Rabu, 02 Januari 2013

Kinanthi: Bukan Sekadar Hadiah

Tak ada yang menyangka bayi mungil itu akan hadir sebagai anakku. Ya, semua tergariskan sebagai takdirNya, bukan? terlebih, Kinanthi--namanya--sebelumnya dikabarkan dalam kondisi gawat akibat ketuban yang pecah sebelum waktunya. selain itu, ia terlilit tali pusar sehingga ketika dokter berasumsi ia kekurangan oksigen dalam kandungan akibat lilitan tersebut.

Semua bermula ketika 20 Desember kurasakan ada cairan merembes dari jalan lahir keluar. ketika kutanyai sepupu yang berpengalaman, katanya itu tanda wajar. Kemudian mulas-mulas yang kupikir kontraksi palsu hadir puluhan menit sekali. Malah, suamiku pulang cepat demi berjaga kalau-kalau terjadi apa-apa denganku. Saat itu aku hanya tahu bahwa belum ada apapun pertanda bersalin. Suamiku memutuskan untuk cuti meski aku masih merasa kuat dan hanya merasakan kontraksi palsu. ya, masih kupikir itu kontraksi palsu.

sehari kemudian, kontraksi itu semakin sering hadir, malah kubawa-bawa selembar kertas dan pulpen untuk mencatat jarak serta lamanya kontraksi. ponsel tak lupa juga sebagai penanda waktu. Sepupuku mulai mengontrol via ponsel keadaanku dan memberi arahan-arahan seperti: minum air putih lebih banyak, makanan juga lebih banyak, bahkan waktu mandi juga diperhatikan olehnya.

Semakin malam, aku semakin tak sanggup bergerak. dan hanya bisa berada di tempat tidur dengan kegiatan: mulas-mulas. setiap kali terasa mulas, Mama maupun suamiku mengelus bagian pinggang belakang. Benar, hal tersebut cukup membantu. Tak lupa suamiku mebekali tasbih di tanganku. Untuk apa? sebagai alat menghitung zikir saja. Ya, aku berzikir padaNya dan kurasa saat seperti inilah manusia mengingatNya. Ironis, padahal Dia selalu mengingatku. Maaf, Allah, aku hanya ingat diriMu di saat sulit.

Pukul 11 malam, sekitar itu, aku disodori makanan. ya, sate madura. mungkin Mama, Bapak, dan suamiku melihatku kelaparan. entah. padahal yang kurasa saat itu adalah sakit di pinggang. Tapi tetap kulahap makanan itu. Selesai makan, segera kutidur lagi. Ya, tepatnya tiduran dengan rasa mulas sebagai pengiring.

Teriakan demi teriakan muncul dari mulutku. Sepupu segera datang dan membantuku, memotivasi dengan panduan-panduan. Take a deep breath, katanya, dan itu kucoba lakukan di tengah sakit yang mendera.

Bapak yang tak tega melihat kondisiku segera memanggil taksi, membawaku ke rumah sakit.

"Pak, Saroh bisa bertahan sampai pagi kok," ucap Mama menentang keinginan Bapak.

"Sekuat apa, Ma? Lihat dia udah teriak gitu, dia nggak sekuat yang lain," sahut Bapak. Sementara suamiku masih menggenggam tanganku, membimbing untuk bernapas dalam, berzikir, dan menguatkan diri.

Bapak menang, kami ke rumah sakit di malam itu. Ah, aku baru tahu itu pukul setengah 4. Segera aku dipapah menuju tempat tidur di ruang UGD untuk diberi tindakan.

"Maaf, Ibu, kita periksa dalam, ya," kata salah satu suster di UGD. Aku hanya menurut saja.

"Baru kali ini nemu yang jalan lahirnya miring begini....oh, Bu, sudah bukaan 6," lanjut suster itu. "Ketubannya udah keluar ya Bu?" tanya suster lainnya. Aku terkejut dan menjawab ketidaktahuanku. Ternyata cairan yang kurasa keluar kemarin itu adalah ketuban. Terbayanglah kondisi janin yang gawat karena ketuban sudah pecah duluan. Suamiku terus saja menyemangati. Dan akhirnya aku dibawa ke ruang bersalin.

Kulihat lelaki berbaju kotak-kotak itu sigap mendorong trolly yang terisi badanku. Ya, suamiku membantu pak satpam membawaku ke ruang bersalin. Kupikir sudah waktunya aku akan bertemu Kinanthi.

Sampai di ruang bersalin, dua bidan menyambutku dengan berbagai pertanyaan dan panduan terkait napas dalam. Ah, rupanya belum saatnya bersalin. Aku masih harus menunggu bukaan lengkap, sepuluh. Tapi, mulas-mulas ini benar-benar tak tertahankan!

Setidaknya aku beruntung bahwa lelakiku menunggui dengan motivasinya.

Mulas semakin kuat dan suamiku terus saja menyemangatiku. "Zikir terus, kamu kuat. Sebentar lagi kamu jadi mama," ujarnya.

"Nggak kuat, Mas, sakiiit..." rintihku. Bidan memandu agar aku tak mengangkat tubuhku saat terasa mulas. Hal itu bukan sesuatu yang mudah karena mulas itu mendorongku untuk mengangkat badan. Ya, di sini suamiku terdengar sangat berisik menyemangati. Hingga sepupuku datang dan memandu untuk bernapas dalam dan mengikuti panduan bidan.

"Sebentar lagi pembukaan lengkap, kok," kata sepupu.

"Tapi, Mbak, Mas Dian berisiiiik," keluhku. Saat itu ak kesal karena baik sepupu maupun suamiku malah tertawa mendengar keluhanku. Hingga akhirnya bukaan lengkap dan persalinan dimulai.

Bidan-bidan dan dokter masuk ke ruang bersalin, menyiapkan alat. Sementara itu, kulihat ada satu Bidan yang akhirnya kuketahui namanya Bidan Yeti, memberi arahan untuk mengejan.

"Iya, pintar. Dihitung, ya," kata Bidan Yeti. Melihatku yang sudah kesulitan dipandu akhirnya beliau melanjutkan, "terserah Ibu deh mau ngedennya gimana, hehe" ucapnya bernada lelucon.

Aku berusaha mengejan sesuai panduan bidan dan sepupu sementara tanganku digenggam suami. Ya, lelakiku meski sudah kupukul dan kutampar saat kontraksi tadi, masih setia menemaniku.

Setelah mengejan dua kali, bidan menyuruhku mengejan bawah.

"Mengejan bawah itu gimana?" tanyaku. orang-orang di ruangan itu tidak bisa menahan tawa atas pertanyaanku. Saat itu aku tidak kesal lagi karena aku tak merasa harus menahan lagi saat kontraksi.

"Kalau Ibu mengejan seperti mau buang air besar, itu mengejan bawah," kata bidan.

Akhirnya aku mengejan lagi dan suamiku yang katanya takut darah itu menyemangati, "Kepalanya udah kelihatan, kepalanya udah kelihatan."

"Permisi," kata mama mendadak masuk ruang bersalin.

"Yaah, masuk lagi," lanjut suamiku. Yap, kepala bayi kami masuk lagi mendengar suara Mama -__-!

Para tenaga kesehatan meminta Mama keluar ruangan dulu dan kami melanjutkan persalinan yang 'tertunda'.

"Iya, bagus....tahan," ujar dokter. Saat itu aku melihat sesosok mungil bayi di tangan suster.

"Waaah, alhamdulillah..cewek," kata suster itu. Semua sakitku hilang saat mataku menatap bayi dalam gendongan suster. Segera ia dibersihkan dan diberikan padaku untuk melaksanakan metode Inisiasi Menyusu Dini.

Suamiku yang kuyakin sangat bahagia itu meminta izin untuk mengazani dan iqamat di kedua telinga Kinanthi.

Bidan Yeti berkata pada Mama, yang kemudian disampaikan padaku hal berikut:

Ibu Maesaroh tidak mungkin bisa melahirkan secara normal kalau dilihat dari rekam medisnya. Terlilit tali pusar, plasenta previa marginalis, ketuban pecah dini, dan sempat terjadi pembengkakan karena saat kontraksi tadi. Hanya mukjizat saja yang bisa membuat Ibu Maesaroh melahirkan secara normal.

Kinanthi, proses persalinannya adalah berkah Allah, aku yakin itu. Kelahirannya di 22 desember 2012 lebih dari sekadar hadiah bagiku, bagi kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar