Selasa, 07 Januari 2014

Shinkenger: Suki

Sudah setahun berlalu sejak Doukoku (ketua Gedoshou) dikalahkan. Aku kembali ke desa, kembali bekerja di toko seruling. Kakak juga mulai membaik keadaannya, pagi ini ia sudah kujemput dan sekarang di rumah. Meski setahun lalu aku dan empat Shinkenger lain berjanji hadir bila Dono-sama panggil, tapi sampai saat ini tidak ada panah atau panggilan apapun. Semoga saja dunia aman dari Gedoshou. Ya, meski tak kupungkiri aku merindukan kebersamaan dengan mereka. Khususnya, dia.


"Ah, Hanaori-san. Terima kasih, aku ingin mulai belajar meniup seruling," ujar seorang perempuan. Wajahnya anggun, cantik, sikapnya lembut. Sangat bangsawan. Tapi, aku heran kenapa ia tinggal di desa kecil ini, bersama suaminya yang sedikit garang meski perhatian. Ah, mengingatkanku padanya. Dia yang terkesan angkuh, sombong, selfish tapi ternyata begitu perhatian pada kami, prajuritnya.

"Panggil aku Kotoha saja, Ahim-san,"jawabku.'Ah iya terima kasih sudah membeli seruling di toko kami," lanjutku lagi sambil sesekali mengawasi suaminya yang agak mengkhawatirkan itu. Bagaimana tidak khawatir, ke mana mana bawa pistol dan pedang.

"Iya. Tapi kau jangan panggil Ahim-san, hehehe..." ucap Ahim masih dengan anggun, hingga cara tertawanya.

"Sudah, cuma aku yang boleh memanggilmu Ahim-chan. Dasar perempuan, ribet gitu aja, mau manggil pakai tolak-tawar," celetuk suaminya. Kamisama, sosok coolnya hilang seketika.

"Marvelous-kun, itu tidak baik. Maaf, ya, Kotoha-chan," Ahim menatap suaminya lagi.

Dan melihat mereka, aku semakin rindu padanya.

'Kami pamit dulu, Kotoha-chan," ujar sepasang suami istri itu sambil melambaikan tangannya. Aku membalas mereka dan bersiap menutup toko. Hari sudah sore dan aku harus menutup toko. Laporan keuangan mingguan dilakukan tiap Sabtu dan itu besok. Oke, kukunci toko dan bergegas pulang, tak sabar menemani Kakak.

Sepanjang jalan pulang, langit sore menjadi temanku. Mentari senja yang mulai nampak  menerpa wajahku sehingga aku tak merasa begitu dingin di desa kaki gunung ini. Ya, hanya sendiri melewati jalan pulang. Tapi aku tak takut. Berkat latihan di kediaman Shiba setahun lalu, aku jadi berani dan kuat bila ada orang jahat.

"Hmm..." ujar seseorang. Sebuah suara yang mengalihkanku dari pemandangan senja. Aku menoleh dan mendapati seorang lelaki bertubuh proporsional di depanku, hanya beberapa meter. Ia bersandar di dinding pinggir jalan, berkemeja abu-abu serta jeans biru muda. Tak lupa dengan kedua tangan yang sedekap. gaya khasnya. Kualihat wajahnya dan...dia?

"Lama tak jumpa, Kotoha," ujarnya. Aku segera bergegas menghampirinya dan mengembangkan senyum.

"Dono-sama," sahutku memanggilnya.

"Hei, aku kira kau tak akan menggunakan panggilan itu lagi. Aku benci panggilan itu," protesnya. Ah, wajah kusut karena kesal itu kulihat lagi. Aku rindu. "Panggil Ta-ke-ru."

"Hehehe, Do..."ucapanku terpotong karena jari telunjuknya sudah menyentuh bibirku.

"Ta-ke-ru."

Aku hanya bisa diam dengan perlakuannya, dengan ucapannya. Dia tiba-tiba datang dan bersikap begini.

"Ta.."

"Ya?"

"Ke.."

"Hehem"

"Ru..sama" ucapku terbata. Kulihat ia mulai berdiri tegak, tidak lagi sedikit membungkuk. Eh, tadi aku belum bilang dia membungkuk ya? Dia sedikit membungkuk agar jarinya bisa menghentikan ucapanku.

"Hhhh...lumayanlah. Ayo, pulang." Dia berjalan di depanku, sementara aku masih terdiam. Pulang? Apa ini... "Kenapa diam?"

"Apa...ini panggilan tugas? Ada Gedoshou lagi?"tanyaku. Lelaki itu menghampiriku.

'Aku bilang pulang, ya, pulang. ke rumahmu." ujarnya lagi menjawab tanyaku seraya menggamit tanganku.

"Eh? Do..Takeru-sama. Tanga.."

"kenapa? Apa dilarang menggandeng tangan orang yang kusuka?"

Mataku membelalak dengan ucapannya barusan.

"Ap...apa!?"

"Kenapa bengong? Eh, malah berhenti."

"Tapi...tadi..."

Takeru-sama diam. Ia berjongkok di depanku, tak kusangka kedua tangannya meraih kakiku.

"pegangan, kugendong juga kau. Lamban," ujarnya.

"Hiyaaaa...." teriakku. "Takeru-sama, lepas."

"Berisik. Hikoma-san sudah menunggu."

Akhirnya aku menurut. Diam saja sepanjang perjalanan. Berusaha mengatur detak jantung yang sangat-sangat cepat karena ulah atasanku ini.

"Takeru-sama." panggilku di tengah jalan. Aku masih di gendongannya. Punggungnya sangat dekat, ada di depanku. Dulu, Chiaki yang menggendongku. Tapi itu murni karena aku sakit.

"Hem?"

"Tadi itu..."

"Apa?"

"Ah, tidak..."

kami diam lagi setelah beberapa detik bicara. Mentari senja menjadi latar kami.

"Kotoha." Akhirnya ia memanggilku.

"Ya?"

"Boleh, kan, aku suka padamu?" tanyanya lagi. Aku tersenyum sambil mengangguk.

"Iya."

"Terima kasih."

"Terima kasih, Takeru-sama," ucapku.


-------------------------------END--------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar