Rabu, 21 Maret 2012

dia: Riana

ini tentang dia. aku dan dia. aku, dia, dan mereka di antara aku dan dia. sudahlah, mentang-mentang aku dosen sastra, lantas tulisanku selalu saja nyastra? tidak juga. kali ini aku akan berkisah tentang dia.

sudah lama aku mendengar namanya di ruang pengajar. nama yang disebut-sebut sebagai mahasiswa cerdas. ehem, itu menurutku. Bagiku, jarang ada nama mahasiswa disebut di ruang pengajar ini karena cerdas. biasanya mereka, ibu-ibu serta bapak sepuh itu, akan menyebuti nama mahasiswa-mahasiswa karena hal negatif mereka. entah nakal, sering bolos, atau tidak memberi penghormatan. Tipikal anak zaman sekarang yang mengalami degradasi moral. Aku sebagai dosen muda hanya bisa mendengar itu semua serta nasehat senior-seniorku itu. Aku harus lebih tegas kata mereka. Tapi tidak. Bagiku canda tawa adalah caraku mendekati mereka.

Sampai kudengar namanya: Riana. Aku belum pernah mendengar namanya hingga semester ini kutahu ia adalah salah satu mahasiswa di mata kuliahku. Tidak istimewa memang fisiknya, wajah orang Indonesia kebanyakan tanpa polesan make up berlebihan--yeah, di kampus ini sebagian mahasiswi berdandan layaknya artis--malah sepertinya ia tak berdandan. Pakaiannya terkesan rapi meski ia berjilbab. Ada kesan ramah kutangkap. Tapi tidak dengan gesturenya. Ia hanya terlihat seperti mahasiswa tenang. Sepertinya seniorku berlebihan menilainya. Mana kesan cerdasnya?

Ah, kudapati nama itu di presensi kehadiran. Riana Maryanti.

"Riana."

"Saya, Pak," jawabnya mantap.

"Kenapa pekan lalu tidak masuk?"

"Maaf, saya baru bisa mendapat kepastian jadwal, Pak,"

Menarik, dan aku ingin banyak berbicara dengannya.

"Kepastian jadwal?"

"Saya mahasiswa pindahan, Pak."

"Oh ya? Pindahan dari mana?"

"Universitas Buana,"

Suaranya menghipnotisku untuk melanjutkan pembicaraan dengannya, hingga akhirnya kurasa sudah harus kuahiri. Meski berat. Ia menarik. Meski sebenarnya tidak cerdas seperti anggapan seniorku. Ah, lagi-lagi mereka.

------------------------------------------------------------

Riana, mahasiswi biasa saja yang mungkin kelebihannya ia ramah serta santun. Itu saja, tak lebih. Dan siang ini kami bertemu lagi di kelas. Ia sepertinya suka sekali duduk di depan. Tapi ia tidak suka mencandaiku seperti layaknya mahasiswi lain. Padahal banyak yang suka mendekatiku.

"Maaf, kalau boleh, saya ingin menjelaskan sesuatu," ucapnya. Baru saja terjadi kegaduhan karena perbedaan pendapat terkait ilmu murni dan ilmu terapan. Hanya beberapa orang yang vokal dan itu bukan termasuk Riana. Tapi kuralat, kali ini Riana akan berbicara. Kita lihat saja ucapannya.

"Silakan," sahutku.

"Ilmu murni ...." Riana menjelaskan dengan lugas dan aku melihat nada bicara lain kali ini. Sebuah nada bicara...nada yang menunjukkan kekuatan dirinya. Dan mataku terhipnotis untuk melihat matanya yang berbinar. Ia menjelaskan dan benar-benar menjelaskan, dengan pancaran wajah yang....cerdas! Ya! Ini dirinya yang disembunyikan! Benar kata seniorku, Riana cerdas.

Setelah itu berkali-kali Riana berbicara dengan pendapat yang..aku biasa menyebutnya brilian. Akhirnya aku pindah posisi untuk berdiri di dekatnya, agar menjadi orang yang pertama kali meresponnya.

----------------------------------------------------

Jam kuliah berakhir dan Riana hanya mengucap terima kasih padaku sebagai dosennya. hanya Riana yang mengucap itu. Ia pergi sementara aku masih di dalam kelas untuk kelas selanjutnya. Mungkin tidak semeriah tadi karena tak ada Riana di kelas berikutnya. Sudahlah.

Kujalani rutinitasku sampai selesai menjelang sore. Mungkin hari ini kudengar lagi tentang Riana di ruang pengajar. Bergegas kuturuni tangga untuk segera mendengarkan tentang Riana.

Hei, siapa gadis yang bersandar di tangga itu? Mirip Riana. Tapi kucoba dekati ia, memastikan.

"Ri?" sapaku. Eh, dia diam saja. Kuamati tangannya memegang buku. Serius membacakah? Seperti siswa cerdas di film-film yang terkesan kutubuku serta cupu?

"Ri?" kupanggil lagi sambil semakin mendekat. Ya Tuhan, dia tidur! Anak aneh, bisa tidur di tangga. Tapi aku suka wajahnya saat tidur, meski dalam posisi duduk begini. Aku berjongkok di sebelahnya, untungnya sedang sepi, jadi tak ada yang memergokiku mengamati wajah tidurnya.

Wajahnya manis juga kalau sedang tidur. Andai aku berhak menyentuhnya. Perempuan cerdas yang menutup diri dari laki-laki manapun, perempuan cerdas yang tadinya kupikir hanya ramah saja. Perempuan cerdas yang...kusuka.

Ah, ia bergerak. Segera aku berdiri, khawatir ia tahu aku mengamatinya.

"Ri," ucapku seolah baru datang.

"Eh Bapak," sahutnya.

"Nggak kuliah lagi?" tanyaku.

"Menunggu jadwal pukul 3 Pak," jawabnya.

"hei, kan saya sudah bilang, di luar kuliah jangan panggil Pak, toh kita beda cuma 6 tahun, kan?"

"hehehe, tapi ini masih di wilayah kampus, Pak. Masih sungkan saya," jawab Riana lagi. mulai deh dia berargumen yang tak ingin kubantah lagi.

"Sudahlah, terserah kamu," ucapku diiringi tawanya. Akupun melangkah pergi.

"Pak," panggilnya yang berhasil menghentikan langkahku.

"Ya?"

"lain kali kalau ngeliatin orang tidur minta izin dulu, ya," ucapnya lagi sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi, putih. Bahasa sederhananya nyengir. Apa!? Jadi dia tahu kalau aku mengamatinya? Segera kurasakan adrenalinku bertambah kecepatannya, badanku, tepatnya wajahku jadi memanas.

"Apa maksud kamu?" tanyaku lagi sambil mendengus.

"Hehehe, muka Bapak lucu kalau merah gitu," jawab Riana lagi.

"Memangnya dilarang ya mengamati wajah orang yang disukai?" tanyaku akhirnya kemudian pergi menjauh darinya. Biar saja, barusan aku mengungkap perasaanku. Tak peduli reaksinya seperti apa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar