Selasa, 21 Juni 2011

Sepotong Kisah Kecil

Senja sudah melewati atap bumi kota hujan ini. Ianya berubah kelam, membiarkan penghuni-penghuni bumi yang kelelahan bersiap naik ke peraduan. Aku masih menunggu mas pulang kerja. Ya, di usia pernikahan yang baru sebulan, juga pindah ke kota hujan baru sebulan, membuatku belum terbiasa dengan lingkungan sekitar, terutama bahasanya yang beda. Tak apalah, toh aku yakin bisa beradaptasi. Terutama karena tetangga di sini ramah dan menerimaku seperti keluarga sendiri.

Sambil duduk di ruang tamu, khayalku muncul, ianya menjejakkan diri pada saat beberapa waktu lalu. Ketika aku dan mas berkunjung ke Jakarta, ke rumah orangtua untuk acara aqiqah keponakanku. Beberapa, tepatnya tiga hari lalu, aku ditelepon beberapa teman dekatku.

=============

"Nggar, tolong lihat apa kuenya sudah siap," ujar mama. Aku yang sedang menyelesaikan tahap akhir menyapu segera berlari ke dapur.

"Iya, ma," jawabku. Aku tersenyum kala kudapati mas Hendra membuka tutup kukusan.

"Sebentar lagi kayaknya," ujar beliau ke arahku. "Sana, lanjutin nyapunya."

Akupun mengangguk menurutinya. Kami sedikit bernafas lega ketika sebagian persiapan sudah selesai.

Tak begitu lama, nada Concerning Hobbit mengalun dari telepon genggamku, menandakan ada pesan singkat masuk ke dalam kotak pesanku. Kuraih ponselku, membaca siapa dan apa isi pesan yang kuterima.

asw. afwan ane gak bisa dtg, ada acara alumni studi islam kampus

Indah, salah satu teman dekatku yang memintaku mengenalkan suamiku melalui acara silaturrahim bersama teman-teman dekat lainnya. Kujawab ok saja karena tak ada minat menjawab dengan hal lain. Aku berdiri, hendak menemui keponakanku yang sedang asyik belajar jalan.

Saat itulah telepon genggamku memperdengarkan lagu kesukaanku, My Answer

Ima, dekinakute mo
Aseranaide awatenaide
Kimi no mai peesu de
Jibun shinjite yukkuri ikeba ii

Tertera sebuah nama di layar datar ponsel candybarku. Hmm, Naifah. Ada apa ya? Segera kutekan tombol berwarna hijau dan kutempelkan ponselku ke telinga kanan.

"Assalamu'alaikum," ucapku. Dan jawaban salam kudengar dari suara renyah Naifah.

"Wa'alaikumussalam, Nggar. Afwan nih, ane nggak bisa karena ada agenda alumni sekolah. Mungkin lain kali silaturrahimnya dijadwalkan lagi. Tolong diatur aja, ya, disesuaikan sama jadwalku," ucap Naifah. Eh? Kok begini?

"Oh, ya udah. Nggak apa-apa. Toh yang minta diadain silaturrahim kan kalian," sahutku ketus sebelum mengucap salam. Mas Hendra yang lewat di depanku segera menghentikan langkahnya.

"Galak amat, Dek," tegurnya lebih bernada tanya. Aku bukan menghampirinya tapi segera duduk di sofa biru. Wajahku mungkin jelek sekali karena aku sedang tidak tersenyum.

"Sebel, Mas. Dia yang minta ketemu tapi tadi kayak seolah-olah adek yang minta," jawabku masih dengan nada yang tak ramah. Tak perlu waktu lama untuk menyadari keberadaan suamiku di sisiku.

"Udah, udah. gitu aja marah, ngambek. Nggak keren, ah. Tuh, dilihatin sama Andri," ucap Mas Hendra sambil menunjuk Andri dengan kepalanya. Keponakanku yang tadi belajar jalan itu kini duduk menghadapku sambil memanyunkan mulut mungilnya dan menggembungkan pipinya, seperti mengikutiku. Ah! Harusnya aku sadar dan ingat bahwa dia peniru ulung. Segera kubentangkan tanganku dan Andri merangkak cepat menghampiriku. Hup! dia kini ada di pangkuanku.

"Ini sudah ke sekian kali, Mas. Adek sering dalam kondisi begini," aku memulai cerita akan kekesalanku. Kulihat Mas Hendra mengangguk sambil bermain dengan Andri. "Dia yang minta, tapi cara membatalkan permintaannya seolah kita yang meminta awalnya. Berkali-kali adek tegur, secara lembut sampe ketus kayak tadi, belum juga berubah. Adek kesel, Mas."

Mas Hendra beralih dari Andri ke arahku. Matanya sebisa mungkin menatapku.

"Adek sudah ingatkan dia?"tanyanya. Melihatku mengangguk, ia melanjutkan,"ya sudah. Toh rugi juga kalau kita kesel sedniri, kan? Tugas adek cukup sampai mengingatkan. Gitu, kan? Selanjutnya terserah dia. Toh kita nggak bisa paksa seseorang kayak yang kita mau," dan wajahnya mendekat. Eh?

Segera aku menunduk, berusaha menyembunyikan rona di pipiku. Aku malu membayangkan adegan selanjutnya. Haduh, Mas Hendra malah memegang daguku. Ia menunduk dan...cup!

"Kamu ngalangin aja, kan aku mau cium Andri," ujarnya santai usai mencium pipi Andri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar