Kamis, 22 Juli 2010

Sebuah Episode

Terik kota metropolitan tidak memengaruhiku siang ini. Ya, kantorku yang terletak di bilangan Jendral Sudirman Jakarta termasuk kantor yang bagus. Pendingin ruangan yang membantu pendinginan suasana bila tuntutan kerja menaik, ruang kerja yang tersekat tak sampai atas sehingga menjaga komunikasi antar karyawan, juga jam kerja serta istirahat yang disiplin. Ruang kerja berwarna pastel yang mendukung bidang kerja para karyawan, termasuk aku. Hmm, mungkin begini rasanya kerja jadi karyawan sebuah media cetak, majalah khusus yang membahas segala hal berbau animasi, terutama dari negeri sakura.

Siang. Sudah waktunya istirahat. Sholat, lalu makan. Begitu seharusnya. Tapi kali ini kuhampiri sahabat kerjaku sekaligus rekan pengajianku bila menghadiri kajian-kajian islam. Ada sesuatu yang harusnya kusampaikan padanya. Suatu hal yang penting. Sangat penting menurutku.

“Ridwan,” panggilku pada lelaki berkemeja hijau muda itu. ID cardnya bertuliskan ia adalah kepala divisi produksi. Lelaki yang kupanggil Ridwan segera menoleh, berdiri dan menyunggingkan senyum tipisnya. Sebuah lengkungan kecil di bibirnya.

“Apa, Ar?” tanyanya kemudian. Kami sudah sama berdiri sekarang.

“Sebenarnya, dua malam lalu aku mengantar Airin pulang...”

“Aku tahu. Airin bercerita. Tapi aku tak tahu bahwa dia...”

“Maaf, Wan. Bukan aku mau ikut campur, tapi itu musibah. Dia hanya korban,” ucapku memotong kalimat sahabatku yang belum lagi selesai pada titik.

“Apapun itu, aku sudah pikirkan. Aku akan menghentikan rencana kami.”

Seolah tersengat lebah, aku tak bisa menghentikan respon terkejutku. Kutatap wajahnya. Tak mengerti, apa ia serius dengan ucapannya? Tapi, nada bicaranya tidak menggambarkan canda sebiasa kurasa.

“Wan. Kamu yakin? Ini sudah 5 hari sebelum acara kalian. Undangan sudah...”

“Aku tak peduli, Ar. Aku tak bisa kalau harus menanggung beban itu seumur hidup,” jawab Ridwan tak kalah cepat. Aku tak banyak berpikir, hanya ingin mengembalikan dia pada realita.

“Ridwan. Kamu sadar, kan, dengan ucapanmu?” kini akupun ikut menggemuruhkan suara, seiring bergemuruhnya hatiku atas sikap sahabatku yang tak kusangka ini.

“Aku sadar. Aku tahu yang kulakukan. Tapi aku tak mau terus dibayangi kebencian bila sudah bersamanya, bahwa istriku pernah disentuh paksa laki-laki lain sebelum menikah.”

Ketus nadanya. Tapi memang ia tegas terhadap apa yang tak ia suka.

“Cuma karena itu? Wan! Kamu tak pikirkan perasaan ibumu, ibunya, juga keluarga kalian?”

“Mereka sudah sepakat denganku. Nanti malam aku yang akan mengatakan pada keluarga Airin. Aku tak ingin Airin malu dan tertekan nantinya. Aku juga tak mau semua kubangun atas dasar kasihan.”

Logis. Rasional. Bahkan, sangat memikirkan perasaan perempuan. Tapi, apa harus begini?

“Kalau begitu...biar aku yang menikahinya,” ujarku akhirnya.

“Jangan sok jadi pahlawan kamu.”

“Bukan mau sok pahlawan. Aku hanya ingin menyelamatkan nama baik Airin.”

“Maksudmu?”

“Seluruh Universitas Angkasa tahu karena sekelompok orang menyebarkan tulisan dan berita lisan tentang Airin.”

“Apa!?” Ridwan menggebrak mejanya sambil melontarkan tanya. Mungkin karena ia terkejut. Syukurlah ini jam makan siang sehingga hampir semua karyawan meninggalkan ruang kerja kami.

“Ya.”

“Dan kau?”

“Tetap pada keputusanku,”

“Hei. Kau...ah, terserahlah. Aku hanya berharap kau tak menyesal dengan keputusanmu.”

“Harusnya aku yang berkata begitu, Wan.”

“Ya, harusnya kita sama berucap begitu. Sudahlah. Lihat saja keputusan itu nanti.”

*^*^*^*^*^*^*^*^

Rintik hujan tak lagi kuhiraukan. Hanya satu tujuanku: Rumah Airin. Sedangkan, di belakangku, duduk menyamping seorang perempuan. Dia Airin. Akupun pedih mengingat yang baru kusaksikan. Tak kubayangkan apa yang Airin alami. Hanya jaketku yang bisa kupakaikan ketika kulihat ia berjongkok di samping warung rokok. Ya, dia sendirian di tengah tangis dan koyak serta memar wajahnya  yang sempat kulihat.

*^*^*^*^*^*^*^*^

"Dia sudah dibereskan," ujar seorang laki-laki dalam ruang tamu yang tak seberapa besar itu. Tiga orang lainnya, seorang laki-laki dan dua perempuan hanya tersenyum, bahkan ada yang tertawa dengan kabar dari orang pertama.

"Salah sendiri masih berkeras jadi presiden mahasiswa. amanah lagi alasannya. makan tuh amanah, hahahaha."timpal seorang perempuan.

"Hmm, selangkah lagi, dan sempurna," sahut lelaki yang lain.

Langit hanya mengelam, khasnya malam, menyaksikan rencana sebagian manusia. Angin hanya bersemilir, mendengar suara tawa yang terasa getir.


*terinspirasi kisah nyata seorang akhwat...
« Edit Terakhir: 16 November 2009, 14:04:04 oleh sya »

Tidak ada komentar:

Posting Komentar