Selasa, 14 September 2010

Cinta Terbaik Untukmu

Kini di tanganku tergenggam selembar kertas bertulisan tangan. Lembaran itu bukan lembaran biasa. Ya, di usia yang ke-21 tahun ini aku sudah harus menjawab sebuah pertanyaan: bersediakah aku berproses dengan seorang pemuda menuju sebuah babak baru kehidupanku, menikah. 
            Lalu, apa hubungannya dengan pertanyaan yang harus kujawab dengan selembar kertas yang kini kugenggam? Sebenarnya kertas ini adalah data diri pemuda yang mengajakku menikah. Tanpa membaca biodata itu, aku sudah tahu tentangnya. Bagaimana tidak? Pemuda itu adalah temanku beraktivitas dalam sebuah lembaga yang menaungi organisasi islam kampus tingkat nasional. Hampir setiap pekan kami berinteraksi untuk keperluan organisasi. 
----------------------------------------------------------
            Hari ini adalah pertama kali kuinjakkan kaki di pelabuhan Bakauheni, selatan Pulau Sumatra. Angin Sumatra, batinku sambil menghirup dalam-dalam udara yang kurasakan beda daripada polusi Jakarta itu. Rima, rekanku satu universitas, hanya tersenyum melihat aksiku menghirup udara.
            “Kayak nggak pernah menghirup udara saja, Him,”ujarnya. Aku hanya membentuk lengkung di kedua bibirku, tersenyum. Kugandeng ia lalu kami beriringan mencari angkot.
            Kami sedang dalam perjalanan untuk rapat kerja nasional lembaga antar universitas di Indonesia, dan kali ini lokasi rakernas itu di salah satu universitas swasta wilayah Lampung. Perjalanan perdana tanpa pemandu maupun rekan seperjalanan yang mengerti tentang Lampung. Kami belum mendapat kabar mengenai rekan-rekan lain dari Jawa. Dengan percaya diri kami melangkahkan kaki di pelabuhan itu.
            “Heh! Mau ke mana kalian!?”hardik seseorang berbadan besar di hadapan kami. Wajahnya yang sangar mengurungkan niat kami untuk mengacuhkannya. Bergetar kujawab bahwa aku ingin ke Universitas. Meski degupan jantungku semakin keras diiringi keringat dingin yang mulai kurasakan, tapi kuusahakan suaraku masih tegas.
            “Universitas? Silakan,”lanjut orang sangar itu. Aneh, gaya bicaranya melembut. Eh? Baik aku maupun Rima masih heran dengan keadaan ini. Lampung yang aneh, batinku. Lelaki sangar itu membantu kami mencari angkot yang menuju universitas tujuan kami. Syukur kuucap dalam hati, dan kuyakin Rima juga melakukan hal yang sama denganku.
            Sudah malam ketika kami sampai di Universitas yang kami maksud. Segera kuhubungi temanku yang panitia rakernas untuk mengurus administrasi dan keperluan kami selama rakernas. Setelah menunggu beberapa lama, kami diantar ke sebuah asrama. Sebuah mobil sidekick hijau metalik berhenti di depan kami. Seorang lelaki keluar dan menghampiri kami. Setelah tahu bahwa ia penjemput kami, maka aku dan Rima segera masuk dan menuju asrama. 
            Sepanjang perjalanan, kuajak bicara sopir itu. Cahaya malam yang meremang buatku tak dapat melihat wajahnya. Yah, kupikir ia sudah berkeluarga dan menerima pekerjaan sebagai sopir untuk menghidupi keluarganya. 
----------------------------------------------------------
            lembaran kertas itu masih kugenggam. Tak kusangka, ‘sopir’ kami malam itu yang memiliki lembaran kertas ini. Dia, seorang mahasiswa Teknik Informatika sebuah universitas swasta di Jakarta. Ihsanul Ikhwan namanya, tiga tingkat di atasku dan kini sedang bekerja di sebuah perusahaan IT Consultant. Seorang pemuda yang menarik hatiku sejak awal perkenalan dengannya. Bagaimana tidak? Selama ini, sebelum ku mengenalnya, aku belum pernah bertemu dengan pemuda yang sangat amanah dan menghormati perempuan. Dalam bekerja ia sangat sigap. Sering kala ku mengadu pada Sang Pemilik Jiwa, kuharapkan ia adalah orang yang Dia kirimkan untukku. 
            Kini, saat ia meintaku untuk berproses, aku bukannya senang dan bersyukur. Tapi aku gamang, bingung, gelisah atas apa yang terjadi. Kuselami lagi apa yang sudah kuperbuat selama 21 tahun ini....layakkah aku bersanding dengannya? Seorang pemuda yang sering dielu-elukan. Titik bening mengaliri pipiku, tanpa kutahu kenapa. Kak Ihsan..panggilku dalam hati. Kamarku seperti lebih sepi dari biasanya. Pun nasyid Javanue yang kuputar tak meramaikan suasana sepi ini.
----------------------------------------------------------
            Interaksiku dengan Kak Ihsan berkurang sejak lembaran biodata tulisan tangannya ada padaku. Aku semakin senang membaca buku-buku pernikahan, juga berlatih mengurus rumah. Entahlah, rasanya kesiapanku yang sejak awal kurasa kini semakin menguat. Inikah tandanya? Toh, hasil dialog hatiku dengan hatiNya menambah keyakinanku untuk menerimanya. Inikah tandanya? Orangtuaku lebih senang menanyakan mengenai kesiapanku dan anganku setelah kubersuami nanti, inikah tandanya? Tak mampu kujawab karena khawatirku mendahului takdirNya. Aku terdiam dan memandangi lembaran biodata itu yang kini tergeletak di atas meja belajarku.
            Aku suka dia, dia suka aku. Kenapa harus didiamkan? Dia mampu, baik secara lahir maupun batin. Dia siap, baik ruhiyah, jasadiyah, maupun fikriyah. Apa yang harus kujawab? Hatiku terus bermonolog, membiarkan tanya penuhi rongga hatiku. 
----------------------------------------------------------
            Kemantapan itu hadir. Aku siap untuk menjawabnya, aku akan mencoba...semoga Kaumudahkan ini, ya Allah, batinku. Hari ini segera kusempatkan untuk meneleponnya. Belum lagi kutekan keypad ponselku, sebuah nama tertera sebagai tanda ada yang meneleponku. Ihsan, begitu rangakaian huruf itu. Segera kuangkat dan mengucap salam yang segera dijawabnya.
            “Fahim, saya ingin bicara,”ujarnya. Aku mengangguk meski tahu ia tak akan melihat anggukanku. “Saya sudah menyerahkan keputusan pada Fahim. Saya juga sudah memantapkan hati untuk melanjutkan proses ini. Tapi....maaf...saya tak mampu mengucapnya di telepon. Bisa kita bertemu hari ini? Saya selesai bekerja pukul 5 sore. Fahim bisa?”tanyanya setelah merinci sedikit. Ada apa ini? Lagi-lagi aku mengangguk.
            Sore ini rumah makan Kedai Kita tak seramai biasanya. Kunanti Kak Ihsan dan temannya untuk membicarakan kelanjutan proses kami. Tak perlu waktu lama untuk tahu Kak Ihsan hadir. Segera ia duduk di sampingku, terpisah satu kursi. Sementara Kak Ilham, temannya, duduk di hadapan Kak Ihsan.
            “Apa kabar, Him?”sapanya memulai pertanyaan. “Saya sudah meminta izin guru ngaji kita berdua untuk membiarkan kita bicara tanpa mereka. Bukan tidak menghormati, tapi saya yakin kita sudah dewasa untuk menyikapi apa yang ada di hadapan kita. Maka, saya ingin menyampaikan bahwa saya bersyukur sudah mengenal Fahim. Saya berterima kasih atas kesediaan Fahim mengenal saya. Dan, saya juga meminta maaf bila saya menyinggung Fahim,:lanjutnya. Kudengar kewibawaan itu, masih belum hilang. Kak Ihsan diam beberapa jenak, membiarkan AC di ruangan ini menyapa kami.
            “Saya tidak ingin terlalu banyak berkata. Hanya saja, maaf, saya tidak bisa melanjutkan proses kita. Saya tidak menganggap Fahim tidak sesuai, tapi ada yang lebih baik dari saya, Him. Dia datang bersama saya,”lanjut Kak Ihsan akhirnya. Nada getir itu kurasakan. Tak kuasa kutahan debar keterkejutanku. Ya Allah, apa yang Kaurencana? Sungguh tak dapat kutebak apa yang akan terjadi. “Saya minta, tolong Fahim serahkan kembali pada saya lembaran kertas yang sempat saya berikan. Bagaimana? Kalau Fahim setuju, saya akan langsung menghubungi guru ngaji kita berdua agar datang kemari,”ujarnya. Aku hanya menahan sesak itu. Aku hanya mengangguk pelan dan berat. Berat karena kurasai kemantapan itu hadir hingga tadi siang. 
            Belasan menit kemudian, Mba Dina—guru ngajiku—datang setelah datangnya guru ngaji Kak Ihsan. 
            “Fahim...Ilham, Mba Dina dan Mas Heri, saya pamit duluan. Kurang baik rasanya kalau saya di sini. Assalamu’alaikum,”ucap Kak Ihsan. Kulihat sekilas Kak Ihsan dan Kak Ilham berpelukan lama. Aku menangis, terharu atas persaudaraan mereka.
----------------------------------------------------------
            Sore ini, aku dan Kak Ilham menyatu dalam lembaga pencetak generasi penerus. Kak Ilham segera mengajakku masuk ke dalam kamar pengantin, melakukan shalat sunnah. Kami masih berpandangan. Namun, kutangkap raut aneh di wajahnya.
            “Kak?”tanyaku. Kak Ilham segera meraih tanganku.
            “Di rumah makan itu, saat Ihsan memelukku, ia menangis dan memintaku menjagamu seperti ia berazzam untuk menjagamu,”ujar Kak Ilham. Belum selesai ia berucap, aku menangis di hadapannya. Tak kutahu makna tangis ini.
            “Pasrahkan, Dik. Inilah ketentuan Allah,”ucap Kak Ilham, mencoba menenangkanku. “Udah, ya, nangisnya. Tamu udah nunggu, tuh, untuk ngasih do’a,”lanjut Kak Ilham seraya mengusap pipiku, mengeringkan airmata. Ya, aku harus bersyukur atas takdirNya. 
----------------------------------------------------------
            Sore itu Ihsan berdiri di luar rumah Fahim. Sebagai penerima tamu, senyum tak lepas dari wajah bersihnya. Tak ada yang tahu bahwa senyum itu adalah penutup kesedihan hatinya. Bagaimanapun, ia seorang manusia yang—meski merelakan—masih tak percaya dengan takdir yang baru ia terima.


Radio Dalam, 07.45 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar