Mari kita jaga cita tinggi ini di jalan cinta para pejuang.
Hmm, kalimat singkat yang banyak maknanya. Dan saya tertegun membacanya di suatu pagi. Sebuah angkot biru yang saya tumpangi memberi kesempatan saya untuk membaca ulang buku. Buku dengan kata-kata yang saya suka itu berhasil menyihir saya untuk terus menikmati kisahnya. Ya, ianya berbicara cita dan cinta.
Baiklah, saya rangkum sedikit bahasan yang cukup menyentuh sudut hati saya.
Perang mu'tah adalah kisah itu. Kisah yang tergambar dari tulisan dalam buku, pengiring saya naik angkot biru. Kisah tiga panglima, di antaranya Ja'far ibn Abi Thalib yang begitu mampu menohok sudut hati saya. Ianya menjadi panglima kedua setelah Zaid ibn Haritsah syahid. Begitu heroik aksinya, menurut saya. Tangan kanannya begitu bersemangat memegang panji hingga harus digantikan oleh tangan kiri disebabkan tebasan pedang. Ya, tebasan pedang musuh mengenai dan melepaskan tangan kanan itu dari raganya.
Tak kalah semangat tangan kirinya memgang panji, mempertahankan hingga masa habis untuk tangan kirinya. Ianya ditebas seperti tangan kanan. Tanpa tangan, ya, sekali lagi, tanpa tangan, Ja'far masih pertahankan panji itu. Saya tak habis pikir bagaimana bisa ia berperang tanpa tangan, dan kepalanya ia pakai untuk menahan panji di dada, sehingga ia mendekapnya. But it's him. Itulah Ja'far, itulah pejuang.
Sampai sini, saya makin terfokus. Tulisan dan kisah itu seolah membius saya. Dada saya sesak membayangkan keadaan itu. Sang panglima berada dalam keterbatasan yang membuatnya berlaku tidak terbatas. Dan akhirnya saya membaca kalimat akhiran kisahnya. Tubuhnya dibelah.
Air mata saya menetes. Bukan sedih, tapi saya begitu kagum dengan perilaku sang panglima. Ianya menjaga cita dan cinta. Ianya berhasil membuat saya mempertanyakan lagi: Apakah saya sudah mampu menjaga cita dan cinta saya sebagai muslim?
Kamu kan beda, May. Kamu bukan Ja'far.
Pembenaran itu sekelebatan muncul. Ah! Meski saya bukan Ja'far, tapi saya seorang muslim. Dan saya juga punya tugas yang harus saya lakukan untuk menjaga kemudian menggapai cita serta cinta saya. Bukankah cita dan cinta hanya bisa tergapai jika peraturan-peraturan yang ada dilakukan?
Ya. Saya berani menjawab itu. Dan kini, saya semakin menyadari, kewajiban-kewajiban yang harus saya lakukan sebagai muslim bukan demi orang lain, bukan demi dunia, bukan demi hal-hal kecil. Tapi ini demi cita-cita dan cinta saya. Demi cita-cita dan cinta terkait peradaban yang saya impikan: dunia kata dan dunia anak.
Dan hari itu ditutup dengan penginjakan sebuah tangga pencapaian cita dan cinta, meski baru setapak.
*sebuah muhasabah kecil aja kok
^.^
anggap aja intermezzo, hehe
^.^a
berkunjung lagi may :D
BalasHapusmembaca kisah sahabat memang dapat menggugah iman kita, membuat kita bertanya, apakah tingkat iman kita sudah sebagus mereka?
wah, samapi menangis ya...pertanda hati yang lembut.
BalasHapus@mas ario
BalasHapusmakasih kunjungannya...
yap. kita bertanya tapi akan lebih indah kalau kita berupaya melakukan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah Muhammad saw kan?
@m.avip
kak avip ya? amin...