Sabtu, 18 September 2010

Perempuan Indonesia, Wajahmu Kini

Riang seorang anak bergandeng tangan dengan sang ibu. Hari itu hari istimewa baginya karena dalam balutan kebaya biru muda ia berharap piala Kartini Cilik tergenggam kala ia pulang sekolah. Semalam ia telah belajar banyak tentang Kartini. Hari ini adalah Hari Kartini.

Sebuah gambaran umum masyarakat Indonesia dalam menyambut hari bersejarah. Ada pula cara lain masyarakat Indonesia dalam memperingati hari bersejarah di bulan April ini.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(An-Nahl:97)

Sebuah ayat yang mengajak setiap makhluk bergelar manusia berbondong menuju gerbang kebaikan, mencoba membuka gerbang dan memasuki kebaikan untuk mencapai kebaikan lain yang lebih baik.

Sebuah ayat yang menyamaratakan kedudukan dua jenis manusia—laki-laki dan perempuan—di dalam kebaikan. Sebuah ayat yang berusaha menyadarkan kembali arti persamaan kedudukan dua jenis manusia. Sebuah ayat yang tidak membiarkan satu kaum lebih rendah dari kaum lain bukan karena tingkat ketakwaan.

Bulan April dan Desember adalah bulan yang sakral di Indonesia. Kedua bulan tersebut sangat dalam maknanya bagi perempuan Indonesia. April, tepatnya tanggal 21, memiliki satu hari kebangkitan kaum perempuan, Hari Kartini. Sedangkan Desember, tepatnya tanggal 22, adalah hari yang disucikan, dihormati oleh perempuan dan laki-laki di Indonesia sebagai penghormatan mereka pada seorang pejuang yang telah menyelamatkan mereka, membiarkan hidup mereka, menjadi malaikat mereka.

Sayang sekali, kegiatan yang dilakukan dalam dua hari yang disakralkan, semakin tidak sesuai dengan cita-cita para pejuang tersebut. Kartini, misalnya. Keinginannya membebaskan perempuan dari keterjajahan lelaki dan Belanda menjadi beralih fungsi—kini—sebagai suatu hal yang disebut ‘emansipasi’ wanita. Kaum Kartini semakin tergagap memahami makna perjuangan Kartini. Jelas sudah, Kartini menulis dalam suratnya pada Mrs.Abendanon, ia hanya ingin penyamaan hak antara perempuan dalam kehidupan tanpa melupakan kodrat mereka sebagai perempuan dan bukan untuk benar-benar sama dengan laki-laki.

Sedangkan ibu, seorang yang mau menemani kita sejak kita masih dalam kandungan hingga kita terus mengingat Allah. Ibu, seorang ‘malaikat’ yang dikirim oleh Allah swt. sebagai pelindung kita, sang anak. Ibu, kata yang bermakna sangat dalam, begitu berarti dan menjadi lambang kebanggaan kaum perempuan, kini diartikan sebagai hal kuno yang mengekang kebebasan perempuan, sehingga sering ada celetukan bahwa perempuan hanya memiliki wilayah kasur dan dapur. Islam sesungguhnya tak memberlakukan hal itu. Islam justru menganjurkan perempuan agar optimal dalam hidupnya, seperti laki-laki, karena mereka juga makhluk yang dicipta untuk beribadah padaNya.

Ya, alasan beberapa feminis yang menganggap perempuan ‘ditindas’ laki-laki hanyalah isapan jempol, ternyata di negara terbebas—Amerika Serikat—malah menjadi satu kerinduan bagi perempuan di sana. Mereka merindukan bisa mengasuh bayi mereka tanpa menyerahkan langsung pada baby sitter, mereka rindu menyenandungkan kidung malam pengantar tidur. Kalau feminis Indonesia merasa berkiblat pada Barat, mengapa mereka menafikan keadaan tersebut? Sungguh, Islam telah menganjurkan manusia untuk kembali pada fitrah.

20 April 2007
21.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar