Rabu, 23 November 2011

Inilah Cinta Kita

Ada fenomena yang sedang saya lihat di depan mata, sebuah fenomena yang sebenarnya kisah lama, pemikirannya lama, tapi orang-orangnya saja yang baru. Yep, itu adalah pernikahan beda harakah. Dan saya mengalaminya, dengan awal, tengah, dan akhir yang (insya Allah) bahagia dalam ridhoNya ^_^

Oke, saya dulu gerah, marah, bila ada yang protes atau mempertanyakan (ingat, ya, beda dengan menanyakan) kenapa bisa saya mau dinikahi lelaki beda harakah? jawaban saya enteng saja, tidak berubah sampai sekarang: Allah yang mempertemukan. Naif? Atau...menganggap enteng? Ah, nggak juga.

Oke, oke, sebelumnya, kita bahas apa itu harakah. harakah itu bahasa arab yang artinya gerak/pergerakan, dan di Indonesia contoh harakah itu: tarbiyah (PKS), HTI (hizbut tahrir Indonesia), Jamaah Tabligh, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dll. Pergerakan-pergerakan ini punya pemikiran sendiri terkait menjalani kehidupan dalam bingkai Islam. Alhamdulillah masih sesuai dengan AlQuran dan Sunnah. jadi, harakah-harakah ini aman-aman aja untuk diikuti, dan mestinya bisa sinergis menyebarkan Islam di Indonesia. Insya Alalh, amiin.

Terus, kenapa ada keharusan nikah seharakah? Ah, sebenarnya nggak harus kok. cuma, namanya udah ikut organisasi, ada yang merasa loyal dan pengennya nikah yang seharakah sebagai salah satu loyalitasnya ke harakah itu. Wajar? Hmm, menurut May itu selera, ya. Wajar nggak wajar juga. No comment pokoknya (Lho, barusan ngapain? :D)

Dulu May juga pengen nikah seharakah, khususnya waktu May lagi terjun ke politik kampus. Beuh, bebannya nggak enteng mengingat May akhwat sendiri di tengah-tengah pemimpin ikhwan. Saat itu May berharap ada lelaki yang sepergerakan sama May biar ada yang ngasih contoh ke May secara intens tentang politik ini. Ya, May masih berpikir nikah adalah salah satu cara May mendalami ilmu yang May pelajari. *Dan itu masih berlaku sampai sekarang dalam konteks yang berbeda.

Akhirnya ikhwan (lelaki dalam istilah arab) itu datang, memberi update tentang kebijakan-kebijakan harakah kami, menyemangati May, dan akhirnya, he did nothing for me. Yepyep, dia cuma bicara, bicara, dan bicara. May berpikir, kok kayaknya May nggak bisa ya hidup sama orang yang cuma bicara? May sendirian lagi. Eh, nggak ding, namanya harakah ada jamaah (kelompok), jadi May sama teman-teman deh.

Seiring waktu, May melihat fungsi politik ke ranah sosial makin jarang disentuh teman-teman. Hmm, May mundur. Kalau dulu May bergabung untuk jalan May terjun di ranah sosial, kini May harus pergi untuk tetap di ranah sosial. Tapi May masih ada dalam harakah itu untungnya, jadi tetap ada yang ngingetin terkait Islam. 

Suatu hari, laki-laki yang nggak asing datang di kehidupan May, tanpa May tahu latar belakang harakahnya apa. Saat itu may sudah nggak ambil pusing soal harakah karena memang sejak awal May menghormati semua harakah yang memegang Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman organisasinya. Proses syar'i kami jalani, dan kami menikah. Sebelum nikah kami juga tahu harakah masing-masing, namun kami tak mempermasalahkannya.

Jelang Nikah
Jelang nikah, ada sebagian teman-teman perempuan tarbiyah yang grusak-grusuk karena ketika mereka tanya calon suami May DPRa mana, may malah jawab beliau ikhwan HTI. Bertanduklah sebagian, hehe. Sedih? pasti. Sedih karena teman-teman masih mempermasalahkan harakahnya, bukan akhlaknya. Tapi May juga ngeh, mungkin itu bukti sayang mereka ke May, khawatir May tersakiti kelak. Tapi May lebih percaya bahwa beliau tahu bagaimana suami dalam keluarga muslim harus bersikap (amiiin)

Pasca Nikah
Tantangan yang baru pun datang. Teman-teman menanyakan bagaimana dukungan suami pada dakwah May. May jawab, mendukung, malah beliau yang mendorong May ikut kegiatan-kegiatan harakah May. Terus mereka kasih saran supaya May ngajak suami masuk ke harakah May. Astaghfirullah, masa iya harus begitu? Buat May, selama masih berpegang Al-Quran dan Sunnah, it's fine.

Dan sekarang, May bisa bilang, proses tiap orang itu berbeda, selama masih di jalanNya, nggak usahlah diperdebatkan dan dijustifikasi dengan pandangan negatif. Apalagi kalau yang komentar itu belum mengalami pernikahan, jangan terlalu sempitlah memandang segala sesuatu. Bila seleranya begitu, ya sudah. Ndak perlu melihat orang lain buruk hanya karena beda pandangan atau selera dengannya.

May jabarkan kondisi keluarga May, ya ;)
suami May HTI, perantara kami Salafy, Bapak mertua May Salafy, Ibu mertua May Muhammadiyah, Kakek May Naqsabandiyah, May Tarbiyah, orangtua May Hanif meski bapak May kerja di syi'ah. 

Dan kenapa May pilih nikah beda harakah? May cuma bisa jawab, Allah yang mempertemukan kami ^_^

4 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wr.wb..
    Mb, mau tanya, nikah beda harakah,khususnya tarbiyah dan hti selain beda jama'ah,politik, dan metode dakwah, ada perbedaan yg lain g, misal dlm menyikapi urusan2 yg lain?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak, satu visi dan misi itu kuncinya kok

      Hapus
    2. Bagaimana dlm mendidik pemikiran anak. Apa nanti mereka tdk bingung memilih harokah?

      Hapus
    3. nggak, mbak. suami saya malah ingin Kinan belajar sesuai arahan tarbiyah ^_^

      Hapus