Selasa, 21 September 2010

Kabar itu...

Sudah sore saat aku selesai kuliah. Sengaja kupilih untuk menjadi yang terakhir keluar kelas karena aku ingin mengistirahatkan tubuhku dulu. Ya, usai kuliah aku harus kembali pada rutinitasku: bekerja di radio Mimya. Semoga lima menit ini cukup untukku.

Akhirnya aku keluar, melangkah batas ruang. Di samping pintu kusadari sosok lelaki yang sangat kukenal: Fahri. Dia bersandar di dinding seperti menunggu sesuatu. Ya, kulihat ada bekas tetesan air pada tanaman sekitar gedung ini, gedung kelasku. Mungkin ia menunggu hujan reda. Kuacuhkan kehadirannya, tidak menyapa.

“Din,” panggilnya. Ia beranjak dari posisinya tadi. Aku yang merasa dipanggil hanya diam. Menghentikan langkah tanpa ada minat untuk berbalik dan menyahutinya. Ya, aku bimbang, haruskah kujawab panggilannya? Sudah setahun kami tidak bercakap sama sekali. Meskipun kami berada dalam satu jurusan.

“Din,” panggilnya lagi. Masih belum cukupkah dengan berhentinya aku? Kuedarkan pandangan ke koridor tempatku berdiri. Tak ada siapapun. Hanya aku dan dia. Yang kutakutkan bukan niat jahatnya, karena aku percaya padanya. Tapi aku takut dengan kelompok kiri yang senang sekali membuat berita tentang orang-orang seperti kami. Orang-orang yang dianggap sok suci.

“Din.”

“Apa, Ri,” sahutku akhirnya.

“Aku Cuma khawatir,” ujarmu. Aku terhenyak. Kutautkan kedua alisku, kukerutkan agar bertaut. Apa? Khawatir? Aku tidak salah dengar?

“Apa?”

“Aku khawatir. Jelas?” ujarnya lagi. Kau eperti biasa menegaskan dengan memaksa. Khawatir apa? Kau hanya khawatir kalau terkait organisasi.

“Khawatir apa? Buat apa khawatir? Toh aku nggak jadi sekretarismu lagi. Aku nggak akan merugikan organisasi lagi,” jawabku. Ya, mungkin nadaku ketus, Ri. Maaf. Tapi aku tak bisa menahan emosi bila menghadapimu yang penuh ego.

“Bukan, Din. Tapi…” ucapanmu terputus. Aku hanya diam, menanti kelanjutan ucapanmu.

“Aku khawatir dengan seringnya kau berinteraksi dengan laki-laki, kau termasuk kaum yang pacaran.”

Sendu sekali lanjutan ucapanmu. Aku menangkap nada sedih, prihatin itu. Ada apa, Ri? Kenapa kau sampai berkata begitu?

“Pacaran?”

Matamu menatap langit, Ri. Aku bisa ikut merasakan aura sedih ini. Apakah baru terjadi sesuatu, Ri?

“Salah satu teman kita, akhwat, pacaran, Din. Dan aku nggak mau itu terjadi sama kamu.”

Oke, kuakui hatiku mengadakan acara kejut. Jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa bilang  aku percaya ucapanmu. Tapi aku juga tak bisa tak percaya padamu.  Aku sudah mengakui kredibilitasmu, Ri. Aku tidak siap mendengar semua ini. Aku belum tahu harus berekspresi bagaimana.

“Diam. Baru tahu?” tanyamu. Aku diam kaku begitu saja. Koridor yang sepi terisi mahasiswa lain yang lewat dan menyapa kita. Kau menjawab sapaan mereka, begitupun aku.

“Ini semua salahku, Ri,” jawabku yang terlihat tidak bersambut dengan tanyamu.

Kini aku tidak hanya berdegup kala kau sebut namanya. Tapi aku merasakan tulang-tulangku diloloskan dan menyebabkan lemas pada tubuhku. Aku terduduk. Tak peduli apakah lantai itu kotor. Berbagai kenangan manis bersamanya kulalui, saudari manis yang memang terkenal cantik.

Kini, hanya bisa menangis kulakukan dalam keadaan ini.

“Ke mana kau selama ini, Din?” tanyamu. Selalu begitu, selalu menjustifikasiku. Selalu.

“Aku juga salah, Din. Waktu itu aku melarangnya nikah. Aku yang melarang. Aku juga secara tidak langsung berperan Din,” kau menjelaskan.

“melarang?”

“Aku melarangnya karena aku belum siap. Aku menolaknya, Din.” Sahutmu.

Apa? Jadi, inikah bentuk kecewanya?

“Din, maaf. Aku Cuma bisa menjagamu kini, di sini, di jurusan ini. Tak ada lagi yang bisa kulakukan dalam penjagaan,” kau lanjutkan ucapanmu. Aku menoleh, kuhapus airmataku. Aku berdiri, membersihkan sedikit debu di bajuku.

“Tak perlu, Ri.”

Aku tahu reaksimu. Kau menoleh padaku. Matamu tajam menatapku. Seperti biasa, kau menatap tak percaya atas keputusan yang kauanggap aneh dariku.

“Cukup kaujaga para lelaki, adik kelas kita. Aku masih sanggup sendiri,” jawabku. Saat itu aku melihatmu mengalihkan pandangan. Ya, kita tak bisa terus saling menatap, kan, Ri?

“Kau yakin?” tanyamu.

“Percayalah.”

Hening. Hanya terisi dialog kecil di sekitar kita.

-END-

2 komentar:

  1. plok2

    kalo ada jempol like chika klik deh hehehe^^

    suka chika cerpen2 yang melibatkan emosi batin hehe^^
    hehee
    lanjutkan mba
    bisa buat novel euy
    terbiitin gitu hehe

    BalasHapus
  2. bingung. maksudnya emosi batin yang gimana? bikin novel? waduh, may belum sehebat ayahmu, chik :D

    BalasHapus