Rabu, 22 Desember 2010

Alhamdulillah, Allah Masih Menjaga Kita

Mentari senja. Lagi-lagi ia menemaniku. Mungkin ia akan terus menemaniku, seperti setianya Khadijah pada Muhammad hingga akhir hayatnya. Hei, kenapa jadi tentang Khadijah? Apa karena Nesh hari ini akan ada pertemuan denganku bersama seorang perempuan?

Perempuan itu kukenal kurang dari setahun, tapi ilmu yang kudapat bersamanya seolah melekat bertahun-tahun. Apa karena sebuah rasa? Sepertinya tidak. Aku menganggapnya saudari seperti perempuan lainnya. Bersiap kupakai kemeja biru. Warna kesukaannya. Wew! Aku bahkan hapal warna kesukaannya.

Hampir waktunya. Yap, pukul 4 aku akan bertemu dengannya. Baru saja usai shalat Ashar aku di mesjid dekat rumah. Kami janjian bertemu dengan beberapa teman lain. Yeah, tentu aku tidak hanya berdua dengannya untuk nonton.

Nonton? Eh? Nonton, kataku? Iya, nonton. Kami akan menonton film action yang sedang marak diputar. Dia adalah perempuan yang tak berminat pada film percintaan, tapi lebih pada film laga. Dan aku menemukan momen ini, bersama teman-temanku. Kok jadi merasa aneh begini?  Padahal kemarin aku yang mengajaknya melalui pesan singkat. Sudah lama sekali kami tak bertemu. Dan kini, aku terkejut sendiri atas inisiatifku?

Ah, sudah rapi sekarang. Hmm, oh iya. Jaket kampus abu-abu. Oke, aku siap bertemu dengannya...dan teman-teman. Kukirimi teman-teman pesan singkat: dimana?

Tak perlu menunggu lama untuk mendapat jawaban. Satu per satu mengirimi jawaban gagal, hanya satu orang yang mengatakan ia sudah dekat dengan tempat janjian: dia. Ya, perempuan itu. Kuhempaskan diriku, duduk di tepi tempat tidur. Harus kubatalkan atau bagaimana? Tapi aku ingin bertemu dengannya. Apalagi ia sedang sedih hari ini.

Tapi, kalau cuma berdua... Duh, bagaimana pandangan orang-orang ya? Eh, tapi di bioskop kan nggak ada yang kenal. Hmm, tapi...

DRRRTT..DRRRTT. Ponselku bergetar. Ada pesan masuk. Dia!

Udah di mana?

Kusambar jaket abu-abuku, setengah berlari karena begitu senangnya hatiku. Pergolakan batin yang sedikit tadi tak memengaruhiku. Ya, aku menyalakan mesin motor, bersegera menuju tempat janjian, atau bahasa kerennya: meeting point.

Bismillah, aku berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan. Tak perlu sepuluh menit untuk sampai di bioskop. Senja masih menemaniku.

 Nesh sudah di lantai 2. Tapi nggak tahu bioskopnya di mana >_<

Dia tak tahu bioskopnya? Hmm, sudahlah. Dia perempuan, pasti akan bertanya pada orang sekitar. Sebaiknya aku segera menuju loket bioskop. Toh, film sudah akan dimulai.

Saya sebentar lagi sampai.

Begitu isi pesanku padanya. Argh! Baterai ponselku lemah. Semoga saja tidak mati sebelum aku menemuinya.

Segera kuparkirkan motorku, menuju loket pembelian tiket. Ya, kubeli 2 tiket: untuknya dan untukku. Kami sudah berjanji, siapa yang pertama datang akan membeli. Niatnya beli 5, karen rencana memang 5 orang. Tapi..ya sudahlah.

Sampai pengumuman pemutaran film, gadis berjilbab itu tidak muncul juga. Segera aku masuk. Jelas saja, ini film yang sangat ingin kutonton. Meski akupun ingin bersamanya. Segera kucoba kirim pesan padanya.

BLANK

Kyaa~~~ Ponselku mati! Astaghfirullah, bagaimana cara menghubunginya? Tenang, Rud, tenang.  Allah akan menjaganya kok. Tapi, ini pertama kalinya dia ke tempat ini. Segera aku melenggang. Sudahlah, dia akan membeli tiket sendiri dan akan menonton juga. Tak apa gagal duduk bersama di saat nonton, deh. Aku segera masuk ke studio pemutaran film.

--skip time--

Dia menungguku di pintu bioskop. Saat keluar kudapati  sosoknya. Segera ulasan senyum kuberikan sebagai tanda bahwa aku di sini. Tapi tak imbang sepertinya karena aku mendapati wajah cemberutya. Lucu sekali mimik mukanya kalau begitu. Aku suka..

Eh!? Apa!? Tidak, tidak. Kuacungkan ponselku yang mati. Saat kami sudah berhadapan, segera kami membuka percakapan.

“Mati, ya?” tanyanya sambil menunjuk ponselku. Kuanggukkan kepala sambil mempertahankan senyum.

“Iya, lowbatt,” jawabku.

“Udah khawatir, juga.” Sahutnya. Nada kesal...dan sedikit takut kudengar barusan.

“Nih, gantiin tiketnya,” ucapku seolah tak berperasaan. Ya, aku hanya berusaha menutupi gugup ini saja akibat mendengar nada khawatirnya.

Segera diambilnya dompet. Eh? Betulan?

“Tadi nggak nanya petugas?” tanyaku. Ia menggeleng.

“aneh kamu, kayak cowok aja.”

“Mas yang aneh. Baru mas cowok yang nyaranin tanya kalau ga tau di jalan.”

“Eh? Nesh nggak mau nonton apa-apa?” tanyaku.

“Nggak asik, mas, kalau nggak ada teman,” jawabnya, sedikit bersungut. Segera aku tertawa kecil sambil menerima pemberiannya: uang ganti tiket.

“Saya biasa sendirian, kok, kalau nonton,” sahutku lagi, mengelak alasannya. Boleh dong Ge-eR bahwa dia cuma mau ketemu aku, bukan ingin  nonton?

“Yee, mas. Kayaknya Nesh pernah bilang, perempuan sama laki-laki tuh beda. Cowok mah bisa sendirian ke mana aja. Kalau perempuan itu, nggak asik kalau pergi sendirian. Lagipula...” ucapannya berhenti.

“lagipula?”

“lagipula, kan nggak baik pergi tanpa mahram, heuheuehu..” sahutnya bercanda. Saya jadi ikut tertawa mendengarnya.

“Ada-ada saja kamu. Ya udah, gimana sekarang?”

“Nesh udah dapet nih buku yang Nesh cari. Nesh mau pulang. Hmm, ke Cililitan naik apa ya, mas?” tanyanya.

“Mobil biru nomor 76,” jawabku. Secepat inikah kita bertemu, Nesh? Ingin kutahan dirimu.

“Nesh, banyak akhwat aneh, ya,” ucapku.

“Maksudnya?”

“lebay gitu,”

“Nesh termasuk?”

“Iya. Mana ada akhwat nonton di bioskop sama ikhwan?”

Kulihat diamnya. Kemudian diganti dengan cengiran. Ah, kau benar-benar unik, Nesh. Mana ada akhwat nyengir begitu?

“Tapi kamu nggak lebay kok, Nesh.”

“Hehe, mas juga aneh. Mana ada ikhwan ngajakin nonton berdua di bioskop?”

DEG! Baru kali ini kata-kataku dibaliknya. Baru kali ini aku terkena dengan kata-katanya.

“Tapi gagal, kan?” sahutku lirih.

“Eh?”

“Iya, gagal. Alhamdulillah Allah masih menyelamatkan kita, Nesh.”

Aku kembali seperti orang yang dikenalnya, yang sering memberi wejangan. Ya, dia menganggapku kakaknya. Ya Allah, semoga perih hati ini tak diketahuinya.

“Kok? Selamat gimana?”

“Kalau orang-orang lihat kita yang penampilan begini, gimana? Kan bikin jelek Islam. Dan Alhamdulillah Allah masih menyelamatkan kita berdua. Gethhooo.”

Nesh terdiam. Hanya sejenak, kemudian mengangguk. Ia menoleh lagi padaku, tersenyum semanis yang pernah kulihat.

“Terima kasih, mas,” ujarnya. Kurasakan nada bahagianya.

Aku tersenyum menanggapinya.

Dan angkot biru membawanya pergi, meninggalkanku. Membiarkanku merenungi kalimatku sendiri.

Terima kasih, Allah, sudah menyelamatkan kami.


2 komentar: