Sore adalah waktu yang menjadi latar pertemuan kami. Seperti biasa, tak pernah pertemuan kami terisi tanpa adanya ilmu baru. Entah beliau yang menuangkan ilmu itu, atau saya yang mencurahkan. Tapi lebih sering beliau yang memberi, hehehe.
Kali ini bahasannya bukan nikah, kepahlawanan, atau ekonomi. Yeah, beliau begitu bersemangat bila bicara ekonomi rakyat, dibanding bicara hal lain, meski bukan lulusan ekonomi. Mungkin salah satu karakter muslim yang ingin bebas dari kekangan finansial begitu, ya? Entah. Yang pasti, kali ini saya ingin membahas hal yang pertama kali saya ajukan: Bete.
“May mau cerita, nih. Kesel tauuuuk,” ujar saya kekanakan (baru ngeh kata-kata saya saat itu begitu kekanakan).
Tahu gejrot sebagai ‘kado’ hari lahir saya sedang kami nikmati. Beliau asik menyantap tahu di wadah mika itu sementara saya terus melanjutkan curhatan saya. Tentunya setelah beliau mengangguk sebagai tanda pemberian izin saya curhat.
“May kesel, jengkel. May nggak mau kalau begitu caranya...” curhatan saya berlanjut. Intinya, saya jengkel pada sikap orang yang membuat zona tenang saya terusik.
Beliau masih mengangguk-angguk. Eh? Ini mengangguk menikmati tahu atau mendengar saya?
“Mmm...” Beliau memulai pembahasannya. Segera saya bersiap menyimak penjelasan beliau.
“Sebenarnya ada di antara akhlak muslim, lho, May. Salah satunya menghindari jengkel. Kesel, sebel...” sahutnya. Saya benar-benar menoleh. Pelataran mesjid dan pilar yang tadinya saya sandari, kini menjadi saksi bisu tegaknya punggung saya. Ya, saya mulai benar-benar serius menyimak beliau.
“Hmm?”
“Ya. Itu perasaan yang wajar sih. Kalau sebentar. Dan kalau ada, kita sebagai muslim ya sebaiknya beristighfar.. Selesai kan?” lanjutnya diakhiri tanya dan tatapan pada saya. Beliau mencari penegasan...atau malah memberi penegasan dengan tatapannya? Saya malu sendiri sudah mengeluhkan kesal itu.
“Tapi...” saya mengeluarkan kata elakan itu, yang kemudian saya ralat,”iya juga sih, mas. Gitu, ya? Cuma...tetep aja kesel. Kesel juga lah lama-lama kalau begitu terus. Huft...tapi, mungkin ini tantangan untuk May, ya?”
Beliau malah asik menyantap tahu—makanan kesukaannya—itu. Jiaaa, nih orang. Segera saya beristighfar setelah menyadari saya mengeluhkan sikapnya dalam hati.
“Kalau saya, dibawa santai aja. Itu kan hal yang bisa dibawa santai. Itu kalau saya, ya,” sahut beliau. Hmm, iya juga, sih. Mungkin benar. Bawa santai saja.
Segera saya teringat dengan salah satu ayatNya, yang intinya: dan memaafkan itu lebih baik jika kamu mengetahui.
“Makasih, ya,” ujar saya akhirnya.
Tak ada jawaban.
syukurlh kamu punya teman curhat segala rupa problem, jgn diabaikan disiakan, kelak menjadi penanda baik buruk persahabatan, salam kenal thanks. jgn lupa link balik dan follow.
BalasHapusiya ya, makasih ^_^
BalasHapus