Kamis, 30 September 2010

Maaf, Menangislah

“Assalamu’alaikum,” sebuah suara yang sudah 4 bulan ini akrab di telingaku terdengar. Lelakiku datang, pikirku. Segera kuletakkan buku yang kubaca. Menghampiri pintu depan.

‘alaikumussalam,” jawabku. Jilbab kaos sudah bertengger, menutupi kepalaku hingga panjang yang sewajarnya. Membuka pintu dan menemukan sesosok lelaki menjadi rutinitasku tiap sore.

Terhampar dalam pandangku, tubuh tegap dibalut kemeja warna krem dengan celana bahan hitam, juga tangan menjinjing tas. Kuraih tangannya, mencium takzim dan tanganku yang lain meraih tasnya.

Aku seolah menyadari keanehan. Raut wajah yang tidak begitu sumringah. Nada salamnya yang tidak terlalu bersemangat. Begitu lelahkah hari ini dibanding biasanya? Banyak pertanyaan dalam hatiku. Tak kubiarkan ia meloncat dari bibirku untuk saat ini. Biar, biarlah mas—panggilanku pada suami—Ardi bercerita sendiri.

Melangkah ia mendahuluiku memasuki rumah. Ruang tamu dilewati. Biasanya ia akan ke ruang tengah, duduk sebentar, baru mandi. Tapi tidak kali ini. Kulihat ia melewati ruang tengah favoritnya. Langsung menuju kamar. Akupun mengkutinya karena memang aku harus menaruh tasnya di kamar.

“Mas, kok langsung tidur?” tanyaku perlahan sambil mengangsurkan tas kerja ke samping meja di kamar.

“Hn,” jawabnya singkat. Aku berdiri mendekatinya, semakin dekat hingga melihat bulir peluhnya masih belum juga hilang meski kipas angin sudah dinyalakan.

“Mau dibuatin teh?” tanyaku lagi. Semoga ia mau menerima tawaranku. Doaku dalam hati.

“Apa harus begitu?” tanyanya ketus. Aku tak perlu menggambarkan begitu berlebihan seperti ‘bagai panah menancap janungku’ atau kiasan lain. Hanya, kali ini nada ketusnya perlahan menoreh keras, menusuk-nusuk tajam sisi-sisi hatiku. Tidak kusangka ia akan menjawab seketus itu. Atau, ia terlalu lelah?

“Nggak..kok..” jawabku terbata. Bukan apa-apa, aku hanya berusaha menyembunyikan getir hatiku dan berbagai pertanyaanku. Bila tak kutahan, mungkin sudah terucap sejak tadi mengenai sikapnya.

Segera kuberingsut dari sana. Membiarkan mas Ardi dengan ketidakbiasaannya. Biarlah, meski ia menolak, coba kubuatkan teh saja. Dan ritual pun dimulai. Mengambil gelas, gula, dan seperangkat bahan lainnya.

Sudah akan adzan maghrib, sepertinya. Kudengar lantunan asmaul husna di speaker mesjid dekat rumah. Yup, tehnya hampir jadi.

DAK!
Terdengar suara pintu ditutup dengan tidak lembut. Agak kasar sepertinya. Aku menoleh, berjalan sedikit ke arah pintu depan. Huft… melihat kamar yang sudah kosong, bisa ketahuan siapa yang berulah terhadap pintu depan. Mas, kau kenapa?

Aku sedang berhalangan dan menunggu mas Ardi selesai dari mesjid. Tidak begitu lama selepas doa yang juga diperdengarkan dari speaker selesai, Mas Ardi mengucap salam. Nada malas kini yang terdengar. Tidak biasanya yang ceria bila kembali dari mesjid.

“Mas..teh..”

“Berisik!” hardiknya sambil melenggang ke arah dapur. Semakin tajam tusukan di hatiku rasanya. Mataku mulai berkaca. Ada bulir yang mendesak untuk terbebas dari kelopakku. Tapi masih harus kutahan. Mas Ardi sedang lelah, begitu pikirku.

BRAKK!! Suara pintu kamar mandi yang memang dari alumunium terdengar seperti dibanting. Ah, bukan. Tapi seperti dipukul.

“Mas…”

“Diam!” hardiknya dari dalam kamar mandi.

Kelopakku sudah tak kuat. Airmataku kubiarkan menyentuh lantai rumah kami. Membuang sebagian sakit yang ada di hatiku. Semoga memang seperti itu. Tanganku menutup mulutku agar isakku tak terdengar olehnya. Rabbi, sakit…ada apa ini? Batinku terus bertanya.

Aku mendudukkan diriku di ruang tengah, bersandar pada dindingnya. Masih coba menahan isakku hingga akhirnya Mas Ardi keluar dan melewatiku, menuju kamar.

Aku sedang dalam keadaan rumit. Jangan bertingkah atau bicara yang malah memperburuk keadaan. Satu lagi, jangan nangis.

Pesan singkat itu kuterima. Ya, memang ponselku ada di ruang tengah. Mas Ardi yang mengirimnya. Bukannya mereda, tangisku makin menjadi. Aku memperburuk keadaan? Aku hanya ingin membantu. Aku tak sanggup melihatnya kacau begitu. Aku…tak ada lagi kata dalam batinku, hanya tangis dan tangis.

Ya, sejak kecil hingga sekarang, aku paling takut bila dihardik. Entah kenapa hal itu terjadi padaku sehingga aku paling tidak suka bila melihat orang lain menghardik siapapun. Tidak hanya aku.

Rabbi, kuatkan aku, tenangkan dan damaikan Mas Ardi. Hanya sedikit pinta yang bisa kususun di sela tangisku. Aku sudah mulai kalut, tak terpikir apapun. Hanya satu kuingat, menyiapkan makan malam Mas Ardi usai shalat isya.

Sambil menata piring, airmataku masih mengiring. Belum mau mengering. Hardikan itu begitu membekas di telingaku.

KLAK!
Suara pintu dibuka. Sepertinya Mas Ardi sudah pulang dari mesjid. Sudah isya tadi. Aku masih menundukkan wajahku, tak berani menunjukkan bengkak mataku yang kurasakan aneh ini. Aku harus berusaha siap dengan hardikan lagi.

“Nin?” panggil mas Ardi. Allah, aku harus siap, batinku. Kuserahkan piring berisi porsi nasi sebiasa ia makan.

Mas Ardi menerima piring itu, tapi tidak langsung meraih lauk serta sayur yang tersaji di meja makan. Aku masih menunduk, takut.

“Nin?” panggilnya lagi.

“I..Iya..” jawabku terbata dan belum selesai karena Mas Ardi menabrakku. Tidak. Ia memelukku, merengkuhku dengan tangan kekarnya.

“Maaf…menangislah…” ujar mas Ardi kemudian. Dan seperti biasa, aku menurutinya. Bagai anak kecil di depan ibunya, aku menangis dalam rengkuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar