Minggu, 12 September 2010

[catatan perjalanan] Jalan-jalan Jogja-Magelang (Part 3)

Hari pertama kami isi dengan bermain di rumah teman. Suasana yang sangat kampung, sangat hijau. Masih terasa kekeluargaannya. masih terasa sejuknya, malah kalau saya tidak salah lihat, masih ada kabut. Benar tidak ya?

Skip yuk. Kita ke hari ke-2 yang benar-benar membakar kami. Penasaran? yuk, lanjut baca.

Kami mampir ke kost teman lain di Poltekkes BSI, Yogyakarta. Sangat dekat dengan BEJ. Hmm, suasana kost-kostan yang beda dengan Jakarta. Iya,lah. This is Jogja, may. Segera kami beranjak mengingat waktu dan tujuan kami hari ke-2: Malioboro dan UGM.

Mengikuti petunjuk beberapa teman, untuk ke Malioboro itu naik bus transjogja. Oke deh, kami ikut saja. Tak mengira halte transjogja begitu kecil. Mungil. Dengan pintu di kedua sisi, tidak seperti halte busway di Jakarta yang pintunya hanya satu.

"Mbak mau ke mana?" tanya perugas berbaju batik itu.

"Malioboro," jawab kami.

"Nanti transit di bandara ya."

Mengangguk kami jadikan jawaban. Weis, mau ke bandara cuy. bandara. Ban-da-ra. Kami naik transjogja yang juga mungil itu. Ada yang unik di dalam bus tersebut. Posisi tempat duduknya masih seperti posisi tempat duduk bus-bus kecil lainnya di sekitaran Jawa Tengah. Kami duduk manis karena memang transjogja tiak sepenuh bus transjakarta.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 15 menit, kami turun di halte bandara Adisucipto. Glek! Rasanya gimana gitu, masuk wilayah bandara. Beda dengan bandara Cengkareng yang nggak dimasuki busway. Beda,lah, May, itu kan Jakarta.

Kami sampai di malioboro setelah transit. Berjalan di Malioboro yang lengang. Berkali menolak tawaran lelaki baik untuk menaiki becak mereka. Duh, nggak sanggup deh kalau disuruh bayar, ehehe.

Teman saya membeli beberapa gelang setelah sukses menawar.

"Pak, niki regane pinten?"

"Gangsalewunan, Mbak."

"Kok kemahalen, tho, pak, gangsalewu setunggal. Kaleh nggih, pak."

"Kaleh ya sepuluhewu."
Jiaa, nih bapak pake bahasa ngoko juga. Tapi saya bersopan-sopan ria dengan bahasa kromo saya.

"Mboten purun, pak. Gangsalewu kaleh, nggih."

"Mboten, Mbak,"

"Kulo laporke bapak kulo."

Sungguh, saya sendiri heran kok bisa pakai kalimat mengancam pada penjual, meski dengan nada lembut. Hahaha. Maaf ya pak, nggak ada maksud mengancam.

Dari malioboro kami berjalan ke utara, mencari jalan ke UGM. Ya, ke sokkuatan kami mengalahkan malas untuk jalan kaki ke UGM. Di tengah panas itu kami terus berjalan, melewati berbagai gedung bangunan.

"Begini, ya, rasanya jadi backpacker?"

Hanya saja kami merasakan keramahan Yogyakarta. Ada bapak-bapak yang berpapasan dengan kami segera bersenyuman lembut. Santun. Senyum itu yang mengalirkan energi baru pada saya untuk terus berjalan kaki di bawah pijaran matahari siang.

Semakin siang hingga menjelang sore, kami sampai juga di dalam kampus UGM. Setelah melewati jl. Kaliurang tentu. Tapi, tujuan kami adalah mesjid UGM. mesjid kampus yang terkenal itu.

Usai bertanya pada dua orang, kami mendapat jawaban. Jawaban yang mengajak kami berkesimpulan, bukan mengajak kami ke mesjid kampus UGM. Ya, kami gagal mencapai mesjid UGM. Tapi kami berhasil mendapati contoh dua karakter manusia. Mau tahu? Begini kisahnya:

Seorang lelaki rapi berpakaian batik merah tua keluar dari mobil. Dari penampilannya sepertinya ia dosen. kami hampiri lelaki itu, menanyakan arah ke mesjid kampus. Apa jawabannya?

"Mbak berdua nanti lurus aja, kemudian belok ke kanan. Sampai ada jalan ke kiri, ambil. Daripada mbak berdua muter lewat jalan sebelah, kan lebih jauh. mbak lurus seperti yang saya tunjukkan."

Kami bersemangat mendengar jawaban beliau. Usai mengucap terima kasih, kami berjalan dan mendapati kumpulan bapak-bapak lagi. Mungkin dosen seni. penampilannya begitu santai. kami menanyakan hal yang sama untuk meyakinkan diri kami. Kali ini jawabannya sangat berbeda.

"Emangnya mbak ini mau naik apa?" nada meremehkan terdengar di ruang telinga saya. Hei, saya bukan orang yang merasa nyaman dekat-dekat dengan manusia peremeh.

"Jalan kaki, pak," jawab saya akhirnya. Dengan nada angkuh.

"Jauh itu."

Nada meremehkan terus saja terdengar. Awalnya saya kira hanya perasaan saya. ternyata teman saya juga merasakannya. Helloooo, orang lelah, kepanasan, puasa, kok ya tanya jalan malah diremehin?

Tapi kami menangkap suatu hal: ada dua hal di dunia ini. Optimis dan pesimis. Dua karakter manusia juga berada dalam dua hal tersebut.

berarti, pak dosen pertama tadi orang yang mengajak sekitarnya untuk optimis, dunk, ya? Iya, kan? Cara menjawabnya saja sudah beda.

Sore itu kami memutuskan untuk ke Magelang, rumah paman saya.

*bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar