rambut kumal dan tak terurus sudah menunjukkan bahwa ia bukanlah gadis dari kalangan berada. juga pakaiannya, tidak mengikuti mode. buat apa memikirkan mode? menjalani hidupnya saat ini saja ia sudah sangat bersyukur. ia tidak menjadi pencopet atau pekerja-pekerja haram lainnya. wajahnya, sungguh menjadi pelengkap kata 'dekil' tersemat di dirinya.
Saat matahari sepenggalah, gadis kecil yang masih belum cukup untuk lulus SD itu berjalan, menyusuri trotoar. tidak ia pikirkan tentang shalat dhuha meski ia lewati mesjid dan mushola berjajar. ya, belum ada yang mengajarkannya tentang shalat dhuha. hidup hanya berbuat yang membuat ia dan sekitarnya nyaman serta aman dari tramtib. itu saja. tidak lebih. kini, ke mana ia? mengapa terus berjalan di trotoar?
langkah kaki kecil nan kurus itu berhenti di sebuah batu trotoar yang dipijaknya. di depannya sebuah taman kecil terpampang. ya, ia tidak ingat lagu tentang taman. ia tak pernah ingat apapun tentang masa kecilnya. ia hanya ingat bahwa taman itu indah. lebih indah dari taman di depannya. taman itu adalah taman yang dulu diceritakan ibunya, juga bapak.
lihat kebunku penuh dengan bunga
ada yang merah dan ada yang putih
setiap hari kusiram semua
mawar melati semuanya indah
gadis yang usianya lebih tua darinya berdendang sambil sesekali menyentuh tanaman-tanaman itu. ya, ia tahu meski tak pernah merawat, tapi apa yang disentuh 'kakak' itu adalah bunga.
"Mau apa?" tanya seorang lelaki, seumuran bapaknya pada gadis kumal itu.
"Saya mau beli 2 tangkai bunga, pak," jawab sang gadis sambil menyerahkan bawaannya, plastik kresek dua kantung dan recehan uang, ada sekitar 3 ribu.
"Yang mana?" tanya lelaki itu ragu. ya, penjual mana yang tak ragu melihat penampilan calon pembelinya?
Gadis itu menunjuk pada dua tagkai mawar kuncup yang sudah dilapisi plastik pembungkus. agak lama bapak itu diam, ebelum akhirnya menjawab, "oh, 20 ribu."
"Nggak bisa kurang, pak?" tanya sang gadis. melihat bapak itu menggeleng, sang gadis menunjukkan recehan uangnya, "saya cuma ada ini, pak."
"nggak bisa. harus 20 ribu," jawab bapak itu. gadis kecil itu memandangi telapak tangannya yang terisi recehan.
"tunggu, ya, pak. saya mau beli."
gadis itu pergi meninggalkan taman kecil. ditapakkannya kaki bersendal usang pada trotoar. sang bapak penjual tertegun. tapi ia berjanji akan menunggu gadis kecil itu, yang entah mengapa menarik perhatiannya serta rasa ingin tahunya.
hari mulai beranjak semakin siang. matahari tidak terik, tapi tergantikan dengan awan abu-abu yang bergerombol mendekati langit bumi. ya, siapapun akan mengatakannya mendung. bapak itu masih menunggu sang gadis kecil.
mari kita lihat apa yang dilakukan gadis kecil itu. ya, ia benar-benar menjalankan apa yang diucapkannya: ia mau beli bunga. bagaimana caranya? masih ingat dengan dua kantung plastik yang dibawanya? di terminal, di jalan-jalan, ia jual kresek hitam itu. ia kumpulkan seribu demi seribu hingga ia mampu mencapai jumlah uang untuk membayar bunga. tak ia pedulikan hujan. ya, hanya berteduh sebentar yang itupun tetap membuatnya kebasahan.
"Kurang seribu," ujar si gadis kecil. tapi ia tetap menuju tempat bapak tadi menjual bunga.
"Pak, saya udah dapat uangnya," ujar gadis itu sambil mengulurkan lembaran ribu-ribu melalui tangannya yang masih teraliri air. sang penjual tertegun lagi. ia benar-benar tak habis pikir, mengapa gadis kecil ini begitu kukuh ingin membeli bunga?
"Kurang seribu," ujar bapak penjual. hatinya sangat teriris melihat keadaan gadis kecil di hadapannya.
"Tapi, pak, cuma kurang seribu,"
sungguh bila ia pemilik toko itu, akan diberinya bunga pada gadis kecil itu cuma-cuma. tapi, ia hanya pegawai di sana yang memiliki atasan sangat perhitungan.
"Udah sore, besok dateng lagi, ya," ujar bapak tadi. gadis kecil itu bersedih. tersedu. ia pergi dari taman kecil itu, menuju sebuah tempat. bapak tadi segera menitipkan toko pada rekannya. ia buntuti gadis kecil yang menarik hatinya.
ini kan... batin bapak itu heran dengan arah jalan si gadis. ia sangat hapal daerah itu, daerah menuju peristirahatan semua manusia di akhirnya. pemakaman.
"Pak, bu, maaf. Atik nggak bawa bunga buat bapak sama ibu tahun ini,"
----------------------------------------------------------------------------
*terinspirasi dari kisah nyata. sebuah pelajaran yang--semoga--bisa menggugah kita untuk tidak berpikir panjang untuk menolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar