Rabu, 05 Januari 2011

Kedewasaan Lelaki dan Pilihan Perempuan

Widiii, judul begini lagi. Nggak bosen, May, nulis tentang perempuan dan lelaki? (yang baca aja kayaknya nggak bosen, wee) Kamu ngebet banget jadi psikolog ya?

Heuheuheu. Maaf, maaf. Saya nggak bermaksud kampanye tentang gender atau apalah. Saya juga bukan bermaksud mengampanyekan hal-hal lain meski nantinya dalam tulisan saya ada hal-hal tersebut. Oh iya, saya masih belum menyimpulkan final tulisan ini lho, ya, karena saya butuh pemikiran teman-teman. Ehem, udah ah pendahuluan+disclaimernya, ntar keburu bosen yang baca.

Tulisan ini berdasar diskusi beberapa kali dengan beberapa orang. Ahem! Ada yang merasa? Wah, selamat kalau begitu, Anda membantu saya. Yeah, tentunya diskusi tentang sikap lelaki dan perempuan dalam hidup. Dan kali ini, tentang jenjang hidup yang pasti akan dialami manusia: menikah. Ow-ow-ow, nikah lagi bahasannya? Yep. Nikah.

Oke, kita buat ilustrasi yuk. Sebuah kisah.

Ini kisah seorang lelaki bernama Herryl, sebut saja begitu. Dia berproses dengan seorang perempuan untuk menikah. Ya, ia serius. Tapi sang perempuan, Sebut saja namanya Nesha, merasakan bahwa Herryl begitu cuek. Seperti ketika Nesha terlihat pucat, drop, atau apalah namanya yang menuju sakit, Herryl hanya berkata, “Banyak minum, berolahragalah. Besok bisa kerja kok, insya Allah,” dengan santainya, menurut Nesha. Begitupun bila mereka pulang bersama dalam satu bus saat Herryl tidak membawa motor, maka Herryl nyaris tidak pernah membayari Nesha biaya transportasi. Bisa dibilang, Herryl ini lelaki cuek yang seolah tidak berminat pada Nesha. Apa kata teman kerja Nesha?

“Cuek begitu kok kamu mau, sih, Nesh?”

Beda halnya dengan lelaki bernama Malfo, kita sebut begitu, ya. (Malfo plesetan dari Malfoy, tokoh jahat di film Harry Potter). Malfo sedang berproses dengan seorang perempuan, Bella. Proses keduanya sama, melalui perantara. Tapi, Malfo benar-benar memanjakan Bella. Bila Bella sakit sedikit, Malfo akan terus menanyakan hingga 12 jam kemudian. Bila Bella pulang, maka Malfo adalah orang pertama yang memberi tumpangan di mobilnya. Bila Bella membicarakan gamis terbaru, maka Malfo akan membelikannya.

“Perhatian banget, ya.”

Kira-kira begitu komentar sebagian teman Bella.

Yep. Kita hentikan ilustrasi bertolak belakang itu. Kalau saya jadi perempuan, tentu akan memilih Herryl (saya perempuan, ya?). Bukan apa-apa, bagi saya, seorang lelaki dewasa akan melakukan hal sesuai logikanya, realita, dan pemikiran jangka panjang. Menurut saya, Herryl pasti berpikir: Nesha belum menjadi siapa-siapa saya, untuk apa saya terlalu mengikuti maunya seperti tips-tips buku itu?

Seperti yang pernah saya dengar dari rekan lelaki saya, bahwa tipe Malfo itu jenis lelaki yang tidak berpikir jangka panjang sebelum menikah. Memberi perhatian berlebih, mengawang dalam angan—seperti: ukhti, kelak akan kita bangun rumah tangga di jalanNya, penuh cinta karenaNya—dan terlalu asik dengan kenikmatan cenderung hati.

Apakah kedewasaan lelaki hanya terlihat dari hal itu saja? Mari kita lihat rekan saya yang selalu semangat membicarakan perekonomian ummat.

“Saya memang belum siap nikah, May, karena target saya masih banyak. Saya tidak mau seperti fenomena sekarang ini yang marak tapi malah seperti buih.” Kira-kira begitu inti ucapan beliau. Angkot telah asik memberi kebisingan pada telinga saya saat itu.

“maksud mas, yang ngasih kata-kata berbunga gitu?”

“Ya. Yang belum realistis memandang pernikahan.”

Ya, saya sepakat. Meski pernikahan memang hal yang harus disegerakan, tapi bukan berarti harus seperti fenomena sekarang ini. Terutama dari pihak lelaki. Hmm, agak terlihat gender ya?

Bagi saya ini bukan masalah gender. Tapi, lihatlah, kawan. Perempuan setangguh apapun, sekuat apapun, bila terus dihembuskan angan-angan yang melabelkan islam (but not islamic) akan luluh pula akhirnya. Maaf bila terlihat menuntut.

“jadi..perempuan itu akhirnya akan memilih lelaki yang dibutuhkannya, ya, May?” tanya sahabat perempuan saya. Saya berani mengangguk mantap. Karena saya yang cengeng serta manja ini sangat butuh lelaki pendidik, bukan lelaki yang menuruti mau saya atas nama cinta. So, kesimpulannya, kalau perempuan manja seperti saya aja bisa memilih lelaki pendidik, apalagi perempuan tangguh?

*anggap saja catatan ini intermezzo ^.^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar