Jumat, 05 Maret 2010

Kisah Kecil Kahfi

“Kahfi!” sapa Rin dengan nada meninggi di depan ruang BEM, Badan Eksekutif Mahasiswa.

Ruang berukuran 3x5 meter itu berisi banyak hal terkait kegiatan BEM Universitas Angkasa. Lemari kayu di sudut ruangan, seperangkat komputer yang tersambung dengan jaringan nirkabel di kampus mereka terletak tidak jauh dari lemari tadi. Di bagian depan ruangan BEM, yang juga tempat Kahfi duduk, terhampar karpet untuk menerima tamu. Panji-panji BEM dan Universitas serta bendera negara Indonesia menjadi penghias bagian depan ruangan itu.

Kahfi menoleh, menyunggingkan senyum tipisnya ke arah gadis berjilbab di depan pintu. Buku “Das Capital” karya Karl Marx yang dipegangnya agak menutup ketika ia menoleh ke arah Rin. Dibiarkannya Rin masuk ke ruang BEM, agak menjaga jarak duduk di sampingnya. Apa lagi? Rin akan melakukan kegiatan rutinnya bila menghampiri ruang BEM. Bukan, bukan mengisi presensi kehadiran pengurus BEM—bahkan Rin jarang melakukan itu kalau tidak Kahfi yang mengisikan.

Ditujunya sebuah buku dengan tebal 50 lembar, berukuran A4. Sampul depan dari bungkus kado buku tersebut bertuliskan “Buku Komunikasi”. Sebuah buku ‘wajib’ bagi Rin dan Kahfi di BEM.

Sebenarnya tak hanya Kahfi yang menyadari kehadiran Rin. Dua pengurus senior juga tahu akan kedatangan Rin.

“Salam atuh, Neng,” celetuk lelaki berkacamata yang asik di depan komputer, menyelesaikan laporan keuangan bulanan. Ya, ia menjadi asisten bendahara di BEM.

“Udah gitu, yang disapa Kahfi doang, lagi. Nggak tahu, ya, kita di sini?” lelaki lain menimpali. Ia mondar-mandir di sebelah lelaki berkacamata. Dialah sang Bendahara.

“Iya, iya. Maaf, Assalamu’alaikum, Kahfi,” jawab Rin sambil nyengir. Cengiran yang hanya disadari Kahfi. Jelas, bagaimana bisa kedua kakak seniornya tahu kalau Rin nyengir, menyahut, sambil menulis di buku wajibnya.

Kahfi serta dua senior mereka menjawab salamnya.

“Jah. Kahfi lagi, kan?”

“Habis, Kak Andri sama Kak Bayu lucu, sih. Kan Rin nggak akan masuk ke BEM kalau tahu ada Kahfi doang,” jawab Rin. Ia telah selesai menulisi buku wajibnya. Matanya beralih pada buku yang dipegang Kahfi. “Apa itu?”

“Das Capital. Mau?” jawab Kahfi.

“Ndri, Ndri, Kahfi bersuara. Dari tadi dia diem aja,” goda Bayu.

Siapa yang tidak tahu kedekatan Rin dan Kahfi? Kedekatan kontroversial di seantero BEM-ers seluruh Universitas Angkasa. Hanya pada Rin, Kahfi mau bercerita, menurut, juga melepas sikap dingin serta diamnya. Tapi mereka tahu, Rin memang perhatian pada setiap temannya.

Pernah suatu hari—yang akan menjadi awal hari-hari berikutnya—Rin membawa bekal makan siang untuk beberapa teman. Gratis! Haha, tentu kalian tidak tertarik dengan gratisnya, kan? Yang menarik adalah sikap Rin ini. Ia membawa bekal untuk teman-teman yang ia amati terlalu sibuk atau memang kurang dana untuk makan di kantin. Hal itu terjadi sebulan sejak ia bergabung di BEM. Dan yang rutin mendapat bekal itu adalah Bayu serta Kahfi.

“Kak Bayu ngiri, tuh, nggak diajak ngomong sama Kahfi,”sahut Rin nakal. Kemudian ia berlanjut pada buku Kahfi. “Bukannya itu tentang…”lanjut Rin terpotong oleh ucapan Kahfi.

“Komunis. Sosialis. Ya, kau benar. Tapi, bukan sesuatu yang tabu untuk dipelajari, kan? Oke, setidaknya sekedar tahu,”jawab kahfi.

“Wew! Kahfi lancar bener ngomongnya, Bay,” kali ini Andri menggoda.

Begitulah. Sering terjadi saling menggoda yang kadang tidak baik untuk kemudian hari. Kebiasaan yang tidak bisa dihindari oleh anak adam, pun oleh mereka yang tampak sangat mengerti agama.

“Kak Andri, Kak Bayu, sini, gabung, biar nggak ngiri.”

“Nggak mau ganggu kalian, hehe. Eh, iya, nggak ada kuliah, Rin?” tanya Andri mengalihkan godaannya.

“Nanti, satu jam lagi. Rin ke perpustakaan dulu, ya, kak. Udah selesai nih,” jawab Rin.

Kahfi menyerahkan selembar kertas pada Rin, tanpa ada yang tahu. Begitulah cara Rin dan Kahfi berkomunikasi. Rin mengangguk mantap.

Kahfi nggak suka cara ini. Meski Kahfi adalah ‘pemain cadangan’ di pemilihan ketua BEM mendatang, Kahfi juga butuh bimbingan dari kalian


Rin tertegun membaca surat singkat itu. Pemilihan ketua BEM 3 bulan lagi, tapi Rin yang masuk sebagai tim sukses sudah bersiap.

Kahfi. Hanya pada Rin ia bercerita keluh kesahnya tentang organisasi. Hanya pada Rin ia menceritakan pemikirannya, pandangan akan suatu hal. Kahfi lebih dikenal banyak diam di tengah teman-teman.

Diremasnya lembaran itu. Rin menahan sesak di hatinya. Kenapa hanya padanya Kahfi mau cerita? Kemana rekan ikhwan lainnya?

“Rin?”sapa seorang laki-laki. Ya, meski belum melihat siapa, Rin sudah mengenali suara itu, suara bass laki-laki. Di tengah lalu-lalang mahasiswa Universitas Angkasa, keduanya bertemu pandang sejenak. Rin segera mengalihkan pandangan ke samping kanan lelaki itu. Setidaknya tidak menatap langsung bola mata terlindungi kaca itu. Rin amat takut bila harus menatap mata laki-laki. Ia tahu, matanya bukan mata yang mampu memendam apa yang dirasanya. Maka, segala kesedihan, penasaran, takut, tak ingin ia tampakkan pada lelaki manapun yang berada di depannya.

“Eh…iya?”

“Sendirian lagi?” tanya Fandi, sang lelaki. Masih tidak ada yang menghiraukan mereka berdua. Pun penjual tempe mendoan di depan mereka, yang menjadi tempat mereka berpapasan. Rin lagi-lagi nyengir. Wajah mungilnya semakin lucu dengan cengiran khas itu. “Hati-hati,” lanjut Fandi akhirnya sbelum mereka berpisah. Rin hanya mengangguk.

Hari ini Rin yakini usai dengan surat singkat Kahfi. Diraihnya ponsel mungil berjenis candy bar dari kantong kecil tasnya. Segera ia menelepon seseorang, teman setia perjalanan pulangnya.

*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^ *


Sudah hari ketiga sejak Kahfi memberikan surat. Rin tidak bisa berbuat banyak selain mengadu pada Rekan perjalanan pulangnya.

“Ya, Mbak tahu. Apa perlu ada acara nginap bersama supaya mereka dekat?” ujar Indri, Mbak-mbak rekan perjalanan Rin.

“Entah. Ini sudah kesekian kalinya. Rin heran, udah diapain juga, mereka nggak dekat.”

“Gimana ngubah Kahfinya ya?” Indri mengerutkan alisnya, menautkan hingga hampir menyatu di tengah-tengah dahinya. Rin menoleh. Bus yang membawa mereka menjauhi kampus masih berjalan pelan. Pertanda macet di senja jakarta.

“Kok Kahfi?”

“Hei, jangan protes adik manis. Lihat sendiri, kan, Kahfi tertutup?”

Beberapa jenak Rin berpikir, diam. Tidak segera menyahut protes seperti tadi. Benar, Kahfi memang tidak dekat dengan lelaki lain. Tidak seperti kak Andri, Kak Bayu, atau Fandi.

“Tapi…”

“Tapi apa? Rin, nggak perlu terlalu khawatir. Kahfi nggak apa-apa kok…” ujar Indri meyakinkan. Kahfi nggak apa-apa? Benarkah? Pikir Rin membatin.

“Mbak, yang Rin pikirkan efek ke pemilihan nanti. Apa lantas, seorang ‘cadangan’ harus memiliki performa yang kurang baik? Apa lantas kita hanya fokus pada calon utama?”

“Hmm…” Indri hanya menyahut itu, kemudian diam lagi. Rin berharap, Indri berpikir tentang kalimatnya barusan.

Senja menggantungkan keputusan pada awan-awan memerah di langitnya. Keduanya tidak lagi membahas bagaimana seharusnya menangani permasalahan Kahfi. Ehm, maksudnya, permasalahan Pemilihan Ketua BEM.

*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^ *


Dua bulan mendekati masa pemilihan, sudah mulai marak poster-poster, banner, selebaran tentang calon-calon ketua BEM selanjutnya. Rin, Kahfi, dan pengurus BEM kali ini selain menyiapkan pemilihan, juga menyiapkan laporan pertanggungjawaban kepengurusan mereka. Sebagai teman satu divisi, Kahfi dan Rin sering berkutat dengan arsip-arsip divisi mereka, divisi pengembangan sumberdaya mahasiswa.

“Fi, proposal sama laporan acara Pelatihan Pengenalan Bakat dan Minat di mana?” tanya Rin di tengah kesibukan tangannya membongkar lemari divisi pengembangan sumberdaya mahasiswa.

“Hmm..”

“Kayak Sasuke aja, Ham-Hem. Nggak keren, tau.”

“Hmm..”

“Kahfiiiii” Rin sudah tidak sabar lagi menghadapi kahfi yang sedari tadi asik membaca sementara ia sendirian sibuk dengan lemarinya.

“Gimana bisa aku nyari kalau kamu di situ?” tanya Kahfi dingin. Rin tersentak. Kahfi benar. Bagaimana mungkin Kahfi bisa mencari di lemari bila ia juga ada di depan lemari? Rin seolah tersadar bahwa mereka harus memiliki jarak antara satu dengan lainnya. Rin mundur, menghentikan aktivitasnya.

“Hehe…maaf, Fi.”

“Hmm…”

Gemas Rin mendengar ‘hmm’nya Kahfi. Kebiasaan Kahfi menanggapi segala hal di sekitarnya. Rin bukan tak tahu, tapi Rin ingin Kahfi mengurangi kadar ‘hmm’nya.

“Ndri, ada yang berantem,” celetuk Bayu, penghuni setia BEM.

“Hush! Udah, Bay, jangan gitu. Nggak baik, ah, kalo terus-terusan,” sergah Andri yang dikenal lebih bijak—meski kadar bijaknya hanya sepersekian gram dibanding Bayu, setidaknya begitu kata teman-teman—sambil ikut membongkar lemari bendaharanya. Hari ini memang jadwal bendahara dan divisi Rin yang membuat laporan. Semua diatur bergantian agar pengerjaan laporan tidak begitu bising. Ya, orang organisasi sedisiplin apapun, agak berisik bila bertemu rekan seperjuangannya.

“Fi…udah siap buat kampanye lisan dua hri lagi?” tanya Rin agak takut. Sebenarnya ia sangat ingin bertanya dalam beberaa hari lalu, tapi ditahan terus mengingat surat singkat dan tidak adanya tindakan berarti dari lelaki lain—teman Kahfi maksudnya—untuk menanggapi Kahfi.

“Sudah lihat sendiri, kan?” kahfi balik bertanya sambil tangannya terus menata letak proposal dan laporan di luar lemari.

Meski divisi paling keren yang dimasuki Kahfi, bukan berarti kemampuan verbalnya sekeren divisi yang dimasukinya. Rin tahu, Kahfi memiliki kemampuan dalam berbicara. Namun, sebuah ganjalan besar akan menjadi sebab Kahfi gagap berbicara.

Hal itu tidak hanya Rin yang tahu, tapi semua temannya. Makanya, Rin berusaha menciptakan suasana nyaman untuk Kahfi agar ia mampu mengutarakan uneg-unegnya. Dalam hal ini, Rin belajar dari seorang mahasiswa jurusan Psikologi Universitas angkasa.

Sinergisitas tak akan terjalin tanpa adanya ikatan hati. Begitu prinsip Rin. Berkali-kali ia usahakan agar Kahfi nyaman dengan teman-teman lain, tapi jarang yang berhasil.

Rin menopangkan dagunya pada tangan bermanset hijau miliknya. Menatap lurus ke luar ruangan BEM.

PLUK! Sebuah buku..tidak, tepatnya proposal mendarat dengan manis di kepalanya.

“Tuh, laporannya udah ketemu.”

Hmm, sikap konyol Kahfi hanya diperuntukkan bagi Rin, Bayu, dan Andri.

*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^ *


Rin masih memikirkan hasil rapat kemarin sore. Kahfi dan seorang calon utama juga ikut rapat tim sukses. Persiapan untuk calon utama mendominasi rapat kemarin. Rin berkali-kali mengalihkan pandangan ke arah Kahfi yang duduk di depannya. Berkali-kali Rin mengetukkan pulpennya di meja, menandakan gundah yang dirasanya di sudut hati. Tidak ada yang mengerti, malah menyuruhnya diam.

Ini adalah hari kampanye lisan itu. Kahfi, Fandi sang calon utama dari tim sukses Rin, ditambah 3 calon lagi duduk di depan panggung terbuka. Sebuah tempat berupa lapangan, di sudutnya disusun bebatuan sehingga membentuk sebuah panggung. Lapangan itu kemudian dinamai teater terbuka.

Para pendukung sudah mulai memadati tempat itu. Rin memerhatikan kahfi yang berkali-kali melihat lembaran di tangannya. Kahfi bisa, batin Rin. Riuh suasana di teater terbuka tidak membiarkan Rin ikut terbawa riuh. Ia berusaha bersikap tenang. Hari ini ia ingin melihat Kahfi yang berbeda.

Dan hal yang tak didinginkan itu terjadi. Kahfi terbata menjawab pertanyaan para panelis.

“Saudara Kahfi, sebaiknya Anda menulis makalah saja. Buat apa Anda duduk di sini, mencalonkan diri,” ujar panelis yang dikenal dengan pemikiran sosialisnya.

Rin menghambur dari massa yang ber’huuu’ ria menyoraki Kahfi. Ia berlari menuju mushola terdekat. Ia yakin, di sana ia bisa menumpahkan tangisnya tanpa ada yang menyadari. Kakinya menjejak cepat lantai marmer teater. Matanya sudah mulai berbayang dengan air yang mendesak keluar. Tapi Rin masih berusaha menahan air itu, meski sia-sia.

“Rin?”panggil seseorang. Rin tak peduli dengan panggilan kakak kelasnya, Andri.

“Rin!” Andri memanggil Rin. Seperti adegan sinetron kali ini. Andri mengejar Rin cepat dan berdiri di depan Rin. Untungnya Rin masih mampu mengerem langkahnya.

“Rin nggak suka hal ini… Rin…Rin..Rin nggak…”

“Kamu…suka Kahfi?” ragu Andri bertanya. Berdegup ia menatap Rin yang sebenarnya semakin manis kala menangis.

Degup itu juga dirasai Rin. Degup bahwa ia tak menyangka Kahfi akan dipermalukan di depan umum.

“Bukan. Rin Cuma nggak suka…” terputus. Rin tak kuasa menahan lagi tangisnya. Jadilah Rin menangis di depan Andri.

Andri mulai mengerti apa yang Rin rasakan. Andri hanya menatap langit biru muda yang tersamar awan kapas.

Sementara di belakang mereka, teater masih ditingkahi suara-suara khas kampanye lisan.

-END-

dibuat juga di www.myquran.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar