Senin, 08 November 2010

Gemuruh Sang Merapi


Baru saja aku sampai di pengungsian ini. Ya, dua hari lalu kedua orangtuaku baru memberi izin sebagai relawan Merapi, relawan di kampung sendiri. Syukurlah aku mengetahui medan yang akan kulalui nantinya. Kali ini aku difasilitasi sebuah LSM untuk menjadi relawan. Mama dan Bapak juga memberikan beberapa alat untuk keperluanku dan titipan untuk pengungsi: masker respirator.  Aku sendiri kini sedang melapisi pakaianku dengan baju tahan panas karena tugasku sebagai laki-laki adalah mengevakuasi warga di sekitar lereng Merapi yang mungkin saja masih ada dalam acara penyisiran.

“Ndri, kamu siap?” Tanya Nugroho, temanku sesama relawan dari Jakarta. Aku mengangguk.

“Insya Allah siap,” jawabku. Kami menaiki hugglands, sebuah kendaraan segala medan yang disiapkan untuk mengevakuasi warga di wilayah yang sulit dijangkau kendaraan biasa. Sampai di dalam hugglands, kuedarkan pandangan ke sekitarku, ruangan di dalam hugglands itu.

Lebar, lumayan untuk menampung belasan warga—mungkin puluhan bila berdesakan—yang akan kami temukan nanti. Bismillah, batinku mengucap hal itu. Satu per satu relawan masuk ke dalam hugglands hingga kami berjumlah 4 orang termasuk sang driver, relawan dari kalangan polisi. Hmm, kudengar ia orang Kopassus. Entahlah benar atau tidak. Pikiranku kini hanya pada warga yng mungkin kami temukan nanti, juga kewaspadaan akan aktivitas Merapi yang belum juga menandakan akan berhenti.  Padahal ini sudah hari ke-5.

Hugglands mulai bergerak dan aku sendiri merasakan guncangan yang sangat hebat. Kalau tadi tidak diberitahu koordinator lapangan tim kami, mungkin aku akan mengira bahwa ini gempa. Tidak, ini adalah getaran hugglands sendiri. Hampir seperti tank baja untuk perang. Ya, setidaknya mungkin karena desainnya yang mirip dengan ban bergerigi, begitu pikirku. 

Kami melanjutkan perjalanan mendekati Merapi. Bila beberapa waktu lalu aku melihat hijau hamparan sawah di jalan yang kulaui kini, sekarang hanya warna abu-abu dan gersang yang ada. Ya, aku tak salah melihat. Ini nyata sebuah akibat hujan abu yang menerpa wilayah ini, Yogyakarta.

Sudah sampai tempat yang belum kulihat plang nama daerah tersebut. Kami diperintah turun dan mencari sekitar hugglands siapa tahu ada warga yang masih bisa kami selamatkan. Aku terpisah dari Nugroho, dan benar-benar sendiri. Sejenak aku terdiam, menyentuh tubuh pohon yang sudah putih dan tidak berbentuk indah lagi.

Aku ada di tubuhmu, Merapi. Aku sedang menginjakkan kakikuy di tubuhmu. Dan pohon ini, akibat abumu? Aku membatin sebentar. Kemudian mengalihkan tanganku, mernjejakkan kaki menelusuri  jalan setapak, mencoba mencari dan mencari warga atau hewan ternak yang bisa kubantu selamatkan. Sesuai trugasku.

Semakin jauh aku dari hugglands, agak sulit kakiku menjejak. Meski sepatu khusus dan tahan panas ini kupakai, tapi tetap saja aku kesulitan. Allah, bantu aku. Tak henti kusebut namaNya, sambil berharap tak ada keanehan dari Merapi. Ini sudah hari ke-5 dan gemuruh masih saja terdengar. Langit tak bersahabat dengan kami sehingga jarak pandangpun semakin dekat. Sangat sedikit.  Ah, aku sudah tak peduli hambatan itu. Kini aku hanya harus menjalankan amanah yang diberikan: mengevakuasi korban.

Tak kutemukan korban selain mayat-mayat sapi terpanggang. Haruskah kuangkat juga? Atau biarkan ia menjadi santapan saprofit? Entah.  Aku terus berjalan sambil menahan sedih melihat pemandangan yang berbeda ini. Aku sempat tidak yakin bahwa jalanan sulit ini adalah Merapi. Tapi semakin aku berjalan, semakin aku sadar bahwa memang ini benar Merapi. 

Aku berhenti mendaki. Ya, jalan semakin menanjak dan aku merasa semakin jauh dari teman-teman. Tapi aku menatapi kepala Merapi. Melihat langit yang gelap di atasnya. Kusentuh tanah berabu  dengan tanganku—tentunya yang berlapis baju khusus. Kusiapkan tenggorokanku yang sempat tercekat.

“Merapi, ini aku!” teriakku. Seolah hilang akal, kutunggu jawaban gunung itu. Ah, tak muncul juga jawaban selain suara yang menggemuruh.

“Kau kira hanya dirimu yang menggemuruh? Aku juga. Dadaku menggemuruh melihat marahmu Merapi!” aku melanjutkan teriakanku. Bersamaan dengan itu, Tanah lembek yang kupijak bergoyang, seolah bereaksi atas teriakanku. Aku yang goyah segera berpegangan lagi pada apapun di tempat itu. Kuakui tak ada apapun, malah tanah lembek yang berhasil kusentuh dan berhasil menenggelamkan tanganku beberapa milimeter.

Hanya beberapa detik reaksi Merapi kurasakan. Kutolehkan kepalaku ke belakang tubuhku. Tak kudapati hugglands atau siapapun. Ya, aku memang benar-benar sendiri kini. Kucoba berdiri kala goyangannya tak kurasai lagi. Aku berteriak lagi.

“Kau tak terima Merapi? Kenapa? Benar, kan, kau menggemuruh? Kau marah, Merapi? Kau marah?” tanyaku lagi. Masih dengan nada keras seolah yakin Merapi akan mendengarku. Kulihat langit semakin mendung. Aku masih menantang Merapi meski bisa jadi mendung itu pertanda akan ada bahaya mendekat. 

Batinku bertarung. Antara keinginan berlari-evakuasi-selamatkan diri dan pikiran liar bahwa aku harus mendapat jawab dari Merapi. Sedikit rintik mengenai baju khususku. Kukira itu abu. Tapi tidak. Kini ada campurn zat lainnya: air. Tatap semakin nanar ke Merapi.

“Kau semakin marah rupanya kusebut senyatanya. Jawab aku, Merapi. Jangan hanya menggemuruh. Gunakan bahasa yang kumengerti!”

Tes! Tes! Tes! Makin deras saja lumpur debu itu menjatuhiku. Bila tak bersegera pergi, aku hanya akan mati konyol dengan jasad tertimbun. Tapi nalarku sedikit menghilang kala batinku menemukan sesuatu dari tetes itu. 

TANGIS!
Merapi menangis? Tak percaya tatapanku berpindah dari lumpur itu ke puncak Merapi.

“Kau menangis? Kau menangis? Kenapa?”

Lagi, tak ada jawaban. Hanya hening sebagai jawaban. Sedari tadi aku bermonolog di sini dengan kejadian yang berganti-ganti.

“Kau sedih?”




2 komentar:

  1. sya... coba liat ke sini deh... ^__^
    http://writers4indonesia.wordpress.com/

    BalasHapus
  2. mbak udah coba? may baru aja nyoba, semoga diterima...aminnn

    BalasHapus