Rabu, 25 Agustus 2010

Tentang Berproses

Sedikit gersang. Mungkin itu sebutan yang tepat bagi kampus yang menjadi tempat saya belajar.  Bola panas begitu sukarela memancarkan suhunya hingga suasana Ramadhan kali ini benar-benar panas.Belum ditambah dengan penyambutan mahasiswa baru. Maka campur aduklah kegiatan itu.

Saya duduk di salah satu sisi kampus bersama teman. Kami rehat sejenak. mengakhiri rutinitas sesiang ini. Dan meluncurlah kalimat demi kalimat yang mewujud dalam diskusi singkat.


"May, mungkin ada baiknya kalau kita berproses dengan orang yang sebelumnya sudah kita kenal," ujar teman saya. Ya, entah bagaimana mulainya,tiba-tiba diskusi kami terarah pada proses pernikahan.

Proses pernikahan, atau kata 'proses' itu sendiri sebenarnya berupa istilah yang dikenal bagi muslim Indonesia yang akan menikah. Kata 'proses' itu bermakna sebuah penjabaran akan kegiatan-kegiatan sepasang insan yang akan menikah. Kenapa tidak disebut pacaran saja?

Jelas beda antara pacaran dan proses. Untuk istilah pacaran, tanpa perlu dijelaskan hampir semua orang Indonesia mengerti istilah itu. Tapi untuk kata 'proses', mungkin perlu saya jelaskan.

Proses merupakan sebuah cara muslim-muslimah untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Kalau dulu sih enak, kita tinggal lihat siapa orangtuanya, cocok, langsung akad. Sekarang? Zaman sekarang, orangtua dan anak memiliki karakter berbeda. Bisa jadi orangtuanya sholeh, anaknya nggak. Atau sebaliknya. Ya, jalan terbaik adalah berproses. itu menurut saya. Dan menjadi pakem orang-orang yang ingin agamanya terjaga.

Selama ini proses pernikahan yang saya kenal begini: seorang ikhwan ditawari sebuah biodata seorang akhwat, atau sebaliknya,kemudian mereka dipertemukan dalam sebuah majlis khusus membahas rencana kedepan. kalau menemui kecocokan, maka keduanya akan menikah.

Dan, hal penting yang dibahas kali ini adalah, tentang siapa yang akan ditunjuk untuk berproses dengan kami. Apakah ia sudah kami kenal sebelumnya, atau belum. Selama ini kami diberi arahan untuk berproses dengan yang (sebaiknya) belum dikenal. Katanya sih supaya tdak timbul fitnah. Hmm, begitukah?

Kembali pada saya dan teman saya. Wajah saya menyiratkan tanya akan pernyataannya. Dengan iringan gerak tangan ia pun melanjutkan.

"Saya pikir, itu lebih baik, may. Kan jadi enak. Kita jadi lebih tau.." ujarnya yang langsung saya potong.

"Tau gimana dia, gitu?"

Teman saya mengangguk. Iya juga, sih.  Kalau berproses dengan orang yang sebelumnya kita kenal, atau dengan kata lain teman, kita sudah tahu bagaimana dia kalau tersenyum, marah, ngambek. Kita sudah sedikit tahu bagaimana menghadapi dirinya kalau sedang sedih, kesal, kecewa, atau bahagia.

"Ya.Kita udah interaksi sama dia, kita udah kenal dia." Saya lupa, saya atau dia yang bicara begitu. Tapi, diskusi itu asyik juga. Diskusi berlanjut. Hmm, tapi, proses itu tetap berlanjut setelah nikah, kan? Maksud saya, proses mengenal pasangan masing-masing.

'Tapi,bukannya kalau teman-teman yang mengerti agama biasanya memilih proses sama yang.." tanya saya yang dipotong olehnya.

"Nggak juga, May. Sebenarnya kehidupan rumah tangga nanti nggak ditentukan dia itu aktivis dakwah atau bukan. Dan nggak ditentukan apa dia berumah tangga dengan orang yang sebelumnya dikenal atau nggak"

Mungkin ada yang tidak sepakat bila mendengar sedikit saja diskusi kami.Apa bedanya dengan pacaran kalau proses sama orang yang udah dikenal? Lha, ini proses, kok. Kita tetap menggunakan perantara dan menjaga segala kemungkinanyang tidak baik. Kita nggak jalan berduaan, kita nggak telpon/sms kalau nggak penting. Kita bertemu juga dalam majlis khusus. Dan yang namanya proses,teknisnya sama saja dengan proses sepasang insan yang belum mengenal. Beda, kan, sama pacaran?

Hmm. Mungkin pendapatnya benar. Tapi, di sisi lain, saya juga tidak menyalahkan teman-teman yang ingin berproses dengan orang yang belum dikenalnya. Mereka hanya ingin menjaga hati mereka, itu saja. Mereka tak ingin ada fitnah ketika proses menuju pernikahan itu berjalan.

Sepengalaman saya, alasan mereka biasanya begini.

"Saya khawatir, May, kalau proses sama ikhwan yang dikenal, dikiranya waktu interaksi tuh namanya pacaran, pendekatan, atau ada maksud lain dibalik interaksi,"

Hmm, iya juga. Kekhawatiran yang wajar kalau kita memandang dari sisiorang-orang yang masih tercetak di otaknya kata: pacaran. Niat yang baik untuk mengarahkan kebaikan, menurut saya. Dan itu bisa saja satu sikap amar ma'ruf,ya? (amar ma'ruf: mengajak pada kebaikan)

Apapun itu, selama masih dijalani dalam koridor Islam, maka menurut saya sah-sah saja.

Dan kami beranjak dari tempat itu, menuju sisi lain kampus. Masih dengan diskusi pernikahan meski dalam konteks yang berbeda.


2 komentar: