Kamis, 22 Juli 2010

Akhirnya...

Uring-uringan. Sore yang dipenuhi mendung makin kutingkahi dengan muka masam serta hati yang tak mendamai. Ya, aku terkejut atas berita sore ini. Sebuah berita yang kan memaksaku merencanakan ulang semua susunan masa depan yang sudah kurancang.

*^*^*^*^*^*

“Bu, saya minta SK yang Bu Rini perintahkan untuk ambil di Ibu,” ujarku. Sejak siang kunantikan wajah sang Ibu yang kini ada di hadapanku. Ya, sejak siang kursi panjang di ruang administrasi jurusanku ini menjadi saksi atas gelisah dan campuran rasa bahagia untuk sebuah berita. Kabar dari dosen pengampu, tentang surat keputusan judul skripsiku.

“Iya. Maaf, mba siapa?”

“Saya Esa, Bu. Esa Wiryanti.”

“Sebentar,” Ibu yang sering dipanggil Bu Rika itu memadukan jari jemarinya dengan tumpukan surat. Meja di depanku ini penuh bukan hanya dengan surat-surat, tapi juga berbagai map. Mungkin lembar kehadiran, seperti biasa tugas beliau. Kucoba senyum menjadi hiasan wajahku saat menanti lanjutan kalimat beliau.

Ah, Bu Rini sudah menyuruhku mengambil SK, berarti aku sudah bisa mulai menulis skripsiku. Begitu pikirku.

”Maaf. Surat Anda belum ditandatangani Bu Ratna,” lanjut Bu Rika. DEG!

“Mm, coba dilihat lagi, Bu. Mungkin salah,”

”Ini, kan, suratnya? Tuh, belum ada tanda tangan Bu Ratna,” jawab Bu Rika seraya mengangsurkan surat keputusan padaku untuk kemudian kuteliti. Benar. Nama serta nomor mahasiswaku tertera. Juga calon judul yang kuajukan. Di baris bawah, aku belum melihat tanda tangan Bu Ratna, sang ketua tim dosen pembimbing skripsi. Hff, tanganku melemas. Tapi kupertahankan memegang kertas itu dan perlahan mengembalikan ke atas meja.

”Iya, kan?”

”Iya, Bu. Terima kasih. Kira-kira kapan, ya, saya bisa ambil surat ini?” tanyaku lagi.

”Setelah ditanda tangan.”

”Hehe, Ibu. Maksudnya, waktunya tuh kapan? Besok, lusa, gitu bu,” candaku. Bu Rika mulai tersenyum. Ah, tepatnya nyengir. Aku sedari tadi hanya melihat senyum tipis yang lekas menghilang.

”Sabar, ya,”

”Makasih, Bu. Jadi seneng, dibantuin. Makasih ya Bu udah bantuin,”

”Ini tugas saya,”

Kuucap salam sebelum pamit, meninggalkan ruang angkuh itu. Tapi keangkuhan itu meluluh kala kusaksikan senyum dan cengiran Bu Rika tadi.

*^*^*^*^*^*

Kini, aku hanya bisa lampiaskan kesal dan sedih pada apa yang ada di depanku. Kulihat lantai. Ugh, kotor. Kurasakan kakiku menggesek lantai yang menempelkan debu-debunya di telapak kakiku. Ya, mungkin debu-debu ini dari rumah sebelah yang sedang dibangun ulang. Sudahlah. Segera kuambil sapu dan membersihkan lantai itu. Menyapu.

Usai menyapu, aku masih merasa kesal dan sedih. Melihat tumpukan piring bersih di rak luar, disertai tatapan sekilas pada langit yang tak cerah, bersegera kupungut piring dan segala macam temannya di rak luar. Kupindahkan ke rak piring di dalam rumah, di sebuah ruang bernama dapur.

*^*^*^*^*^*

”Kalian boleh nikah setelah Esa wisuda,”ujar mama suatu hari saat Mas Indra datang ke rumah bersama adiknya. Saat itu Mas Indra membicarakan niatnya untuk serius denganku.

Kami sudah sepakat akan hal itu. Aku sudah yakin akan lulus setahun lagi. Hmm, aneh. Proses selama setahun. Kuat nggak ya?

*^*^*^*^*^*

Kini, setelah 3 bulan jatah 1 semester, aku masih belum dapati kabar akan judulku. Sanggupkah aku dengan tawaran 1 tahun itu dengan Mas Indra? Atau ini ujian karena aku melakukan proses pernikahan begitu lama? Eh, tapi apa iya? Entah.tiap sudut hati bertanya dengan pertanyaan yang tak jauh beda. Aku terus saja membereskan rumahku. Ya, sebelum langit asik menumpahkan berkubik airnya, juga sebelum kedua orangtuaku pulang.

*^*^*^*^*^*

Baru saja usai prosesi akadku. Mas Indra kini berada di sampingku.

”Nanti wisuda terserah ditemani siapa. Mas nggak maksa kok,” ujar Mas Indra usai prosesi akad. Kontan airmataku yang tadi mengalir terganti dengan cengiran dan tawa kecil.

Ya, kekhawatiran yang kupikirkan tidak terjadi. Aku mampu menyusul skripsi dan sidang meski surat keputusan itu terlambat. Dua hari lalu aku sidang di hadapan empat dosen penguji. Ya, sebuah hadiah tak terduga dariNya. Aku sendiri tak mengerti mengapa. Tapi kali ini, kisah ini ditulis dengan begitu banyak narasi dariku, bukan dialog.

Masih kuingat ucapan mama saat kukatakan tentang SK yang tidak turun hari itu.

”Cepetan lulus. Boleh deh nikah sebelum wisuda, asal udah sidang,” ujar mama menanggapi. Waaa, alhamdulillah. Makasih ma. Tapi aku masih belum bisa tenang saat itu. Masih khawatir dengan SK yang tidak turun juga. Kini? Aku bisa tersenyum bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar