Kamis, 16 Juni 2011

Suatu Siang di Ruang Terang

"Katakan pada saya apa yang kalian tidak senangi. Atau sebuah ketidaknyamanan. Saya ingin kita semua terbuka." lelaki berjanggut tipis itu berucap pada stafnya. Arwin, si lelaki berjanggut tipis, sedang berada dalam kondisi pasca rapat pekanan tim redaksi. Segera Shinta mengangkat tangan kanannya.

"Saya tidak nyaman dengan Bapak. Saya merasa tegang meski Bapak mengajak kami bercanda." ujar Shinta lugas. Hening. Sesekali terdengar bisik-bisik. Arwin adalah lelaki yang sangat menjaga wibawanya. Ia tak menyangka akan mendapat kalimat itu.

"Ada lagi? Atau hanya satu?"

"Saya juga," lelaki bernama Ridwan yang dikenal santun dan rendah hati itu mengacungkan tangannya. "Saya merasa tidak nyaman dengan jarak yang Bapak buat."

Mungkin mereka masih belajar dalam kehidupan kerja sehingga idealisme mahasiswanya dahulu masih terbawa. Mungkin Arwin terlalu menjaga wibawanya sehingga terkesan mebuat jarak terhadap stafnya.

"Fahim. Bisa jelaskan semua ini?" tanya Arwin. Menurutnya, Fahim adalah orang yang netral di antara ia dan stafnya. Fahim juga orang yang dituakan dan didengar oleh sebagian staf pemula seperti Ridwan dan Shinta, meski mereka lulusan tahun yang sama.

"Saya yakin, Pak. Ridwan dan Shinta sama seperti saya, baru belajar di dunia kerja. Kami masih perlu bimbingan untuk mengenal dunia kerja. Tapi, mungkin gaya Bapak juga mempengaruhi penilaian kawan-kawan. Ada baiknya kita minta contoh dari Shinta atau Ridwan atas ungkapan mereka," jawab Fahim usai berpikir sejenak. Arwin mengangguk, meminta Shinta dan Ridwan mengajukan contoh sikapnya.

"Bapak itu lebih...meng...menilai si A ini salah, padahal belum tentu," ucap Shinta.

"Maksudnya?"

Shinta menatap Fahim. meminta dukungan akan kata-kata yang mungkin bisa Fahim keluarkan. Fahim coba mencerna maksud Shinta sehingga ia akhirnya bisa menerjemahkan secara verbal maksud Shinta.

"Maksud Shinta, Bapak sering menjustifikasi seseorang. Padahal kan belum tentu baik bila diceritakan di depan orang. Dan Bapak mencoba menjaga jarak dengan orang-orang yang Bapak lihat salah," Fahim mencobanya disertai anggukan Shinta, juga Ridwan.

"Jadi kamu bilang saya asal menghakimi orang? Ada faktanya kan?" nada Arwin mulai meninggi, membiarkan suasana di ruang rapat memanas. Shinta menggenggam tangan Fahim yang kini menjadi fokus bola mata Pak Ridwan. Oke, kini Fahim adalah orang yang kurang disukai Ridwan akibat ucapannya.

"Saya sekadar mengkl...."

"Kalau benar, kenapa takut? Toh kita belajar di sini," ujar Ridwan. Fahim dan Shinta memilih diam.  Bagi mereka, menjawab Ridwan hanya akan memperpanjang kemarahannya yang tiada ujung pangkal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar