Rabu, 11 Januari 2012

[cermin] Kau Tahu?


“Kau tahu?” suara lembut yang berasal dari perempuan bernada interogatif. Ya, seorang perempuan berjilbab dengan model manis sedang menggumam. Tepatnya menggumamkan sebuah tanya pada lelaki di sebelahnya. Tak seperti biasa, perempuan itu bertanya dengan mata yang lurus menatap ke depan, bukan ke sampingnya di mana ada lelaki itu. Seolah ia bertanya pada angin.

Lelaki itu masih berusaha mencerna gumaman tadi. Apa perlu dijawab atau tidak. Sementara teras gedung perkuliahan mereka tidak seramai beberapa waktu lalu. Hanya satu-dua mahasiswa saja yang melewati mereka.

“Aku pernah memiliki teman lelaki. Nyaris sepertimu,” lanjut perempuan itu, melanjut pertanyaannya tadi. Nadanya masih lembut, tapi datar. Ya, lelaki itu menyadari bahwa perempuan di sampingnya ini memiliki nada datar dalam suaranya. “Tapi ia tak berkulit putih. Ia berkulit coklat tua seperti lelaki kebanyakan. Wajahnya manis bagi kebanyakan perempuan.”

“Tak sepertimu yang sulit melihat lelaki kan?” sang lelaki menyahuti. Terdengar tawa getir dari si perempuan.

“Ya, benar. Aku memang tak memiliki kemampuan untuk mengagumi fisik lelaki manapun, tidak juga padamu. Kau tahu? Aku bahkan tak mengerti kenapa fisik menjadi penting sebagai pemikat lawan jenis.”

Keduanya terdiam lagi. Sang lelaki sedikit melirik ke sampingnya, ingin mengetahui ekspresi wajah temannya. Hanya didapatinya perempuan itu bersila dengan tubuh bersandar di dinding luar kelas. Rania namanya, teman baru yang diketahuinya pendiam. Ia lebih sering mendapati Rania tertidur di kelas atau menikmati buku tebal. Jarang ia berbicara. Sangat jarang. Dan keadaan mereka sekarang baru terjadi akhir-akhir ini. Sejak keduanya terlibat tugas berpasangan.

“Kurasa kau adalah satu keanehan dunia yang pernah kutemui.”

“Anggaplah begitu, Ndre. Ucapanmu mirip ucapannya, temanku itu. Aku kecewa padanya saat itu, Ndre. Dia yang mengajariku agama, dia yang mendisiplinkan ritual ibadahku dan teman-teman, tapi dia juga yang melanggar.” Lagi-lagi Rania meracau. Ah, benarkah ia meracau? Tapi kalaupun meracau tak mungkin serunut ini, bukan?

“Dia melanggar larangannya sendiri untuk menyentuh perempuan dan dunia perempuan dengan kelelakiannya,” Kini Andre, nama lelaki itu, bisa merasakan suara Rania yang tak sedatar tadi. Ada sedikit riak di dalam ucapannya.

“Bagaimana kau tahu, Ran?”

“Dia yang melisankannya. Aku bukan orang yang ingin tahu sesuatu jika aku tak merasa butuh berurusan dengan hal itu. Dan kau..” ucapan Rania terputus. Kini matanya, bukan, lebih tepatnya seluruh badannya bergerak. Tepat menghadap Andre yang sedari tadi duduk di sampingnya. Andre menyadari mata itu kini berani menatapnya dengan ekspresi wajah yang tak dapat ditebak.

PLAKK!!!

“Kau mengulanginya! Aku tak peduli dengan dirimu, urusanmu, baumu! Tapi aku tak rela kaugadaikan agama untuk menebar pesona semu pada perempuan sekitarmu!”

Ya. Pipi putih yang selama ini dibanggakan Andre sudah berubah warna. Warna pembuktian bahwa kulitnya merasakan sakit akibat sentuhan kulit lain. Ia belum pernah merasakan sesakit ini, sakit yang tak hanya di permukaan kulitnya, tapi juga di dadanya. Entah kenapa ketika Rania menyebut agama telah membuat dadanya sakit. Andre tak mengucap apapun ketika Rania beranjak dari duduknya. Perempuan itu berdiri, menjulang di hadapan Andre yang terduduk.

“Tebar pesonamu, tapi tak perlu bertopeng agamamu.”

Gadis itu menjauh, meninggalkan Andre. Hanya teras sepi yang menjadi saksi kejadian tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar