Selasa, 17 Agustus 2010

"Merah Putih" Film Termanis

Saya tidak sedang latah menulis tentang Hari Kemerdekaan, kok. Tenang saja.

Merah Putih. Sebuah judul film Indonesia yang tayang di bioskop setahun lalu. Film ini baru saya tonton semalam. Teringat pembuatan film ini yang tampak serius. Teknologi yang digunakan adalah hasil kerjasama sineas Indonesia dengan pakar film luar. Seingat saya begitu. Yuk, kita mulai bahas setiap sisi film ini dari sudut pandang saya sebagai penikmat.

Dua sosok perempuan sedang menjemur baju kala mata saya menatap televisi. Dan itu sepertinya awal film, menurut saya. Di tengah percakapan keduanya, sang suami salah satu perempuan tadi datang dan mengajak sang istri ke dalam rumah. Bicara empat mata.

“Aku jadi calon tentara,” begitu kata sang suami. Belakangan saya ketahui nama beliau adalah Amir. Sang istri menyerahkan kemeja putih kesayangan Amir yang baru saja dijahit kancingnya.

Kemudian ditampilkan dua sosok adik-kakak, Senja dan Soerono. Perbincangan sederhana yang diputus oleh kedatangan Marius. Priyayi lulusan STOVIA. Mereka berdua akan mendaftar ulang sebagai calon tentara rakyat. Suatu pekerjaan bergengsi saat itu. Siapa sih yang tak mau disebut pahlawan? Mau tak mau sedikit ‘ujub’ akan muncul di beberapa orang, contohnya si Marius ini.  Tuh, kan, saya sudah mulai subjektif. Tak apa, kan? Toh sejak awal saya sudah bilang bahwa ulasan kali ini adalah pandangan saya akan ‘manis’nya film ini.

Kita lanjutkan dengan kisah Thomas. Saya takjub dengan sedikit  tanya-jawab antara Thomas dengan instruktur.

“Agamamu mengajarkan jika musuh menampar pipi kananmu, berikan pipi kirimu, bukan?” tanya sang instruktur.

“Tapi mata harus dibalas mata seperti juga ajaran agama Bapak,” jawab Thomas. Widii, keren. I mean, bukan apa-apa. Tapi keren dengan kemampuannya membaca situasi. Bernegosiasi. Padahal dia di film ini adalah anak petani. Ya, dia ntidak minder meski anak petani. Thomas hanya bertekad untuk membela negaranya. Itu saja.

“Paraf di sini. Jangan buat saya keciwa,” kata instruktur itu. Sejak awal saya sudah mengidolakan Thomas. Meski dia gondrong, hehe. Yap, ketegarannya itu yang membuat saya kagum.

Setelah itu, kisah demi kisah  terpapar di film. Lagi-lagi saya kagum dengan sosok Thomas.  Meski tidak mengerti kenapa dia mau saja mengakui botol bir yang ditemukan pengawas di asrama, tapi saya melihat keinginannya menyadarkan Marius dengan caranya sendiri.

Kok? Ya Marius adalah peminum. Dan instruktur tidak mengizinkan siapapun tentara Indonesia untuk minum, merokok, dll. Soerono yang sahabatnya tidak mampu mencegah Marius dari kebiasaannya. Entah, apakah cara Thomas bisa menghentikan, dia hanya berusaha.

Sok tahu, ya, saya? Sepertinya tidak juga. Saya yakin ada orang-orang yang memiliki cara berbeda menyadarkan temannya. Tidak melulu menggunakan cara konvensional. Seperti Itachi Uchiha yang melindungi desa Konoha dengan caranya. (waduh, mulai melantur saya)

Suatu malam, Soerono dan Amir dipanggil instruktur. Terkesima saya dengan percakapan instruktur dan Amir di suatu ruangan.

“Amir, saya jadikan kamu letnan 2. Soerono sebagai letnan 1 (saya lupa redaksi lengkapnya)”

“Tapi saya hanya guru. Hanya pengajar. Tidak pantas jadi pemimpin,” jawab Amir yang memang digambarkan berwajah teduh. Hmm, jauh beda dengan keadaan sekarang di mana kepemimpinan adalah barang incaran. Saya sedikit mengkhayal, bila saja aparat sekarang, pejabat sekarang, seperti Amir.

Kita kembali pada film. Saat pelantikan, ada masa dansa. Soerono mengundang Senja, kakaknya, untuk datang. Saat pesta itulah Thomas diajari dansa oleh Dayan, salah seorang perwira. Usai privat singkat, Thomas mengajak Senja berdansa. Lagi-lagi Marius mengganggu. Dia datang dan ‘merebut’ Senja untuk berdansa dengannya. Haduh, sebenarnya dalam ketentuan apapun, boleh tidak sih menyerobot seperti yang dilakukan Marius itu?

Dan sisi manis film pun mulai nampak. Belanda mengebom dan menyerang kamp pelatihan Amir dkk. Seru! Sengit! Tapi indah. Saya yakin, siapapun yang menonton bagian ini akan merasakan keindahan rasa itu. Rasa perjuangan yang bukan karena ingin mengambil hak orang lain.

Hal yang manis juga saya lihat pada adegan Soerono yang meregang nyawa. Apa katanya?

“Thomas, aku titip kakakku,”

Kemanisan masih berlanjut saat Senja tidak mau menuruti Thomas untuk pergi dari situ. Ia masih saja memangku jasad adiknya.

“Sebaiknya kita pergi,”

“Untuk apa?”

“Kalau terus di sini, kita bisa mati,”

“Seluruh keluargaku juga mati karena perang. Buat apa aku hidup?”

“Ngana (kamu-sulawesi) dengar tadi Soerono bilang. Ngana harus hidup,”

Bagaimana menurut teman-teman sikap Senja? Manusiawi bukan? Ya. Sangat manusiawi. Apalagi seluruh keluarganya mati karena perang. Tapi, di sini Thomas menjadi sosok pengingat. Sekali lagi ia mengajarkan untuk tidak mati sia-sia. Hidup harus berlanjut meski kesempatan hidup itu tinggal 0,02%. Iya, kan?

Saya merasa hal paling manis adalah saat Amir ke rumah istrinya usai mengigatkan warga desa.  Apa hal termanis dari keterdesakan itu? Apakah keromantisan suami istri? Bukan. Apakah perlindungan Amir terhadap Melati? Juga bukan. Tapi lihatlah ketika keduanya terdesak.

Saat Amir berjalan cepat, ia juga sigap menyadari ada tentara Belanda menembak ke arah mereka berdua. Ia dan istrinya dapat menghindar. Tapi tentara itu juga ambruk. Kok? Ya, Dayan, sang anak buah Amir, membunuh penjajah itu. Kalimat indahnya yang sangat saya suka adalah:

“Merindukan saya?”


Sebuah ikatan persaudaraan yang terjalin kuat di antara keduanya menyebabkan Dayan tidak patuh pada perintah Amir untuk segera lari ke bukit. Ia malah mengikuti Amir dan akhirnya membunuh Belanda yang mengancam Amir serta istrinya.

Sampai sini, saya hampir menangis. Terlalu indah film ini menurut saya. Berlebihan saya memuji? Mungkin. Tapi kan saya sudah bilang, ini pandangan subjektif saya.

Terlalu banyak yang diajarkan film ini pada penikmatnya. Sepertinya saya menulis sampai sini dulu. Bisa jadi teman-teman sudah lelah membacanya.

2 komentar: