Kamis, 25 Februari 2010

Semua Juga Belajar, kok, Din

Lalu lalang kendaraan bermotor tidak begitu terdengar dan tampak di depan mataku. Ya, rumah kami—aku dan suamiku—ini terletak di dalam gang pinggiran jakarta, tepatnya di tengah antara jakarta—depok.

Aku asyik mengepel kini, sebuah rutinitas yang biasa kujalani sejak tanganku mulai mampu memegang kain pel. Tapi kini aku tidak menggunakan selembar kain pel lagi, suamiku—yang baru beberapa hari menikah denganku—berbaik hati membeli ‘sumbu’ bergagang besi sebagai alat pel.

Huff. Ruang depan sudah selesai. Kini saatnya ke ruang tengah yang besarnya hampir sama dengan ruang depan, yaitu 3x4 meter persegi. Kulirik benda yang kadang dapat kudengar bunyinya itu, sebuah jam bersisi bundar dengan warna kombinasi biru dan putih. Jarum pendek jam tersebut menunjuk pada angka 4, sementara jarum panjangnya menunjuk pada angka 11. masih ada waktu, batinku.

Segera kubersihkan lantai dengan alat pel. Ruang tengah, mushola, perpustakaan, kamar tidur, dapur, kujelajahi dengan alat pel setia. Sesekali berita sore terdengar dari radio mungil satu-satunya di rumah ini. Kadang mulutku ikut mengomentari berita yang disampaikan suara penyiarnya.

Saat di dapur, kulirik tudung saji di meja makan. Tersenyum geli saat kuingat acara masak heboh yang tadi kulakukan. Ah! Tidak ada waktu lagi! Sudah hampir jam setengah lima dan aku harus selesai merapikan semua bagian rumah ini, termasuk diriku, sebelum suamiku pulang. Ia pasti lelah dengan tugas mengajarnya. Kubersegera mengepel inchi demi inchi lantai di dapur.

Agak berjingkat kulewati lantai yang masih agak basah itu, menuju kamar mandi dengan membawa seember air bekas acara mengepelku.


*^*^*^*^*^*^*^*^**^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^**^*^*^*^*^*^*^*^

“Din, assalamu’alaikum,”suara suamiku terdengar dari balik pintu rumah. Masya Allah! Kok aku tidak mendengar deru motornya? Segera kualihkan mataku dari film asia di ruang tengah, bergegas menuju pintu depan.

“wa’alaikumussalam,” jawabku sambil membukakan pintu.

Seperti biasa, ritual pulang kerja kami lakukan. Cium tangan—sempat kuberpikir kami seperti anak dan ayah—di depan pintu, membawakan tas kerjanya yang akan kutaruh di perpustakaan. Tapi kali ini ada satu ritual tambahan.

“Mas, kok..nggak ada bunyi motor?” tanyaku sambil melongokkan kepala ke belakang suamiku, mencari si roda dua.

“Hei, hei. Kamu, tuh. Suaminya pulang kok yang dikhawatirin malah motornya,” jawab suamiku. Sebenarnya di telingaku itu bukan jawaban. Segera cengiran khas meminta maaf kutunjukkan padanya.

“Waktunya pengecekan, jadi tadi kubawa ke service center aja.” Lanjutnya lagi. Yaa, nggak bilang-bilang. Aku hanya mengangguk-angguk saja.

“Boleh masuk?” tanyanya kemudian. Semakin lebar saja cengiranku.

“Maaf, maaf. Silakan masuk, Tuan Ridwan,” jawabku kemudian.

TUK! Dia menyentil keningku. Kuusap keningku yang sedikit sakit.

“Anak kecil,”

“Kok kayak Tsunade sih?”

“Kalau kamu cerewet gitu, kapan aku masuk?”

Segera ia melewatiku, menuju ruang tengah. Kubawa tasnya ke perpustakaan sekaligus ruang kerjanya. Lelaki berkemeja biru dengan celana hitam itu segera memindah saluran televisi, entah mencari apa. Agak hening sebentar, hanya suara televisi yang terdengar, hingga...

“Makan, yuk, Din,” ujar suamiku santai. Ya, pasti kegiatannya di luar seharian ini membuatnya lapar. Segera kuiyakan dan kudului ia ke dapur. Di lemari, selusin piring biru menjadi pemandangan pertamaku saat hendak mengambil alat makan. Kuulurkan tanganku, mengambil dua piring.

“Makannya sambil nonton tivi, ya,” sambung suamiku. Aku hanya mengiyakan. “Masak apa?”

Tanpa mengalihkan mata dari tempat nasi, aku menjawab,”Dadar telor, sayur bayam, sama goreng tempe tahu.”

“I see..pasti enak, ya?”

Aku diam. Dia tahu aku belum terbiasa memasak. Semasa gadis, mama yang selalu memasak di rumah. Aku mengerjakan hal lain di dalam rumah. Ya, aku memegang semua pekerjaan rumah, kecuali memasak. Oke, ralat. Sebagian besar, bukan semua.

“Yuk, makan.”

Berdua kami ke ruang tengah, menonton acara pilihannya. Jam setengah 6 begini, biasanya acara berita.

Suapan pertama, aku menyuapkan sayur bayam dan nasi dari sendok ke mulutku dengan santainya. Sementara suamiku sudah lahap makannya sambil berkata ‘enaak’ di suapan awal. Semangat sekali dia. Laparkah?

Hmm...Hmm? rasa apa ini? Seperti bukan sayur bayam. Agak mirip...agak mirip...ah, ini rasa apa ya? Bukan asin, tapi...aneh...

Kusendok telur dadar. Mengunyahnya hampir sama dengan memasukkan seperlima sendok makan garam ke mulutku. Asin! Kutatap suamiku yang lahap makannya.

Perlahan mataku memanas. Pandanganku mengabur, mataku tertutupi cairan yang akhirnya tumpah. Tak tahan, aku berlari ke kamar, menumpahkan tangisku.

“Din?”

Tak kupedulikan panggilannya. Kukira sore ini akan menjadi hari menyenangkan. Tapi, aku merusaknya dengan masakan gagalku. Lalu? Tadi..tadi dia bilang enak itu...mengejek atau apa? Kenapa tidak jujur?

TEP! Kurasakan ada yang menyentuh bahuku. teringat kisah hororku waktu kecil, jantungku berdetak sangat cepat, tepat seperti masa kecil saat kulihat jin warna putih itu. Rabb, aku sedang sedih, kenapa Kau izinkan aku melihat hal menakutkan?

"Kyaaa!!!" teriakku, terputus karena sesosok tubuh membenamkan kepalaku ke badannya. Ya, suamiku merengkuhku, membiarkanku menangis dalam dekapannya. Tak berkata-kata ia, hening sejenak. Hanya isakku yang terdengar.

“Nggak usah nangis,” ujarnya. “Tiap orang kan pernah ngerasain tahap belajar,” lanjutnya lagi. Perlahan isakku tidak sehebat tadi. Air yang keluar dari mataku tidak sebanyak tadi. Tapi masih mengalir.

“Ha..habis...masaka..”

“Udah, udah...nggak apa-apa kok,”

“Tapi..mas kan capek...laper...”

“Udah nggak kok. Din...” ucapannya terpotong oleh suara azan. Segera ia menggunakan ibu jarinya menghapus airmataku. “Alhamdulillah, udah azan. Aku ke musholla dulu, ya,” lanjutnya. Aku hanya mengangguk.

Dia mengacak-acak kepalaku. Tidak berhasil mengacak rambutku karena saat itu aku masih menggunakan jilbab.

“Makasih, mas...” ujarku di sela isak yang masih tersisa.

“Anak kecil,” jawabnya sambil tersenyum.

Melenggang ia meninggalkan kamar. Kudengar suara berita di televisi menghilang. Sepertinya ia mematikan televisi. Beberapa detik kemudian kudengar suara pintu depan ditutup. Aku bergegas menuju ruang tengah, berniat mengambil piring yang tadi sempat teronggok. Eh? Piring-piring itu sudah tidak di tempat semula?

Perlahan segaris lengkung manis tersungging di bibirku.kau memang suami yang baik, mas.

3 komentar:

  1. Hmm.... AssaLamualaikum...!!!
    Salam kenal ea, btw nie blognya cp cie...? (gagh sopan nie ea ^_^)

    BalasHapus
  2. salam kenal ya.... peserta djarum black nich hehehe

    BalasHapus
  3. @barudak
    ini maysaroh
    salam kenal

    @masifud
    oh peserta jarum black ya?

    BalasHapus