Sabtu, 06 Maret 2010

Sebuah Gundah

“Bisa, kan, Nin?”tanya Anggi sore itu di telepon. Nindya sahabatnya hanya menjawab dengan hening sebelum akhirnya mengeluarkan suaranya. Agak lemah.

“Nin coba…ya..”

Telepon diputus. Nin tidak bisa mencegah bulir airmata mengaliri pipinya. Ditaruhnya ponsel candy bar di meja belajar. Ruangan yang dinamai kamar ini menjadi saksi ketidaknyamanan hati seorang Nindya Utami. Direbahkannya tubuh lelah itu di tempat tidur. Masih dengan airmata yang mengalir, seolah tidak ada habisnya.

Bagaimana ini?

Mungkin Nindya baru merasakan apa yang sering diucapkan cerita-cerita cinta picisan. Antara sahabat dan (calon) kekasih. Siapa yang akhirnya akan dia pilih? Pertanyaan basi yang selalu ditulis dalam pendahuluan cerita-cerita percintaan. Pikirannya melayang pada kejadian pekan lalu.

@#@#@#@#@#@#@#@#@#@#

Rumah kecil itu tidak ramai. Sama seperti biasa. Hanya terisi Nindya dan kedua orangtuanya. Tapi hari ini ada yang lain. Ahad sore ini akan lain dalam rangkaian episode kehidupan Nindya. Apa lagi? Seorang lelaki akan datang ke rumahnya, mengenalkan diri pada orangtuanya. Menunjukkan keseriusan niat.

Sudah sejak pagi rumah itu dibersihkan. Bapak yang sibuk mengelap berbagai alat elektronik, mama yang sibuk di dapur: memasak. Nindya ikut membantu Bapak. Nindya tidak begitu diberi tugas saat ini, tidak seperti biasa. Mama dan bapak tahu apa yang dirasakan anak semata wayangnya.

Bagaimana tidak? Wajah Nindya sudah menunjukkan perasaan itu. Terus memerah, salah tingkah, salah mengerjakan sesuatu. Mama hanya tersenyum melihat hal itu.

Sementara di diri Nindya sendiri, degupan campur antara senang, riang, gugup, khawatir mulai berloncatan satu sama lain, berusaha menjadi paling di hati Nindya. Tentu Nindya tidak memenangkan satupun. Semuanya sama. Sama muncul, sama terasa, dan sama mengada.

Lelaki yang ditunggu hadir sudah. Dengan berjalan kaki ia hampiri rumah mungil di tengah kota metropolitan. Bukan Nindya yang menyambut, melainkan Bapak dan mama. Keduanya sudah berpenampilan rapi, tapi santai. Bapak hanya mengenakan kaos, mama juga. Hanya,warna kaos yang membedakan keduanya.

Ba’da Ashar, lelaki itu masuk ke dalam rumahnya. Nindya sudah duduk di dalam ruang tamu. Tangannya asik meremas bagian roknya. Lelakinya hanya tersenyum mendapati tingkah sang gadis yang lucu di matanya.

“Pak, Bu, saya minta maaf sebelumnya bila saya lancang. Namun, saya ingin bilang…”terhenti sejenak. Sang lelaki menelan ludahnya. Bukan apa, ia merasakan degup jantung yang sejak tadi ditahannya sudah makin bertambah kencang. Peluhnya memang tidak sebesar biji jagung, tapi kemunculannya sudah mewakili perasaan sang lelaki.

Menyikapi hal ini, Bapak hanya tersenyum.

“Bapak juga dulu kayak kamu, Nang,” ujar Bapak sambil menepuk bahu sang lelaki muda perlahan. Sedikit memberi energi semangat, juga perwakilan ucapan ‘nggak apa-apa, tenanglah..’. memberi kepercayaan diri yang lebih pada sang lelaki.

@#@#@#@#@#@#@#@#@#@#

Hari itu berakhhir dengan tawa bapak saat berbincang dengan sang lelaki. Nindya tidak lagi merasa perlu untuk khawatir. Mulai sekarang, keduanya akan semakin fokus menjalani proses menuju jenjang yang lebih: pernikahan.

Itu kejadian pekan lalu, dan Nindya belum bicara pada Anggi. Ya, Nindya memutuskan untuk merahasiakan hal ini dari teman terdekatnya. Nindya yakin, ia akan memberitahu Anggi bila waktunya semakin dekat.

Tapi ia hanya mampu sampai pada tahap merencanakan. Allah swt yang menentukan berputarnya roda proses Nindya dengan Ari, sang lelaki. Anggi meminta Nindya menjadi perantara antara Anggi dan Ari. Ya, baru saja Anggi menelepon untuk mengatakan hal tersebut.

Anggi, gadis dengan segudang prestasi di akademik maupun non-akademik. Anggi yang sejak awal kuliah sudah diincar banyak lelaki. Anggi dengan segala pesonanya, dengan segala kebaikannya. Nindya mulai mencoba memaknai apa yang terjadi, yang ia rasa, juga yang mungkin akan terjadi.

aku takut kau tertarik padanya, karena aku tak dapat mengembalikanmu padaku.
Tapi aku lebih takut ia tertarik padamu, karena aku tak akan mampu menyainginya.*

Dibiarkannya bantal membentuk lingkaran khas karena basah airmatanya. Lengan putihnya yang berhiaskan gelang pemberian Anggi kini terus dipandanginya.

Rabb, Nindya harus bagaimana? Nindya nggak ngerti…batinnya, mencoba berdialog dengan Sang Pemilik Jiwa.

Jika dikatakan ikhlas, mungkin sulit bagi Nindya untuk urusan yang satu ini. Namun, sebutan tega juga tak pantas untuknya. Ia sangat memikirkan perasaan sahabatnya, Anggi.

Malam menjadi masa yang tidak lagi mengajak Nindya lelap dalam tidurnya. Alam pikirnya masih menelusuri permintaan Anggi, juga prosesnya dengan Ari. Semakin ia memikirkan permintaan Anggi, semakin berkelebat bayang prosesnya bersama Ari. Memampang layaknya film yang diputar di depan matanya. Berselang-seling dengan berbagai kegiatannya bersama Anggi.

@#@#@#@#@#@#@#@#@#@#

“Ri, sudah siap nikah?” tanya Anggi di suatu pagi. Rumah mereka berdekatan sehingga ketika berangkat kerja bisa berbarengan. Ari, lelaki berkemeja dengan tas laptopnya, menoleh. Halte bus tempatnya berdiri mulai dipenuhi orang-orng yang juga akan beraktivitas pagi.

“Udah, insya Allah, Nggi,” jawab Ari dengan nada mantap, sekaligus menyeringai. Pikiran Ari melayang pada Nindya, sang gadis. lagi apa, ya? batin Ari yang kemudian disusul tawa kecil.

“Ri, kok malah ketawa sendiri. Jadi takut, nih, mau ngomong,” celetuk Anggi.

“Maaf, maaf. Iya, deh. Apa?”

“Sebenarnya… ada yang mau ngajuin diri, Ri, sama kamu, gimana?”

“Wah…” belum selesai Ari menjawab, bus yang Anggi tunggu hingga sampai di kantornya sudah datang. Anggi tidak dapat mendengar Ari yang hanya terlihat menggerakkan bibirnya.

@#@#@#@#@#@#@#@#@#@#



*”masihkah Senyum Itu Untukku?” karya Hendra Veejay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar