Kamis, 30 September 2010

Kisah Kecilku dengan Ani

“Titip salam buat Ani, ya. Bilang sama dia, Ani harus cepat besar biar abang ada yang ngurus, abang ada yang bawain makan siang kalo kerja,” ujar perempuan berjilbab di depanku. Ya, aku tengah bersiap akan pulang usai rapat di rumahnya. Yang baru saja disebut namanya adalah adik bayi perempuanku yang berusia 6 bulan. Tentu sedang lucu-lucunya. Gadis berjilbab biru itu adalah temanku, teman kuliah yang berada satu tingkat di atasku.

“Dasar. Masih aja aneh, Mbak. Nggak berubah,” sahutku. Gadis berjilbab yang kupanggil mbak itu hanya tertawa kecil.

“San, ane bareng antum, ya, pulangnya. Kan searah,” ucap Galih, temanku. Aku hanya mengangguk dan berdiri usai ritual memakai sepatuku. Teman-teman yang lain, laki-laki dan perempuan sudah mengambil posisi masing-masing untuk pulang. Ada yang pamit duluan, ada yang masih bercanda di depan motor mereka.

Suasana yang selalu kurindukan bila bersama mereka, rekan-rekan yang baru tahun ini kutemui lagi. Rekan-rekan alumni Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM J) yang harus berkumpul malam ini karena keadaan darurat: Biaya semester mahasiswa yang belum juga terbayar. Aneh? Ya. Mungkin di tempat lain tidak aneh, tapi di jurusan kami ini aneh. Bukan karena orangnya kaya, tapi karena kompak sebagian mahasiswa belum membayar uang semester.

“San, hati-hati,” ucap Mbak Rini, pemilik rumah tempat kami rapat yang merupakan gadis berjilbab lebar satu-satunya di dalam rapat.

“Iya, Mbak.”

*^*^*^*^*^*^*^*^

Ani tertidur saat aku datang ke rumah sederhana kami. Bayi cantik dan sehat itu asik bermimpi dengan dunianya mungkin.

“Ni, kata Mbak Rini, Ani harus cepet gede. Ntar biar Ani bisa bikinin Abang sarapan, makan siang, urusin Abang kalo sakit…” ucapku terputus. Masih menatap wajah malaikat kecilku. “Dia baik, ya, Ni. Baiiik, banget. Ani setuju, nggak, kalo Abang nikah sama Mbak Rini?” tanyaku. Hanya hening yang menjadi jawaban. Aku terhanyut dengan kalimat Mbak Rini yang begitu perhatian. Aku tahu, Mbak Rini baik tidak hanya padaku, tapi pada semua orang.

“Apa boleh, Abang…punya perasaan ini, Ni?” tanyaku lagi pada Ani. Seperti biasa bila aku pulang, tidak ada siapa-siapa dan hanya Ani serta aku yang ada. Maka aku langsung curhat pada si kecil yang kutahu tidak mengerti apa yang kubicarakan. Curhatku tidak jauh dari Mbak Rini, Mbak Rini, dan Mbak Rini.

Awalnya kukira perasaanku pada Mbak Rini hanya seperti adik pada kakaknya. Tapi makin lama aku menyayanginya lebih dari itu. Lazimkah bila aku melamar Mbak Rini? Sementara aku juga masih skripsi? Lagipula…usiaku dan dia..terpaut setahun lebih muda. Aku yang lebih muda. Aku.

*^*^*^*^*^*^*^*^*^

“Mbak,” panggilku di depan ruang dosen.

“ya?”

“Boleh bicara sebentar?”

“Yap!” jawabnya ceria. Ah, andai hanya aku yang memiliki keceriaannya. Aku asik terpaku menatap cerianya di wajah bulat itu.

“San?”

“Eh….kita bicara di koridor. Boleh?” usulku usai tergeragap menjawab panggilannya.

Melihat anggukannya, akupun memimpin jalan ke arah koridor. Sepi. Ya, ini adalah jam kuliah berlangsung. Masih pagi pula, jam pertama. Jadi aku tak heran kalau sepi. Sebenarnya aku tak mau berdua-dua begini. Tapi karena aku malu, maka kukalahkan keinginan tidak berdua.

“Jadi gini..” ujarku perlahan. Tenagaku kualihkan untuk menahan deru nafas dan debaran jantung yang boleh jadi akan mengacaukan bicara serta sikapku.

“Ya?”

Rabbi, bolehkah? Semoga ini jalan yang baik.

“Hmm, ingetin Rini, ya, ada yang mau Rini sampaikan nanti,”

“I..iya,”

“Hei. Kok gugup? Santailah seperti biasa,”

Senyum itu lagi. Senyum yang membuatku tak sanggup menatapnya lama.

“Aku ingin menikahimu, Mbak. Maaf, mungkin konyol. Tapi aku ingin perasaan sukaku diarahkan pada yang halal,” ujarku. Ah! Aku benar-benar melakukannya! Aku mungkin akan menyakitinya yang sering berkata ‘kau adikku’ atau ‘iya, dunk. Adiknya Rini, gitu’

Hening. Debaran jantung masih kurasakan tidak menentu. Sangat jahat. Sangat lancang. Harusnya aku diam, tidak membuatnya terluka. Bila benar aku mencintainya. ARGH!

“Ma..”

“Terima kasih, San. Terima kasih,” ujar Mbak Rini yang sontak membuatku menoleh. Kutatap wajahnya yang terus teduh itu. Tidak berubah. Ah tidak. Ada perubahan yang perlahan kutangkap. Ada wajah yang biasa kulihat bila ia sedih. Ada genangan airmata yang mungkin coba ditahannya.

“Mbak…maaf,”

“Rini seneng kok kamu jujur. Tapi, Rini nggak bisa terima…”

“Karena usia?”

“Bukan…”

“Status sosial?”

“Bukan…meski kau sekaya apapun Rini nggak akan minder. Tapi, Rini mau ngasih ini..”

Selembar kertas biru terulur untukku. Manis.

UNDANGAN WALIMATUL ‘URSY

Rini Hastiningsih
dan
Fadli Mukhlisin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar