Selasa, 09 Maret 2010

Dialog dengan Tiga Bocah

Malam sudah menggelayuti hari itu, 8 Maret 2010. Adzan Isya belum terdengar dari musholla maupun mesjid sekitaran. masa itu menjadi penantian sebagian hamba yang ingin menyelesaikan rutinitas wajib rohani usai rutinitas maghrib tadi.

Aku menggelar karpet styrofoam di lantai dingin rumah kecilku. lantai yang memang dingin menjadi semakin dingin usai hujan besar yang menerpa bumi Jakarta, pun diriku yang berupaya menjejakkan kaki di antara hujan. ya, aku baru pulang.

Usai menggelar karpet, kutata pakaian yang akan dilipat--seperti biasa--untuk kemudian diletakkan di lemari pakaian. mama dan Bapak belum pulang. hmm, semoga mereka tidak pulang dalam keadaan kuyup.

"Mba..." suara mungil dari sesosok anak kecil kudengar. kutolehkan wajah ke arah pintu. ya, kudapati sesosok...tidak, tapi dua sosok gadis kecil tetanggaku, Angel dan Nadya.

"Masuk," ujarku kemudian. kedua bocah kecil itu segera melangkahkan kaki-kaki mungil mereka, masuk ke rumah yang juga kecil ini. raut wajah riang tanpa beban yang terpahat pada wajah keduanya, ikut menguapkan sepiku kala menatap mereka. hanya segaris senyum, suara lembut, yang kuperdengarkan akhirnya. 'Bayaran' atas ceria yang mereka tularkan.

Kutawarkan dua buku pada keduanya. berharap mereka akan mulai menyukai buku...err, bukan untuk merobeknya, lho, tapi untuk membacanya. sebuah buku lagu anak bergambar dan sebuah komik detektif conan mendarat di tangan mereka. terkikik aku manakala melihat mereka ngasal membaca. begitulah, anak kecil itu tidak mau dianggap tidak bisa sehingga mereka berupaya menunjukkan kebisaan mereka, yang malah mebuat kami yang dewasa menjadi geli. kreatif, memiliki harga diri....tapi lucu :D

hmm, aku ingat. salah seorang tetanggaku memberikan cemilan bakwan padaku.

"Ngel, Nad, mau bakwan?" tanyaku di sela acara melipat baju.

kedua kepala gadis 3 tahun itu mengangguk diselingi jawaban "aku mau, mbak," dan "aku juga mau,". jawaban tidak mau kalah dengan rekannya.

bergegas kami menuju dapur, membuka penutup piring bakwan dan mengambil dua untuk mereka. setelah itu, kami kembali ke ruang depan, melanjutkan kegiatan kami: aku dengan lipatan baju, mereka dengan buku.

adzan isya terdengar, dan seorang bocah laki-laki duduk di pintu rumahku. lagi-lagi kuajak ia masuk. syukurlah, ia menurut saja. kudengar beberapa hari lalu, ia sangat nakal.

"Zahwa...punya kakak namanya Fajar ya?"tanyaku menyebut anak laki-laki yang dulu juga pernah tinggal di lingkungan kami.

"Nggak, kakak gue Rudi, bukan Fajar,"

"Eh? kok gue?....trus, Fajar siapa?"

"kakak aku juga."

Toeng! aku refleks tertawa mendengar jawabannya.

"Rudi sekolah?"

"Nggak. jadi preman, dia," jawabnya seraya memainkan buku detektif conan yang sejak kapan berpindah tangan.

"Kok gitu? Zahwa nggak mau jadi preman kan?"

"Mau, kan bagus."

"Kan saru, ya, mbak" kata Nadya sambil bertelekan di sofa yang cuma satu-satunya.

"Tuh, Nadya aja bilang gitu. kalo jadi preman tuh nggak bagus, saru..." sahutku.

"jahat, dosa, terus masuk neraka," lanjut Zahwa. Lho? benar-benar unik anak ini, pikirku.

"Zahwa mau masuk neraka?"

"Nggak."

"Ya udah, nggak usah jadi preman, ya. mendingan sekolah, belajar, ntar Bapak mama senang,"

"Aku mau kok jadi preman. kan bagus," jawab Zahwa lagi. jujur, otakku tak mengirimi sinyal ke mulutku untuk berkata lagi. aku hanya tersenyum sembari berkata "kok gitu"

"Bapak...ya, Mba. Bapak. Mama? ma'e, mbak..." protes Angel kemudian. Waduh, kok jadi melenceng begini pembicaraan? Ha! mereka masih kecil, tidak selalu fokus. begitu pikirku. syukurlah neuron mulai bekerja kembali.

kami terus bercerita hingga akhirnya Angel dan Nadya pamit terlebih dahulu. Aku masih mendengar Zahwa bercerita.

Dan lipatan yang akhirnya berakhir, tidak mengakhiri pembicaraan kami. masih terus berlanjut hingga Zahwa pamit.

Sudut mataku asik menatap sampul buku dominan hijau, Galaksi Kinanthi. Hmm, akan ada cerita baru dengan Bapak tentang Gunung Kidul...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar