Minggu, 31 Oktober 2010

Apresiasi dan Eksistensi Diri: Yuk, Belajar Menghargai ^.^

Ini kisah tentang suatu malam bersama mama. Di tengah rehat bersamanya. Masa yang sulit atau langka bagi kami, meski sering berdiskusi dengan Bapak.

“Ma, aku merasa kurang deket sama temenku, deh,” saya mengawali sesi curhat itu.

“Kenapa?”

“Mungkin aku yang terlalu diam, ya, Ma?”

“Bisa jadi. Coba deh kamu nggak jaim kayak Mama,” jawab Mama sedikit narsis.
-__-‘

Apresiasi
Apresiasi, sebuah pemberian pendapat atas sesuatu. Umumnya penggunaan kata ‘apresiasi’ ini berkonotasi positif. Mengarah pada pemberian penghargaan. Umumnya, lho, ya.

Apresiasi. Sebuah kata yang sederhana dalam perilaku tapi sangat dibutuhkan. Masih penasaran? Yuk, langsung praktik.

“Aku baru saja selesai menggambar gedung,” ujar seorang siswa kelas 1 SD. Ia mengatakan hal tersebut sambil menunjukkan lembar kertas bergambar kotak yang disebutnya gedung. Belum sempurna memang, tapi bila kita adalah orang dewasa yang diberitahunya, maka kita pasti ingin melihat semangatnya untuk berbuat lebih kelak terkait gambarnya. Bagaimana caranya?

Apresiasilah ia, berikan tanggapan positif nan antusias.

“Wah, hebat. Kereeen!!” ucap saya bila melihatnya, diiringi cengiran girang (waduh, bahasa saya aneh, ya?) yang akan membuatnya ikut tersenyum bangga.

Tapi apa jadinya bila kita beri tanggapan layaknya dia adalah orang dewasa? Seperti

“Oh, iya,” ujar saya dengan nada datar dan senyum tipis sekadar formalitas. Apa yang terjadi? Saya sudah pastikan bahwa si kecil itu akan melemah semangatnya, terlihat dari gesture-nya.

Sedikit gambaran di atas tentu sudah cukup menjelaskan pentingnya apresiasi, bukan? Itu contoh bagi anak kecil yang masih polos dan belum mengalami keruwetan dunia. Lantas, bagaimana dengan orang dewasa? Apakah tidak butuh apresiasi?

Saya berani menjawab: sangat butuh. Kenapa bisa saya mantap menjawab begitu? Karena saya sendiri mengalami dan memahami dari buku yang saya baca, bahwa tanggapan positif sangat dibutuhkan untuk mempertahankan eksistensi seseorang.  Hal tersebut tidak bisa tidak terkait dengan kondisi psikologis seseorang yang memang sangat membutuhkan pengakuan akan keberadaan dirinya.

Tolong, Terima Kasih, Maaf
Meski tampaknya tidak terkait, tapi ketiga kata tersebut: tolong, terima kasih, dan maaf, adalah tiga hal yang juga turut mempertahankan eksistensi seseorang. Kok bisa? Yuk, bahas. Masih pendek kan bacaan ini? Heuheuheu.

Tolong. Kata yang diartikan sebagai permintaan bantuan pada orang lain akan sesuatu hal. Banyak yang mengakui, permintaan tolong lebih manis bila diucapkan dengan nada lembut. Sebagaimana banyak yang mengakui permintaan tolong dengan awalan ‘tolong’ akan lebih enak didengar daripada permintaan tolong bernada perintah (tidak menggunakan kata tolong). Silakan dibuktikan ya.

Kita berlanjut ke ucapan kedua. Terima kasih. Ucapan yang sangat biasa ini ternyata juga mempertahankan eksistensi seseorang, lho. Bayangkan saja jika kita sudah mengambilkan pensil untuk teman di dalam belanga yang letaknya di atas lemari kaca dengan pijakan yang rentan karena berat badan kita lumayan, tapi Cuma didiamkan saja ketika kita sudah berhasil. Ok, ok, terlalu ekstrem ya contohnya? Heuheueheu, maaf deh. Tentunya teman-teman sepakat, kan, bahwa ucapan ‘terima kasih’ bisa menjadi obat lelah kita? Bisa menjadi bukti bahwa kita dianggap ‘ada’? Nggak sepakat, nggak temen. Hehehe

Yuk, deh, ke kata ketiga. Kata yang sering dibilang susah tpi sebenarnya bisa diucap.  Dalam konteks pembicaraan kali ini, masih ada yang mau mengelak bahwa kata “maaf” juga berlaku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar