sebuah judul yang saya ambil dari sebaris lagu lawas, yang dinyanyikan oleh tim nasyid Bandung saat itu. Perjuangan itu artinya berkorban. Yap, kita akan mulai dengan sebagian kisah.
Saat itu bukan lagi masanya jarak tempuh tak dapat dilalui dengan kendaraan. Tapi ternyata itulah yang terjadi: waktu tempuh sangat panjang meski menggunakan motor. Seorang lelaki paruh baya menempuh hutan dan sungai dengan waktu lebih dari 12 jam untuk sampai di tempatnya mengaji. Kejadian ini di belahan bumi Sumatera. Dan ia rutin melakukannya. Apa ia mengeluh? Ternyata ia tersenyum dan menyadari ini konsekuensinya mencari ilmu agama.
Tinggal di pelosok dan harus menyeberang sungai serta hutan untuk bisa mengaji, sungguh perjuangan yang tak bisa dikatakan mudah. Belum lagi terkait dana. Harga bensin tidak murah lagi, bukan?
Kemudian seorang kakek penjual kentongan di Klaten. Semoga saya tidak salah tentang apa yang dijual beliau. Sejak pagi hingga petang beliau berjualan dengan barang yang belum tentu terjual satu per harinya. Ketika rekan saya bertanya kendaraan yang beliau gunakan, beliau hanya menjawab berjalan kaki. Tak tanggung-tanggung, jarak rumah beliau dengan pangkalan sekitar 20 km (atau lebih?). Sedangkan harga kentongan Rp 5000. Apakah beliau kesal?
"Saya hanya mensyukuri nikmat Allah saja," ujar beliau. Ya, beliau bersyukur atas tenaganya dengan bekerja, meski bagi kita itu terlalu menyakiti beliau.
Mereka semua pejuang. Hari ini, saya teringat hal itu karena sebuah kejadian saat pelatihan. Trainer memberi sebuah kasus pada kami.
"suatu ketika kalian mendapat amanah sesuai jobdesc, tapi keadaan sedang hujan deras, petir, angin kencang. Padahal rumah kalian jauh. Apa yang kalian lakukan?"
Saya terkesan dengan jawaban teman saya, "Lihat dulu cuacanya seburuk apa. Kalau tidak terlalu parah semisal gempa, ya saya coba untuk tetap menyelesaikan mandat dengan datang ke lokasi kegiatan dan melaksanakan amanah itu,"
Kenapa saya terkesima? Saya sangat ingat kalimat seorang ketua di organisasi saya dulu, "Saya harap teman-teman bisa datang, dan boleh izin kalau: sakit parah semisal stroke, meninggal, gempa, hujan deras sampai pohon dekat rumah tumbang."
Lucu? Unik? Bagi saya itu sebuah upaya pembangunan komitmen bahwa dalam perjuangan akan selalu ada pengorbanan. Saya tersenyum menyadari hal itu. Mereka saja, dua orang contoh tadi, bisa bergerak dengan segala keterbatasan mereka. Bisa berjuang dengan segala komitmen mereka. Kenapa saya tidak bisa berjuang dengan segala fasilitas yang ada? Rasanya tidak pantas saya mengeluh sakit sebagai alasan tidak mampunya saya melaksanakan amanah. Padahal saudara saya rela berjalan menuju tempat pengajian dengan menahan rasa sakit vertigo-nya.
*tulisan ini sekadar intermezzo di antara tulisan2 saya ^.^ gomen ne
Saat itu bukan lagi masanya jarak tempuh tak dapat dilalui dengan kendaraan. Tapi ternyata itulah yang terjadi: waktu tempuh sangat panjang meski menggunakan motor. Seorang lelaki paruh baya menempuh hutan dan sungai dengan waktu lebih dari 12 jam untuk sampai di tempatnya mengaji. Kejadian ini di belahan bumi Sumatera. Dan ia rutin melakukannya. Apa ia mengeluh? Ternyata ia tersenyum dan menyadari ini konsekuensinya mencari ilmu agama.
Tinggal di pelosok dan harus menyeberang sungai serta hutan untuk bisa mengaji, sungguh perjuangan yang tak bisa dikatakan mudah. Belum lagi terkait dana. Harga bensin tidak murah lagi, bukan?
Kemudian seorang kakek penjual kentongan di Klaten. Semoga saya tidak salah tentang apa yang dijual beliau. Sejak pagi hingga petang beliau berjualan dengan barang yang belum tentu terjual satu per harinya. Ketika rekan saya bertanya kendaraan yang beliau gunakan, beliau hanya menjawab berjalan kaki. Tak tanggung-tanggung, jarak rumah beliau dengan pangkalan sekitar 20 km (atau lebih?). Sedangkan harga kentongan Rp 5000. Apakah beliau kesal?
"Saya hanya mensyukuri nikmat Allah saja," ujar beliau. Ya, beliau bersyukur atas tenaganya dengan bekerja, meski bagi kita itu terlalu menyakiti beliau.
Mereka semua pejuang. Hari ini, saya teringat hal itu karena sebuah kejadian saat pelatihan. Trainer memberi sebuah kasus pada kami.
"suatu ketika kalian mendapat amanah sesuai jobdesc, tapi keadaan sedang hujan deras, petir, angin kencang. Padahal rumah kalian jauh. Apa yang kalian lakukan?"
Saya terkesan dengan jawaban teman saya, "Lihat dulu cuacanya seburuk apa. Kalau tidak terlalu parah semisal gempa, ya saya coba untuk tetap menyelesaikan mandat dengan datang ke lokasi kegiatan dan melaksanakan amanah itu,"
Kenapa saya terkesima? Saya sangat ingat kalimat seorang ketua di organisasi saya dulu, "Saya harap teman-teman bisa datang, dan boleh izin kalau: sakit parah semisal stroke, meninggal, gempa, hujan deras sampai pohon dekat rumah tumbang."
Lucu? Unik? Bagi saya itu sebuah upaya pembangunan komitmen bahwa dalam perjuangan akan selalu ada pengorbanan. Saya tersenyum menyadari hal itu. Mereka saja, dua orang contoh tadi, bisa bergerak dengan segala keterbatasan mereka. Bisa berjuang dengan segala komitmen mereka. Kenapa saya tidak bisa berjuang dengan segala fasilitas yang ada? Rasanya tidak pantas saya mengeluh sakit sebagai alasan tidak mampunya saya melaksanakan amanah. Padahal saudara saya rela berjalan menuju tempat pengajian dengan menahan rasa sakit vertigo-nya.
Perjuangan itu artinya berkorban
berkorban itu artinya terkorban
janganlah gentar untuk berjuang
demi agama dan bangsa
Inilah jalan kita
*tulisan ini sekadar intermezzo di antara tulisan2 saya ^.^ gomen ne
Tidak ada komentar:
Posting Komentar