Jumat, 17 September 2010

[catatan perjalanan] Jalan-jalan Jogja-Magelang (Part 4)

Sore hadir, menemani kami menanti bus tanggung khas angkutan antarpropinsi. Ditemani beberapa petugas terminal Jombor kami duduk di sebelah jalur bus jogja-magelang. Ditemani lagu-lagu yang tersimpan di ponsel saya (koko ni iru yo-soba ni iru ne- my answer-for you-nagareboshi-ya, sudahlah-we will not go down), kami duduk manis di kursi panjang. Sperti kursi SD zaman dahulu, tapi mungkin bahannya lebih kuat.

Terminal Jombor sangat sepi, menurut saya. Tidak seperti terminal-terminal di Jakarta. Padahal, setahu saya terminal Jombor termasuk terminal propinsi. Hmm, apa saya salah tahu, ya? Hehehe.

Akhirnya kami naik juga ke bus yang dinanti. Ah, apapun itu busnya, kami naiki. Segera saya lihat nomor plat mobil sesuai pesan paman saya, kemudian naik. Hmm, terpisah saya duduknya dengan teman saya. Tak apa,lah. Toh kami turun di pemberhentian terakhir.

Lama juga, ya, jarak Jombor-Borobudur. Lebih dari 2 jam sepertinya. ah, saya membayangkan sop buah untuk berbuka. hanya itu. Sop buah, untuk mengobati kelelahan fisik berjalan kaki Malioboro-UGM.

Penantian berakhir. Kami sampai di terminal Borobudur. Sepi (lagi).  Hmm, mungkin karena area Candi Borobudur, maka gerbang terminal pun b erupa gapura. Eh, benar tidak, ya, itu gerbang terminal?

Pakdhe menjemput kami dengan motor khasnya. Yeah, bukan motor berkelas, tapi kuat untuk daerah berbukit seperti desa beliau. Mau bukti? Lain kali kalau ke desa Tempuran, saya ajak naik motor beliau ya.

Kami disambut oleh keluarga Tempuran. Menu berbuka yang sangat biasa menurut mereka, tapi sangat 'wah' bagi saya. Yummy....masakan khas pedesaan. nikmat kalipun, karena masakan di kota entah kenapa kurang menarik bagi saya.

Kami merencanakan perjalanan esok hari. Borobudur dan rumah seorang teman. Ternyata teman saya belum pernah ke Candi yang menurut saya membosankan itu. Bayangkan! Hanya susunan batu, yang menurut saya lebih menarik mengapa bisa terbentuk, dibanding sekadar datang ke sana. Yeah, itu menurut saya. (padahal saya paling kagum dengan benda-benda zaman dahulu...hehehe)

Oke, kami beristirahat dengan lelapnya. Kami tahu, hari ini kami menempuh perjalanan yang sangat melelahkan dan penuh pelajaran.

04.09.2010
Usai sahur dan ibadah pagi, kami kembali tertidur untuk waktu yang lumayan lama. Jelang Zuhur kami berangkat ke Candi Borobudur ditemani pakdhe. Pakdhe kesayangan saya itu sangat baik sehingga bersedia mengalahkan lelahnya bekerja semalam untuk menemani kami.

Yap. Candi Borobudur tampak. Harga tiketnya? Rp 17.500/orang. Itu untuk warga domestik, ya. karena saya baru tahu bahwa ada loket khusus turis asing. Hew! kalau urusan duit aja, cepat tanggap itu pengelola. Hehehehe.

Saya hanya mengantar teman saya sampai tingkat dua, karena cuaca panas saat itu membuat saya tidak sanggup naik sampai ke puncak. Saya pun duduk di batu yang bisa diduduki. Pemandangan sejuk, dan akhirnya membuat saya...ngantuk. Semilir angin telah mendukung saya untuk tidur, saudara-saudara!

Entah waktunya sebentar atau saya yang terlalu lama tidur dalam posisi duduk, teman saya sudah kembali beberapa menit kemudian. Katanya sih sudah sampai di tingkat paling atas. Hebat! Padahal baru belasan menit (menurut saya) dia ada di candi ini.

Akhirnya kami bersegera menuju Tempel, tempat teman kami yang lain. Bersegera karena bus yang akan kami naiki memiliki batas waktu operasi hingga pukul 5 sore.

Oke, oke, pakdhe pun memberi instruksi. Beliau tidak menemani kami. Berdua kami naiki bus Borobudur-Jogja menuju Palbapang-Tempel. Ingat, Palbapang. Setelah membayar, kami duduk di bus yang pakdhe maksud.

Kata teman saya, biaya bus bisa Rp 5000/orang. Eh? Tapi ketika saya membayar dengan uang sepuluhribu, dikembalikan Rp 6000 oleh kenek. Hmm, murah ternyata, batin saya. Kami duduk manis usai mengatakan 'Palbapang Tempel' pada kondektur. Teman saya berkeras saya tidak menyebut tempel pada kondektur. Ah, saya jadi bingung.

Kami diturunkan di pertigaan: simpang tiga. Palbapang, itu namanya. Ada dua pos polisi. Kemudian saya kirim pesan singkat pada teman saya yang tinggal di Palbapang.

mbak, may sudah di palbapang.

Tidak lama kemudian, ada kejadian unik. Bahwa penelepon yang tak lain suami teman kami berkeras bahwa Palbapang bukan berbentuk petigaan, tapi perempatan! Mulailah kami khawatir. Nyasarkah? Saya yakin tidak. Apalagi ketika kami bertanya pada polisi, Palbapang itu hanya satu, ya di tempat kami sekarang.

Akhirnya kami menyadari bahwa kami turun di Palbapang Muntilan, bukan Palbapang Tempel. Haiyaaaaaaah, kenapa pula lama nyadarnya? Hampir 1 jam lumutan di pos polisi ditemani pak polisi yang curhat.
-___________________-!!

Akhirnya kami naik ojek ke Palbapang Tempel. Bus yang kami berhentikan ndak mau berhenti.

"Pak, ke Palbapang Tempel, ya," ujar saya

"Mbak naik bus aja deh,"

Lah, pak ojeknya ndak mau. Bagaimana ini? Setelah negosiasi, kamipun sanggup mematahkan argumentasi pak ojek itu. Dan pukul 4 sore kami sampai di Tempel, bertemu suami teman kami, Mas Sigit, untuk kemudian ke rumah mereka, bertemu teman kami.

Mbak Murih, istri Mas Sigit, sedang hamil 9 bulan. Mas Sigit sendiri sedang pusing saat itu dengan PRnya: mencari nama. Hehehhe, pantas saja berkali-kali menanyakan nama. Ternyata itu PR tho.

Silaturrahim yang hanya sebentar itu harus berakhir karena kami masih harus mengejar bus ke rumah pakdhe. Dan sore itu, kami melewati rute baru menuju rumah pakdhe.

*bersambung

6 komentar:

  1. palbatang tuh mana may?????

    BalasHapus
  2. dududu, maaf maaf. may salah, harusnya Palbapang. Udah diedit. Palbapang itu sendiri adalah daerah d jawa tengah

    BalasHapus
  3. bukan maesaroh binti paliyo namanya kalo ga kesasar :-"

    BalasHapus
  4. seru kalo jadi turis bacpacker kesasar... terasa banget adventure-nya :D

    BalasHapus
  5. nggak perlu kesasar untuk ngerasain serunya mas

    BalasHapus