Yap, kita bersua kembali dalam tulisan saya. Semoga tidak bosan dengan tulisan-tulisan saya, temans. Kali ini saya sangat ingin membahas tentang hati. Entah kenapa. Tapi, hal ini bermula dari kalimat Uchiha Sasuke dalam serial “Sisi Lain Kehidupan” karya saya di sebuah komunitas menulis fiksi.
Sasuke Uchiha, mahasiswa jurusan ilmu sosial dan politik Universitas Oxford, mengatakan pada dosennya, “Menikah adalah cara paling ksatria.”
Kalimatnya tidak semata berdasar angan indah belaka terhadap pernikahan. Karena ia sendiri adalah mahasiswa berbeasiswa di kota Oxford. Dia hanya satu dari kalangan berstatus sosial ‘rendah’: kelas bawah. Dia tinggal di panti asuhan dan mendapat beasiswa karena kecerdasannya. Ia tak mampu memanjangkan angannya terhadap kisah indah pernikahan karena di pikirannya hanya ada kehidupan sosial serta bagaimana solusi menyelesaikan permasalahan yang ada.
Dalam cerita itu, Uchiha Sasuke memiliki rasa cinta terhadap seorang putri Pak Menteri. Tanpa mengharapkan kehidupan indah, ia hanya memandang dari jauh, mencintai dalam diam sang gadis. Ia tak ingin memberi angan indahnya cinta yang terlalu tinggi pada dirinya. Ia menyadarkan dirinya bahwa banyak permasalahan sosial yang harus diurus dibanding seorang gadis yang sangat tidak setara dengannya. Ia hanya berharap memiliki keluarga yang tenteram, tapi kini hanya melihat realita. Ia menyadari sepenuhnya konsekuensi berumah tangga. Kedewasaan Uchiha Sasuke berusaha ditampilkan dalam kisah ini.
Di akhir cerita, ternyata Pak Menteri mengizinkan Uchiha menikahi putrinya. Sebuah keajaiban mungkin, tapi hal itu didahului pengamatan Pak Menteri pada kinerja Sasuke dalam Departemennya.
Kisah Cinderella? Bukan sama sekali. Tapi saya melihat bahwa Uchiha Sasuke mampu memandang pernikahan secara dewasa. Lembaga pernikahan baginya bukanlah sesuatu hal yang diperjuangkan dengan cara Romeo-Juliet, apalagi dihadapi berlebihan layaknya Sampek-Engtay. Uchiha Sasuke memandang pernikahan dalam kehidupannya hanya berjalan dengan izin keluarga sang perempuan. Uchiha Sasuke melihat cinta harus diperjuangkan dengan kedewasaan buila belum terikat pernikahan, bukan dengan pemanjangan angan dan keindahan.
Saya melihat Uchiha Sasuke sebagai ikhwan yang berusaha dewasa memandang pernikahan. Tidak seperti fenomena (maaf) Ketika Cinta Bertasbih yang mewabah di kalangan ikhwan-akhwat—atau sebutsaja pelaku da’wah—di sekitar saya. Saya melihat fenomena ini dimana seorang lelaki akan berkata,”ukht, ane ada minat sama anti. Ane akan menikahi anti. Apa anti bersedia?”
Sang perempuan dengan kondisi psikologinya yang masih labil tentu merasa banyak hal: melambung, bingung, diajak bicara susah nyambung. Akhirnya mereka ‘berproses’ dan berinteraksi layaknya suami-istri. Apa bedanya proses dengan pacaran kalau begitu?
Saya pribadi lebih bangga pada sosok Uchiha Sasuke itu daripada pada ikhwan yang sering nampak memberi perhatian dengan sms, telepon, status, komentar, dan lain-lainnya.
mana cerita aslinya, kok tulisannya sama dg blognya rio?
BalasHapusini tulisan aslinya :)
BalasHapus