

*belajar bikin cermin. Maaf kalau garing Senyum manis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar